13.32 | Posted in


Rekaman Ingatan Saksi Sejarah

*Disebut Juga Sebagai Perang Sabih
*Sia nan Dimakan Ruduih Itu Musuh

Perang Manggopoh tanggal 15-16 Juni 1908 berawal dari rasa muak, kaum ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan rakyat Kanagarian Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Seluruh elemen masyarakat Manggopoh menilai tindakan-tindakan serdadu Belanda sudah berada di luar batas kewajaran sebagai manusia, dan melanggar adat sopan santun masyarakat Manggopoh yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya luhur Minangkabau.

Tingkah polah penjajah Belanda tidak hanya dinilai menzalimi rakyat semata dengan penetapan pajak (belasting) yang tinggi, tapi mulai merambah ranah etika dan moral. Seperti mengganggu istri orang, menggangu perempuan yang mandi dan mencuci di Batang Antokan dan Kalulutan yang mengapit Negeri Manggopoh.

Komplikasi rasa muak yang menjadi-jati itu terus jadi pokok bahasan sesepuh masyarakat dan adat di Negeri Manggopoh. Sebelum dimulainya gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, tanggal 15 Juni 1908 (tepatnya Kamis sore). Aneka rapat telah digelar di sejumlah Mesjid yang ada di Kanagarian Manggopoh, diantaranya Mesjid Nurul Iman Sungkai, komplek perumahan H Abdul Manan, seorang pengusaha kopra kala itu dan Surau Parik sebuah Surau tuo di Balai Satu Manggopoh.

Para tokoh itu antara lain;

* H Abdul Manan bersama 17 orang kepercayaan dan pasukannya
* Bagindo Sutan Siluma yang akrab disapa Mak Luma
* H Abdul Gafar yang bergelar Ranji Sipatokah.

Mereka ini adalah sesepuh masyarakat yang terus menyusun strategi untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. Motivasi untuk melakukan perperangan ini kian menjadi-jadi ketika perang Kamang meletus, Rabu sore, 14 Juni 1908. Angku Rasyid Bagindo Magek, suami dari Inyiak Sitti Manggopoh ikut dalam peperangan Kamang tersebut, karena terus diburu Belanda. Angku Rasyid Bagindo Magek pulang ke Manggopoh. Beliau langsung ke Kampung Koto dan bergabung dengan rekan-rekan pejuang Manggopoh lainnya.

Para pejuang Manggopoh yang telah mempersiapkan diri, diikat dalam sebuah sumpah dan janji; “ Basamo ruduih (pedang) di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji dimakan kutuak Kalamullah,”. Setelah mengucapkan sumpah dan ikrar tersebut mereka meminum air tapuang tawa (tepung tawar) dan menyiram badan mereka. Tepat pukul 22.00 pasukan berangkat ke Mesjid Kampuang Parik (salah satu Mesjid tertua di Manggopoh).

Dalam perjalanan menuju Surau Parik, rombongan bersua dengan Mandeh Sitti, perempuan Manggopoh yang terkenal dengan sikap tegasnya dan salah satu Bundo kanduang yang juga sangat benci melihat kurenah dan tingkah laku Kolonial Belanda.

Kepada rombongan yang didalamnya juga ada suami Mandeh, (Rasyid Bagindo Magek) Mandeh berkata “Udo, sabalun barangkek, singgah kito dulu ka pusaro Limau Paga (sebuah kuburan yang dikeramatkan masyarakat Manggopoh kala itu) sudah itu baru kito taruih ka Musajik Kampung Parik,” ajak Mandeh.

Saran Mandeh Sitti diterima oleh rombongan, para pejuang memanjatkan doa untuk arwah nenek moyang terdahulu yang bersemayam di kuburan itu. Para pejuang juga mengelilingi kuburan ini sebanyak 7 kali, setelah itu langsung berangkat menuju Mesjid Kampung Parik. Rencana penyerbuan dimatangkan di Mesjid Kampung Parik. Tiga orang kurir diutus melakukan penyamaran dengan cara menjadi penjual manggih mudo guna menyelidiki situasi di Benteng Belanda, (bukan penjara atau tahanan, tapi Benteng Belanda*)

Setelah berdoa, di Mesjid Kampung Parik, dengan mengumandangkan takbiran berangkatlah rombongan pejuang menuju Benteng Belanda. Rombongan lain menunggu di semak-semak di sekeliling benteng. Mandeh Sitti ditampilkan sebagai umpan. Mandeh mengetuk pintu Letnan Belanda dan berusaha mencari perhatian dengan mengatakan, “tuan saya nona Sitti”. Kala itu si Letnan Belanda sedang membaca, mendengar suara perempuan yang begitu merdu, si Letnan terperanjat, boleh jadi pada saat itu, ingatannya belum lepas, pada Inyiak Lipah (seorang wanita Manggopoh) yang terkenal dengan kecantikan dan pesonanya juga. Pada siang harinya juga digoda oleh Belanda, tapi dilerai oleh tokoh masyarakat.

