13.32 | Posted in


Rekaman Ingatan Saksi Sejarah

*Disebut Juga Sebagai Perang Sabih
*Sia nan Dimakan Ruduih Itu Musuh

Perang Manggopoh tanggal 15-16 Juni 1908 berawal dari rasa muak, kaum ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan rakyat Kanagarian Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Seluruh elemen masyarakat Manggopoh menilai tindakan-tindakan serdadu Belanda sudah berada di luar batas kewajaran sebagai manusia, dan melanggar adat sopan santun masyarakat Manggopoh yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya luhur Minangkabau.

Tingkah polah penjajah Belanda tidak hanya dinilai menzalimi rakyat semata dengan penetapan pajak (belasting) yang tinggi, tapi mulai merambah ranah etika dan moral. Seperti mengganggu istri orang, menggangu perempuan yang mandi dan mencuci di Batang Antokan dan Kalulutan yang mengapit Negeri Manggopoh.

Komplikasi rasa muak yang menjadi-jati itu terus jadi pokok bahasan sesepuh masyarakat dan adat di Negeri Manggopoh. Sebelum dimulainya gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, tanggal 15 Juni 1908 (tepatnya Kamis sore). Aneka rapat telah digelar di sejumlah Mesjid yang ada di Kanagarian Manggopoh, diantaranya Mesjid Nurul Iman Sungkai, komplek perumahan H Abdul Manan, seorang pengusaha kopra kala itu dan Surau Parik sebuah Surau tuo di Balai Satu Manggopoh.

Para tokoh itu antara lain;

* H Abdul Manan bersama 17 orang kepercayaan dan pasukannya
* Bagindo Sutan Siluma yang akrab disapa Mak Luma
* H Abdul Gafar yang bergelar Ranji Sipatokah.

Mereka ini adalah sesepuh masyarakat yang terus menyusun strategi untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. Motivasi untuk melakukan perperangan ini kian menjadi-jadi ketika perang Kamang meletus, Rabu sore, 14 Juni 1908. Angku Rasyid Bagindo Magek, suami dari Inyiak Sitti Manggopoh ikut dalam peperangan Kamang tersebut, karena terus diburu Belanda. Angku Rasyid Bagindo Magek pulang ke Manggopoh. Beliau langsung ke Kampung Koto dan bergabung dengan rekan-rekan pejuang Manggopoh lainnya.

Para pejuang Manggopoh yang telah mempersiapkan diri, diikat dalam sebuah sumpah dan janji; “ Basamo ruduih (pedang) di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji dimakan kutuak Kalamullah,”. Setelah mengucapkan sumpah dan ikrar tersebut mereka meminum air tapuang tawa (tepung tawar) dan menyiram badan mereka. Tepat pukul 22.00 pasukan berangkat ke Mesjid Kampuang Parik (salah satu Mesjid tertua di Manggopoh).

Dalam perjalanan menuju Surau Parik, rombongan bersua dengan Mandeh Sitti, perempuan Manggopoh yang terkenal dengan sikap tegasnya dan salah satu Bundo kanduang yang juga sangat benci melihat kurenah dan tingkah laku Kolonial Belanda.

Kepada rombongan yang didalamnya juga ada suami Mandeh, (Rasyid Bagindo Magek) Mandeh berkata “Udo, sabalun barangkek, singgah kito dulu ka pusaro Limau Paga (sebuah kuburan yang dikeramatkan masyarakat Manggopoh kala itu) sudah itu baru kito taruih ka Musajik Kampung Parik,” ajak Mandeh.

