22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


Selengkapnya...

��
22.03 | Posted in , ,

1. Pendahuluan

Dewasa ini, tema pluralisme multietnik hampir mendominasi pertemuan ilmiah bidang sosial budaya. Dengan demikian mengangkat kembali tema agama dan adat tidak layak lagi dicap sebagai menegakkan benang basah. Namun sebagai agama dan etnisitas, ia tetap saja dipandang sebelah mata, khususnya oleh yang beragama lain dan berpandangan modernisasi. Maka budaya Minangkabau (indigenous cultural heritage) dan agama sebagai kekayaan dan ciri khas masyarakat Sumatra Barat perlu dijelaskan betapa ia tetap aktual dalam perjalanan hidup manusia dan masyarakat modern. Ajaran Islam adalah pandangan dan jalan hidup (philosophy and way of live) yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta alam dan manusia yang lebih tahu tentang makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Di antara pandangan Islam terhadap manusia sebagai ajaran (teologis) adalah bahwa manusia merupakan makhluk fisik, ruhaniah, rasional, sosial, dan bertuhan kepada Allah. Pandangan secara teologis ini biasa saja berbeda, bahkan berlawanan dengan Islam secara sosiologis, seperti berbagai aliran eksekutif yang ditemukan dalam fenomena sosial dan sejarah Islam (Agus 2003).

Tetapi kalau dipelajari agama dan adat dari segi ajaran agama, dari segi ideal, das sollen, segi teologis, ia sebenarnya merupakan kebutuhan manusia dan penting untuk dapat mempertahankan manusia sebagai manusia dan masyarakat yang bermakna dan bermartabat. Tanpa ajaran Islam dan adat Minangkabau yang menekankan pentingnya berjamaah, berkeluarga, seiya setida, dan berpedoman kepada agama, manusia Minang bisa saja berubah menjadi ibarat pasir di tepi pantai, ibarat buih di atas air bah, seperti hewan, bahkan lebih hina daripadanya, tidak berubah menjadi malaikat.

Makalah ini melihat agama, khususnya Islam, dan budaya Minangkabau sebagai potensi konstruktif. Islam dari segi ajaran bertujuan untuk menciptakan “kerahmatan bagi segenap penghuni alam semesta” (Q.S. al-Anbiya`: 207). Di samping itu juga ia merupakan kebutuhan manusia.

2. Islam dan Budaya Minang Dalam Cita

Islam dalam makalah ini harus dibedakan antara Islam sebagai ajaran (Islam teologis) dan Islam sebagai realita sosial (Islam sosiologis). Pembicaraan Islam dalam cita adalah Islam sebagai ajaran dari Allah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh penafsiran sepihak. Islam sosiologis adalah sebenarnya kondisi realita umat Islam yang biasa dan bisa saja berbeda seperti siang dan malam dengan ajaran Islam (Agus 2003).

Yang dimaksud dengan budaya Minangkabau dalam makalah ini adalah pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan bermasyarakat. Ajaran tentang moral dan prinsip kehidupan diambil dan dikemukakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala alam dan kehidupan. Pandangan hidup seperti roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah; pakailah ilmu padi, makin berisi makin runduk; bersifatlah mampu menyesuaikan diri di mana pun berada, tiba di kandang kambing membebek, tiba di kandang kerbau menguek; musyawarah untuk mufakat seperti kayu bersilang dalam tungku untuk memasak sesuatu adalah contoh pandangan hidup dan sifat yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan masyarakat lebah, pembagian tersebut makin jelas. Ada yang berfungsi seperti ratu (agaknyo bundo kanduang); ada yang berfungsi sebagai pekerja, ada yang berfungsi sebagai tentara dan seterusnya. Pelajaran dari masyarakat lebah juga selalu memberi manfaat kepada manusia, tetapi jangan diganggu.

Di Minangkabau pemahaman dan pelajaran yang diambil dari gejala alam dan kehidupan makhluk ini dikenal dengan alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru adalah suatu metode untuk mengembangkan aturan bermasyarakat yang sejalan dengan hukum alam dan kehidupan. Untuk memahami gejala alam itu digunakan semua potensi yang dimiliki manusia, yaitu pengamatan pancaindera, pemikiran otak, rasa dan hati nurani. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki ini dikenal dengan raso jo pareso. Dengan demikian masyarakat Minang tidak terjebak kepada kecenderungan memberdayakan hanya pada salah satu potensi tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang adatnya dicetuskan oleh Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan Sabatang tidak menolak kedatangan agama-agama besar dunia. Sebelum Islam datang, Hindu dan Budha pernah berkembang dan menjadi pandangan hidup dan budaya masyarakat. Diterimanya agama Hindu dan Budha karena prinsip sumber daya yang dimiliki dan akan diberdayakan tidak demikian kontradiktis dengan sumber daya manusia menurut adat Minangkabau. Raso jo pareso adalah daya spiritual. Sopan santun dan perilaku baik terhadap orang lain juga sama-sama mendapat perhatian dari adat Minangkabau dan agama Hindu Budha.