Mendengar suara perempuan, si Letnan langsung membukakan pintu, mendapati yang datang adalah Mandeh Sitti, si Letnan terkesima, dan langsung menggiring Mandeh Sitti menuju ke kamarnya. Sikap lengah Letnan Belanda ini dimanfaatkan Mandeh Sitti untuk menghabisinya. Ruduih Mandeh langsung bersarang di leher si Letnan dan terkapar bersimbah darah. Mandeh langsung memadamkan lampu sebagai sandi operasi malam itu. Para pejuang yang berada di luar langsung merengsek masuk ke Benteng Belanda.

Perang malam itu juga sering disebut pejuang Manggopoh dengan Perang Sabih. Sebab dalam suasana gelap, siapa yang musuh dan siapa yang lawan tidaklah begitu kelihatan. Namun sebelum bertempur, garis komando juga sudah disampaikan, tebas dan tebaskan saja ruduih itu kepada siapa saja yang ada dihadapan, -Mana yang dimakan ruduih itu adalah musuh, yang tidak mampan kena ruduih artinya kawan-. Merdeka….

Serangan pada malam hari itu menewaskan 53 orang serdadu Belanda hanya satu orang yang selamat, karena bersembunyi dibawah mayat kawannya. Sementara di pihak pejuang negeri pulang dengan lengkap. Serdadu yang selamat inilah yang melapor ke Lubuk Basung dan minta bantuan ke Pariaman dan Bukittinggi. Besarnya perang Manggopoh yang membuat luka mendalam bagi penjajah Belanda, bukan hanya sekadar isapan jempol. Untuk mengenang perang tersebut. Di tugu Benteng Belanda di Bukittinggi, pemerintahan Kolonial ini menuliskan kalimat dengan cetak miring
“OPSTANT KAMANG MANGGOPOH” Tugu itulah saksi sejarah hingga kini. Bagi generasi muda, atau siapa saja yang saat ini telah jadi pembesar dan generasi muda Manggopoh yang terlupa, silahkan lihat kalimat cetak miring itu di Bukittinggi!.

Secara sejarah, perang Manggopoh menurut cerita yang tua-tua, dibagi atas dua periode, dan dua kali penyerangan. Tanggal 15 Juni, 1908, sebanyak 53 serdadu Belanda tewas. Kemudian datang bantuan bala tentara Belanda lainnya dari Bukittinggi dan Pariaman. Gelombang kedua terjadi Jumat sore, tanggal 16 Juni 1908.

Gelombang kedua ini dipimpin oleh Tuangku Cik Padang, karena saat perang gelombang pertama, Tuanku Cik Padang pergi mengungsikan keluarganya sehingga tidak bisa ikut perang. Ia menyesali kenapa tidak bisa ikut, dan berniat melancarkan serangan susulan untuk serdadu Belanda yang telah berdatangan kembali dan memperbaiki benteng dan membersihkan darah teman-teman mereka.

Tuanku Cik Padang mulai mencari pejuang yang bisa membantunya, namun semua pejuang yang ikut dalam penyerbuan pertama telah mengungsikan diri ke hutan-hutan. Tapi semangat melawan penjajah Belanda Tuanku Cik Padang terus bergelora, ia mulai mencari warga Manggopoh yang mau ikut dengan dirinya. Di rumah Anduang Piak Iyeh, Tuanku Padang berjumpa dengan Pak Kana dan Pak Unuik, ide penyerangan pun digagas. Mereka bertiga akhirnya berangkat menyerbu Benteng Belanda, pada petang Jumat pukul 22. 00. Perlawanan sengit dari pasukan Belanda yang lebih siaga terjadi, ratusan peluru dan aneka penangkal dihantamkan kepada trio pejuang Manggopoh ini. Mereka akhirnya gugur di medan laga.

Sementara di pihak Belanda tidak diperoleh kata yang pasti berapa jumlah korban, ada yang mengatakan 10 orang ada juga yang bilang 6 orang, sebab saat itu pejuang Manggopoh mulai melarikan diri, karena kekuatan Belanda yang datang tidak seimbang dengan jumlah pejuang yang ada, selain itu, gerakan pejuang juga semakin terjepit oleh aksi-aksi musuh dalam selimut yang menjadi antek-antek Belanda. Jasad Tuanku Cik Padang dan dua pejuang lainnya yang tewas dikuburkan di belakang Kantor Kepala Penghulu Manggopoh. Negeri Manggopoh di bumi hanguskan dan dinyatakan sebagai negeri tertutup oleh Kolonial Belanda.
Kabar perang Manggopoh direspon cepat oleh Belanda, mulai dari Batavia hingga Komandan Sumatera. Hari Sabtu, 17 Juni 1908 Controliur dan Asisten Demang diintuksikan memanggil Kepala Penghulu Manggopoh yang kala itu dipegang oleh Malin, Bergelar Datuak Rajo Mandaro untuk dimintai pertanggungjawaban.