Saran Mandeh Sitti diterima oleh rombongan, para pejuang memanjatkan doa untuk arwah nenek moyang terdahulu yang bersemayam di kuburan itu. Para pejuang juga mengelilingi kuburan ini sebanyak 7 kali, setelah itu langsung berangkat menuju Mesjid Kampung Parik. Rencana penyerbuan dimatangkan di Mesjid Kampung Parik. Tiga orang kurir diutus melakukan penyamaran dengan cara menjadi penjual manggih mudo guna menyelidiki situasi di Benteng Belanda, (bukan penjara atau tahanan, tapi Benteng Belanda*)

Setelah berdoa, di Mesjid Kampung Parik, dengan mengumandangkan takbiran berangkatlah rombongan pejuang menuju Benteng Belanda. Rombongan lain menunggu di semak-semak di sekeliling benteng. Mandeh Sitti ditampilkan sebagai umpan. Mandeh mengetuk pintu Letnan Belanda dan berusaha mencari perhatian dengan mengatakan, “tuan saya nona Sitti”. Kala itu si Letnan Belanda sedang membaca, mendengar suara perempuan yang begitu merdu, si Letnan terperanjat, boleh jadi pada saat itu, ingatannya belum lepas, pada Inyiak Lipah (seorang wanita Manggopoh) yang terkenal dengan kecantikan dan pesonanya juga. Pada siang harinya juga digoda oleh Belanda, tapi dilerai oleh tokoh masyarakat.

Mendengar suara perempuan, si Letnan langsung membukakan pintu, mendapati yang datang adalah Mandeh Sitti, si Letnan terkesima, dan langsung menggiring Mandeh Sitti menuju ke kamarnya. Sikap lengah Letnan Belanda ini dimanfaatkan Mandeh Sitti untuk menghabisinya. Ruduih Mandeh langsung bersarang di leher si Letnan dan terkapar bersimbah darah. Mandeh langsung memadamkan lampu sebagai sandi operasi malam itu. Para pejuang yang berada di luar langsung merengsek masuk ke Benteng Belanda.

Perang malam itu juga sering disebut pejuang Manggopoh dengan Perang Sabih. Sebab dalam suasana gelap, siapa yang musuh dan siapa yang lawan tidaklah begitu kelihatan. Namun sebelum bertempur, garis komando juga sudah disampaikan, tebas dan tebaskan saja ruduih itu kepada siapa saja yang ada dihadapan, -Mana yang dimakan ruduih itu adalah musuh, yang tidak mampan kena ruduih artinya kawan-. Merdeka….

Serangan pada malam hari itu menewaskan 53 orang serdadu Belanda hanya satu orang yang selamat, karena bersembunyi dibawah mayat kawannya. Sementara di pihak pejuang negeri pulang dengan lengkap. Serdadu yang selamat inilah yang melapor ke Lubuk Basung dan minta bantuan ke Pariaman dan Bukittinggi. Besarnya perang Manggopoh yang membuat luka mendalam bagi penjajah Belanda, bukan hanya sekadar isapan jempol. Untuk mengenang perang tersebut. Di tugu Benteng Belanda di Bukittinggi, pemerintahan Kolonial ini menuliskan kalimat dengan cetak miring
“OPSTANT KAMANG MANGGOPOH” Tugu itulah saksi sejarah hingga kini. Bagi generasi muda, atau siapa saja yang saat ini telah jadi pembesar dan generasi muda Manggopoh yang terlupa, silahkan lihat kalimat cetak miring itu di Bukittinggi!.

Secara sejarah, perang Manggopoh menurut cerita yang tua-tua, dibagi atas dua periode, dan dua kali penyerangan. Tanggal 15 Juni, 1908, sebanyak 53 serdadu Belanda tewas. Kemudian datang bantuan bala tentara Belanda lainnya dari Bukittinggi dan Pariaman. Gelombang kedua terjadi Jumat sore, tanggal 16 Juni 1908.

Gelombang kedua ini dipimpin oleh Tuangku Cik Padang, karena saat perang gelombang pertama, Tuanku Cik Padang pergi mengungsikan keluarganya sehingga tidak bisa ikut perang. Ia menyesali kenapa tidak bisa ikut, dan berniat melancarkan serangan susulan untuk serdadu Belanda yang telah berdatangan kembali dan memperbaiki benteng dan membersihkan darah teman-teman mereka.