Dengan kedatangan agama Islam, orang juga dapat menerimanya walaupun tradisi dan kepercayaan animisme dan adat-adat yang tidak baik tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, berjudi, dan meminum minuman keras tetap berlangsung. Sebenarnya perilaku menyabung ayam, judi dan minuman keras, menurut hemat penulis, tidaklah termasuk adat Minangkabau. Itu hanya perilaku menyimpang dari masyarakat (deviant). Akal sehat, hati nurani, raso jo pareso, dan alam takambang mengajarkan perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Proses Islamisasi tidak berjalan mulus. Namun Islam sebagai indetitas etnis semakin kuat, apalagi setelah perang Paderi. Adat basandi syara` syara` basandi kitabullah ( ABSSBK) telah menjadi identitas etnis suku Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau tidak merombak semua nilai, pandangan dan prinsip hidup masyarakat. Pandangan dan nilai luhur kehidupan tetap dipelihara. Perilaku menyimpang memang ditentang. Islam memperkukuh prinsip alam takambang jadi guru. Kecendrungan dalam gejala alam (yang dalam dunia ilmiah dinamakan teori) dan hukum alam dan kehidupan manusia, oleh Islam dinamakan sunnatullah atau ayat-ayat Allah.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ditukar dengan kepercayaan kepada makhluk gaib seperti jin dan iblis, tetapi semuanya itu tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat bagi yang punya keimanan yang kuat kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tanggung jawab Mamak dan Kemenakan diperkuat dengan tanggung jawab ayah kepada anak. Matriarkhat Minangkabau diperkuat dan diperdalam dengan patriarkhat yang dibawa oleh dari Islam sehingga kekerabatan dalam praktek menjurus kepada bilateral. Maka, Islam sebagaimana juga ideologi dan budaya pendatang lainnya, mula-mula dicurigai dan dimusuhi, kemudian ditolerir, dan akhirnya diterima dan disepakati untuk diintegrasikan dengan adat sehingga sampai kepada adagium ABSSBK.
Adat dan budaya yang mementingkan alam takambang jadi guru serta sopan santun sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (tahu kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng) pada hakekatnya adalah pandangan pentingnya memperdayakan pancaindera, akal, dan perasaan serta hati nurani dalam memahami alam dan kehidupan.

Pemberdayaan potensi-potensi manusia ini diperkokoh oleh Islam. Islam menyuruh menggunakan mata, telinga dan mata hati (qulub) serta menyuruh menggunakan pedoman yang berupa agama dan petunjuk Allah untuk umat manusia. Petunjuk Allah yang dinamakan agama itu mementingkan keyakinan (iman, aqidah), perilaku nyata sehari-hari (syari`ah), perasaan ruhaniah (tasauf), dan pemahaman otak tentang segala yang dihadapi. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan terpadu (tauhid) yang diajarkan oleh Islam agama Allah ini (Agus 1993). Pedoman dan pendekatan wahyu penting diperhatikan supaya sumber daya manusia jangan tergelincir kepada yang membinasakan manusia dan alam lingkungannya.

Pandangan materialisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan nihilisme dilahirkan oleh otak manusia yang tidak mau lagi memperhatikan petunjuk wahyu dan agama, bahkan daya yang dimiliki manusia sendiri, yaitu hati nurani dan perasaan luhur. ABSSBK merupkan political will yang kalau diterapkan akan punya daya fleksibilitas dan dinamis serta prinsip-prinsip yang akan menjamin eksitensi manusia tetap sebagai manusia, yaitu makhluk yang bermoral dan regelius. Pengitegrasian ini penting diperdayakan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern dan arus globalisasi.