Pasca peristiwa itu, atas laporan kurir pemerintah Kolonial Belanda persembunyian para pejuang Manggopoh berhasil diketahui. Belanda menggelar patroli penangkapan. Mandeh Sitti bersama suaminya Rasyid Bagindo Magek tertangkap di atas pondok mereka di Muaro Anak Aia Palangkitangan. Majoali, Rabeb Bagindo Sidi dan Muhammad ditangkap di Muaro Anak Aia Tarung-tarung. Mereka dibawa ke Padang Tongga. Dalam kondisi terikat, Majoali tetap melawan, tali pengingatnya selalu saja lepas, segala usaha Belanda untuk menjahanamkannya tidak berhasil, karena Majoali kebal peluru. Majoali terus disiksa Belanda dan diseret-seret ratusan kilometer. Majoali akhirnya tewas dalam perjalanan karena kehausan dan meninggal di Padang Tongga. Rentetan penangkapan pejuang terus berlangsung. Di Gunung Antokan ditangkaplah Sutan Mangkuto, Sutan Marajo Dulah, dan Khalid Sidi Marah di tempat persembunyian mereka di Goa Batu Bendi.

Setelah didera berbagai hukuman dan siksaan, dalam perjalanan pulang ke Manggopoh, bersama Penghulu Negeri Manggopoh, Sarif Haji Abuang, beserta Asisten Demang Lubuk Basung. Mandeh Sitti berusaha meminta bantuan Contriliur Pariaman agar dipertemukan dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek untuk berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan Mandeh Sitti dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek kala itu, sebab Mandeh juga tidak mengungkapnya pada public maupun pejuang lainnya.

Sejumlah sesepuh adat dan orang-orang tua di Manggopoh ketika itu hanya melihat pasca peperangan dan penangkapan dirinya hingga pelepasan kembali. Setelah Indonesia merdeka, Inyiak Sitti juga seperti mengalami depresi berat. Ia lebih memilih banyak diam ketimbang berbicara yang tidak penting-penting dengan orang sekitarnya. Termasuk ketika Jendral besar TNI Abdul Haris Nasution memasangkan selempang kebesaran di pundaknya. Nenek Sitti hanya senyum dan diam seribu bahasa. Sejumlah tokoh adat, saudara mara handai dan tolan Mandeh menggambarkan duka hati Mandeh karena kehilangan orang-orang yang dicintainya dan teman seperjuangan dengan bidal berikut; “Jarek di tanah taban, si mantuang di parik putuih indak ka manjulai lai. Tanam Anjalai jo jiluang, tampek bapijak nan lah taban, tampek bagantuang nanlah putuih, indak kama badan manggapai lai, tatumbuak dibadan den surang.

Hingga akhir hayatnya, janji yang pernah diucapkan Jendral Besar Nasution untuk menjadikan Mandeh Pahlawan Nasional juga belum terealisasi, dan puluhan tahun hingga 2009 ini. Belum juga. Bahkan dimasa tuanya dulu, Mandeh pernah menerima uang pensiun dari pemerintah RI, namun entah kenapa, tiba-tiba terputus di tengah jalan.

Sejarah tetaplah sejarah, hingga kini perjuangan Mandeh akan terus dikenang dan anak cucu dan generasi para pejuang Manggopoh lainnya yang telah banyak pula besar dirantau dengan perjuangan dan karya mereka masing-masing, meski tidak pernah berjumpa dengan sosok Mandeh, Singa Betina dari Manggopoh itu, sebuah harapan tertanam di sanubari generasi, janganlah bentuk opini dan cerita yang tidak-tidak tentang perjuangan Mandeh atau mengubah sejarah yang telah ternukil di jiwa-jiwa warga Manggopoh dengan tujuan dan alasan apapun, atau malah membelokkan sejarah atas nama kepentingan kelompok dan golongan, atau malah memanfaatkan sejarah Mandeh untuk guna mendulang kebesaran-kebesaran susulan yang telah diraih. Pastinya dari masa ke masa. Selagi darah masih ada yang mewarisi, juru cerita-juru cerita dan perekam sejarah itu akan tetap ada, akan tetap hidup dan tidak akan berbelok. Cukuplah Allah Taala saja saksinya sebab “Titisan binasa kalau lapuk, Janji Binasa kalau mungkir,”****

Disarikan Kembali dari Hj Nurali Tanjung (89 tahun)
Istri Veteran Kemerdekaan RI Kab Agam, Alm (Purn) TNI Kamarudin Sutan

© dr. Rahmi Salbi Ikhwan

Catatan kiriman dari : Rahmi Salbi Ikhwan,
salah seorang keturunan tokoh H. Abdul Manan yang sekarang bermukim di Riau dan cucu dari Hj. Nurali Tanjung



��

Comments

2 responses to "Perang Manggopoh 1908"

  1. PERJALANAN PAJANG KU On 3 September 2014 pukul 11.24

    Assallammualaikum Wr wB

    SANAK WAK Rolly Gara putra manggopoh asli, wak nio buat film dukumentar tentang siti manggopoh, tapi sumber yang lengkap payah wak dapekan, kebetulan tadi wak buka mbah google, basobok cerita awal samo wak, ndak baha kan wak pritn punya sanak ko,,,, salam

     
  2. PERJALANAN PAJANG KU On 3 September 2014 pukul 11.25

    iko nomor wak, 0823-8338-4978