Tuanku Cik Padang mulai mencari pejuang yang bisa membantunya, namun semua pejuang yang ikut dalam penyerbuan pertama telah mengungsikan diri ke hutan-hutan. Tapi semangat melawan penjajah Belanda Tuanku Cik Padang terus bergelora, ia mulai mencari warga Manggopoh yang mau ikut dengan dirinya. Di rumah Anduang Piak Iyeh, Tuanku Padang berjumpa dengan Pak Kana dan Pak Unuik, ide penyerangan pun digagas. Mereka bertiga akhirnya berangkat menyerbu Benteng Belanda, pada petang Jumat pukul 22. 00. Perlawanan sengit dari pasukan Belanda yang lebih siaga terjadi, ratusan peluru dan aneka penangkal dihantamkan kepada trio pejuang Manggopoh ini. Mereka akhirnya gugur di medan laga.

Sementara di pihak Belanda tidak diperoleh kata yang pasti berapa jumlah korban, ada yang mengatakan 10 orang ada juga yang bilang 6 orang, sebab saat itu pejuang Manggopoh mulai melarikan diri, karena kekuatan Belanda yang datang tidak seimbang dengan jumlah pejuang yang ada, selain itu, gerakan pejuang juga semakin terjepit oleh aksi-aksi musuh dalam selimut yang menjadi antek-antek Belanda. Jasad Tuanku Cik Padang dan dua pejuang lainnya yang tewas dikuburkan di belakang Kantor Kepala Penghulu Manggopoh. Negeri Manggopoh di bumi hanguskan dan dinyatakan sebagai negeri tertutup oleh Kolonial Belanda.
Kabar perang Manggopoh direspon cepat oleh Belanda, mulai dari Batavia hingga Komandan Sumatera. Hari Sabtu, 17 Juni 1908 Controliur dan Asisten Demang diintuksikan memanggil Kepala Penghulu Manggopoh yang kala itu dipegang oleh Malin, Bergelar Datuak Rajo Mandaro untuk dimintai pertanggungjawaban.

Pasca peristiwa itu, atas laporan kurir pemerintah Kolonial Belanda persembunyian para pejuang Manggopoh berhasil diketahui. Belanda menggelar patroli penangkapan. Mandeh Sitti bersama suaminya Rasyid Bagindo Magek tertangkap di atas pondok mereka di Muaro Anak Aia Palangkitangan. Majoali, Rabeb Bagindo Sidi dan Muhammad ditangkap di Muaro Anak Aia Tarung-tarung. Mereka dibawa ke Padang Tongga. Dalam kondisi terikat, Majoali tetap melawan, tali pengingatnya selalu saja lepas, segala usaha Belanda untuk menjahanamkannya tidak berhasil, karena Majoali kebal peluru. Majoali terus disiksa Belanda dan diseret-seret ratusan kilometer. Majoali akhirnya tewas dalam perjalanan karena kehausan dan meninggal di Padang Tongga. Rentetan penangkapan pejuang terus berlangsung. Di Gunung Antokan ditangkaplah Sutan Mangkuto, Sutan Marajo Dulah, dan Khalid Sidi Marah di tempat persembunyian mereka di Goa Batu Bendi.

Setelah didera berbagai hukuman dan siksaan, dalam perjalanan pulang ke Manggopoh, bersama Penghulu Negeri Manggopoh, Sarif Haji Abuang, beserta Asisten Demang Lubuk Basung. Mandeh Sitti berusaha meminta bantuan Contriliur Pariaman agar dipertemukan dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek untuk berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan Mandeh Sitti dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek kala itu, sebab Mandeh juga tidak mengungkapnya pada public maupun pejuang lainnya.

Sejumlah sesepuh adat dan orang-orang tua di Manggopoh ketika itu hanya melihat pasca peperangan dan penangkapan dirinya hingga pelepasan kembali. Setelah Indonesia merdeka, Inyiak Sitti juga seperti mengalami depresi berat. Ia lebih memilih banyak diam ketimbang berbicara yang tidak penting-penting dengan orang sekitarnya. Termasuk ketika Jendral besar TNI Abdul Haris Nasution memasangkan selempang kebesaran di pundaknya. Nenek Sitti hanya senyum dan diam seribu bahasa. Sejumlah tokoh adat, saudara mara handai dan tolan Mandeh menggambarkan duka hati Mandeh karena kehilangan orang-orang yang dicintainya dan teman seperjuangan dengan bidal berikut; “Jarek di tanah taban, si mantuang di parik putuih indak ka manjulai lai. Tanam Anjalai jo jiluang, tampek bapijak nan lah taban, tampek bagantuang nanlah putuih, indak kama badan manggapai lai, tatumbuak dibadan den surang.

Hingga akhir hayatnya, janji yang pernah diucapkan Jendral Besar Nasution untuk menjadikan Mandeh Pahlawan Nasional juga belum terealisasi, dan puluhan tahun hingga 2009 ini. Belum juga. Bahkan dimasa tuanya dulu, Mandeh pernah menerima uang pensiun dari pemerintah RI, namun entah kenapa, tiba-tiba terputus di tengah jalan.

Sejarah tetaplah sejarah, hingga kini perjuangan Mandeh akan terus dikenang dan anak cucu dan generasi para pejuang Manggopoh lainnya yang telah banyak pula besar dirantau dengan perjuangan dan karya mereka masing-masing, meski tidak pernah berjumpa dengan sosok Mandeh, Singa Betina dari Manggopoh itu, sebuah harapan tertanam di sanubari generasi, janganlah bentuk opini dan cerita yang tidak-tidak tentang perjuangan Mandeh atau mengubah sejarah yang telah ternukil di jiwa-jiwa warga Manggopoh dengan tujuan dan alasan apapun, atau malah membelokkan sejarah atas nama kepentingan kelompok dan golongan, atau malah memanfaatkan sejarah Mandeh untuk guna mendulang kebesaran-kebesaran susulan yang telah diraih. Pastinya dari masa ke masa. Selagi darah masih ada yang mewarisi, juru cerita-juru cerita dan perekam sejarah itu akan tetap ada, akan tetap hidup dan tidak akan berbelok. Cukuplah Allah Taala saja saksinya sebab “Titisan binasa kalau lapuk, Janji Binasa kalau mungkir,”****

Disarikan Kembali dari Hj Nurali Tanjung (89 tahun)
Istri Veteran Kemerdekaan RI Kab Agam, Alm (Purn) TNI Kamarudin Sutan

© dr. Rahmi Salbi Ikhwan

Catatan kiriman dari : Rahmi Salbi Ikhwan,
salah seorang keturunan tokoh H. Abdul Manan yang sekarang bermukim di Riau dan cucu dari Hj. Nurali Tanjung



Selengkapnya...

��
22.18 | Posted in ,

Setuju atau tidak, proses transformasi nilai dan budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan. Melalui pendidikan dilakukan suatu aktifitas pentransformasian atau penurunan kebudayaan. Dengan sendirinya akan meretas segala bentuk ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya. Masyarakat yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang berbudi.

Berbicara tentang budaya, di Minangkabau tidak akan bisa lepas dari membicarakan adat, syarak dan seni. Pada kata adat mengandung kearifan, terkait habbluminannas. Karena adat merupakan strata yang menata hidup dan kehidupan suatu masyarakat dalam bingkai humanisasi atau kemanusiaan. Dengan adat masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang memiliki landasan dan pijakan dalam mengeksisitensikan diri di tengah kehidupan bersosial.

Strata-strata adat manata dan memanajemen baik secara pribadi maupun secara kolektif di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga adanya suatu rasa untuk menghargai keberadaan orang lain. Pengaplikasian ini salah satunya dengan menjalankan suatu aturan dalam berkomunukasi dan berinteraksi yang sopan. Dengan menggunakan kata yang empat:

Satu, kata mendatar yaitu bahasa yang dipilih dan digunakan untuk berkomunikasi dengan seusia. Dua, kata mendaki, merupakan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih tinggi atau orang dihargai seperti kepada seorang guru. Tiga, kata menurun, penggunaan bahasa yang sopan dan penuh kasih sayang kepada seseorang yang usianya lebih kecil. Empat, kata melereng, digunakan dalam berkomunikasi antara orang yang saling menghargai. Seperti pilihan kata yang digunakan seorang mertua kepada menantunya.

Jika transformasi nilai-nilai ini berlaku dengan baik dalam masyarakat Minangkabau, diharap mampu teraplikasi dengan ideal. Tentunya tidak akan ada kesenjangan dan ketidakarifan dalam kehidupan masyarakat. Maka transformasi adat yang dilakukan oleh golongan tua (baca: guru) kepada generasi muda bisa dikatakan berhasil.

Sementara itu syarak menekankan kepada pengimplementasian hubungan yang bersifat vertikal habblumminallah. Syarak menata menusia dalam menjalankan agama. Sebagai bentuk suatu proses menuju jalan kebenaran yaitu jalan Allah. Kebenaran-kebenaran syarak ditarik dari kitabullah dan sunatullah. Pada proses pengaktualisasian nilai-nilai dari syarak pada dasarnya tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan suatu perubahan. Karena kebenaran dari syarak itu bersifat mutlak karena diturunkan lansung oleh Allah SWT.

Namun yang akan menjadi perhatian bagi masyarakat Minangkabau yaitu yang terkait dengan suatu aktifitas syarak yang sifatnya berjamaah. Seperi shalat berjamaah, penyelanggaraan jenazah dll. Tetapi syarak yang terkait dengan ritual keagaan yang bersifat pribadi, itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pribadi pula terhadap Ilahirobbi.

Di dalam melakukan proses transpormasi adat dan syarak di Minangkabau lebih banyak dilakukan di surau. Surau sebagai salah satu tempat yang menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, memiliki suatu sistem yang tidak kaku. Sehingga di surau tidak hanya mempelajari agama (syarak) dan adat. Lebih dari itu, surau juga merupakan salah satu sarana tempat berkesenian. Para guru di surau tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun ia adalah seorang pendidik.

Generasi muda di bentuk menjadi generasi islami yang sopan dan tangguh. Keislamian seorang murid diperoleh melalui proses dari pemerolehan pengetahuan tentang agama yang kemudian mampu di jiwanya dan diimplementasikan dalam keseharian.

Terkait dengan kata dan makna “tangguh” di atas, lahir dari pemikiran bahwa sebagai generasi Minangkabau terutama laki-laki dituntut mampu menguasai seni tradisi silat. Pemilihan kata tangguh bukan hanya karena silat merupakan suatu seni bela diri yang bersifat pertarungan fisik. Namun pada silat menyimpan suatu kearifan roh kelektif. Karena silat tidak hanya terkait tentang pergulatan realitas fisikli. Sebagai roh kolektif, silat merupakan seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, perlindungan diri. Ia sebagai sarana dalam berhubungan dengan orang lain. Silat sangat menjunjung tinggi falsafah sosiokultural dan kolektif dalam bersopan santun.

Generasi muda (baca: murid) tidak hanya dilatih untuk mampu bersilat secara fisikli. Namun ia juga dibekali dengan dua silat lainnya yaitu bersilat lidah dan bersilat batin. Pada dasarnya katiga silat ini merupakan satu kesatuan yang utuh, ia merupakan lingkaran setan yang seharusnya tidak terputus. Dengan penguasaan dari ketiga silat inilah yang akan melahirkan adanya silaturrahmi dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Dengan berfungsinya surau sebagai salah satu sarana transpormasi syarak dan seni di Minangkabau tradisional telah melahirkan generasi islami, berbudi dan tangguh. Hal ini tentunya merupakan suatu bentuk dari keberhasilan proses transpormasi pendidikan di Minangkabau tradisional. Keberhasilan yang ideal itu ternyata telah tertinggalkan jauh. Adanya perubahan-perubahan yang bersifat adopsi dan adaptif telah memudarkan pemahaman masyarakat terhadap adat, syarak dan seninya sendiri. Kondisi ini telah menggiring masyarakat untuk menghindar dari jati dirinya sendiri.

Memahami kondisi seperti ini, arifnya tentu tidak menyalahkan apa siapa. Karena di tengah masyarakat kita telah mengenal dengan adigium: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah, nan aia ka hilia juo. Sakali balega gadang, sakali aturan batuka, nan adaik baitu juo.” Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh menutup mata atas akan terjadinya perubahan-perubahan dalam menjalankan kehidupan.

Karena banyaknya pengaruh-pengaruh dari luar. Namun betapapun besarnya pengaruh itu dan betapapun besarnya akibat yang ditimbulkan pengaruh itu. Seperti adanya perubahan dalam menjalankan suatu sistem. Namun jati diri Minangkabau tidak akan pernah pudar apalagi hilang.

Kondisi inilah sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini. Di mana adanya pergeseran-pergeseran pemahaman dari nilai-nilai kebudayaan yang berdampak kepada pergeseran aktualisasi kebudayaan. Tetapi adat Miangkabau yang ideal tidak akan pernah berubah “nan adaik Baitu juo”. Jadi, bagaimanapun kondisi keberbudayaannya masyarakat Minangkabau saat ini itu merupakan kesenjangan masyarakat dalam mengaplikasikan hidup berbudaya. Bukan karena adanya perubahan di dalam adat. Tetapi perubahan dalam menjalankannya.

Sebagai manusia yang berfikir, masyarakat Minangkabau tentu tidak akan bisa menghindar dari segala bentuk perubahan, karena manusia dan kebudayaan itu bersifat dinamis. Ketidak mampuan manyaring budaya (filterisasi kultural) yang ditawarkan oleh budaya luar lah yang menimbulkan degradasi dan kepudaran implementasi adat, syarak dan seni di Minangkabau.

Satu wacana yang sangat positif tentunya atas kegencaran masyarakat Minangkabau dalam mempertanyakan, mendiskusikan dalam seminar-seminar, mengkritik, bahkan mencaci (barangkali) dari keeksistensian budaya Minangkabau saat ini. Semua bentuk ekspresi dari gejolak-gejolak ini merupakan suatu bentuk adanya perhatian dan kepedulian atas kehidupan budaya Minangkabau tersebut dari masyarakatnya saat ini. Semakin banyak masyarakat yang memperhatikan keeksistensian budaya ini berati semakin adanya kegamangan masyarakat atas ketertimbunan budaya Minangkabau (syarak, adar, seni) atas moral modernisme yang negatif.

Dengan meminjam bahasanya Musa Ismail saya mencoba mengangkat batang tarandam dengan “memartabatkan” budaya Minangkabau. Kata dan makna “memertabatkan” bukan berarti selama ini budaya Minangkabau itu tidak bermartabat. Yang namanya konsep budaya Miangkabau akan tetap seperti apa adanya. Namun yang menjadi pemikiran di sini adalah sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini tidak lagi mengeksistensikan diri sepenuhnya dalam kancah budaya. Sehingga melahirkan suatu budaya baru yang merupakan hasil dari kolaborasi budaya yang tendensius dengan budaya modern.

Pada dasarnya kolaborasi ini kemudian melahirkan budaya kontemporer akan menjadi perfek bila masyarakat Minangkabau mampu memilih nilai-nilai yang positif tanpa menyingkirkan ” memarjinalkan” budaya sendiri. Dahan boleh berganti, asal akar tetap menghujam bumi. Maka itulah yang di sebut dengan jati diri.

Sumber : http://www.minangforum.com


Selengkapnya...

��
21.51 | Posted in ,

Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finansial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.

Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.

Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.

Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.

Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.

© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...