3. Agama dan Masyarakat Minang dan Realita

Dewasa ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial adalah
keyakinan-keyakinan yang dianut secara fanatik (Agus, 2003: 68-72). Agama dan etnisitas, termasuk Islam dan budaya Minang, secara sosiologis, dianut secara fanatik. Kefanatikan itu akan terlihat dari indikasi kalau ada yang menyinggung sesuatu yang difanatiki itu, pemiliknya akan melakukan tindakan anarkis. Agama ada yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan anarkis dan teror. Oleh karena itu, agama atau sesuatu yang di”agama”kan mengandung potensi konstruktif dan juga destruktif. Karena hanya potensi, tenaga atau semangat, maka terserah kepada masyarakat pengemban kedua potensi itu, apakah akan dipergunakan kepada yang konstruktif atau destruktif. Teori dan teknologi atom misalnya dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat pula untuk dijadikan bom yang telah menghancurkan. Ke arah yang mana akan digunakan potensi itu tergantung kepada manusia yang memilikinya, dan dalam hal agama dan etnisitas, tergantung kepada kelompok pengemban keyakinan tersebut dan juga perlakuan kelompok lain penganut “agama” yang bersangkutan.

Kalau kelompok lain memperbuat sesuatu yang menyinggung kehormatan penganut agama dan etnis tertentu, tentu potensi konstruktif itu akan segera berubah menjadi potensi “destruktif “. Di samping itu baik agama Islam maupun budaya Minang, kalau dilihat sebagai fenomena sosial (das sein) dewasa ini memang tidak layak dibawa ke tengah. Mengangkatnya dalam forum nasional, apalagi dalam forum internasional, ibarat menegakkan benang basah. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatra Barat, sudah lebih rendah kualitas sumber daya manusianya dari bangsa Vietnam sekalipun. Korupsi makin membudaya di Indonesia, termasuk di Sumatra Barat. Trust dan sumber daya sosial sebagai prasyarat bagi kebangkitan bangsa dan suku bangsa (Fukuyama, 1995) tidak dimiliki lagi.

4. Tantangan Modernisme Global

Walaupun seminar dan pertemuan ilmiah dewasa ini punya tema dikaitkan dengan multikultural, namun modernisme masih tetap mendominasi dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi, kekuasaan ekonomi dan politik, modernisme terlebih dahulu harus disadari bahwa modernisasi berbeda dengan modern. Bangsa Indonesia, termasuk orang Minang harus menjadi bangsa dan suku bangsa yang modern, tetapi tidak boleh terjerumus ke dalam modernisme. Bangsa yang modern menghasilkan dan memanfaatkan temuan teknologi modern untuk kesejahteraan hidup bangsa. Bangsa Indonesia dan orang Minang harus menggunakan jasa pesawat terbang, mobil, satelit, internet dan kemudahan lain dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kesejahteraan dan rahmatan lil`alamin.

Kecenderungan memperhatikan hanya satu aspek kehidupan pernah digagas oleh para pemikir, seperti pandangan hidup rasionalisme, empirisme, materialisme, spiritualisme, individualisme, dan sosialisme. Dominasi salah satu aliran filsafat tentang daya apa yang harus diutamakan dalam memahami sesuatu di Barat mengakibatkan daya yang berasal dari luar manusia, seperti wahyu dan ajaran Tuhan, tidak dipercayai. Ajaran yang berasal dan wahyu yang berkembang di tengah masyarakat dianggap sebagai hanya dakwaan pembawa dan alat untuk memperkokoh legitimasi.

Pandangan yang hanya menggunakan sumber daya manusia dan menolak segala yang berasal dari luar diri manusia berkembang di Barat dengan semangat Renaissans mulai abad ke-14 sampai dewasa ini menjadi ideologi sekuler. Sekularisme yang juga diperkuat dengan materialisme dan rasionalisme berkembang di seantaro dunia sampai dewasa ini. Di kalangan masyarakat Minangkabau pandangan hidup sekuler tidak dapat diterima secara prinsip. Barat menolak memberdayakan potensi hati nurani yang cenderung mengakui keberadaan manusia dan manusia butuh kepada bimbingan, petunjuk, dorongan semangat dan kasih sayang-Nya.

Hati nurani dikenal juga dengan potensi ruh yang menurut surat as-Sajdah ayat 7-9, adalah bagian dari ruh Allah yang mampu ditiupkan-Nya kepada janin setelah fisik janin terbentuk. Karena itu mata hati mampu melihat Tuhan dan kebesaran-Nya. Tetapi Barat dengan semangat renaissansnya menolak ajaran yang bersumber dari luar diri manusia tersebut. Jadilah manusia sebagai konseptor, aktor dan tujuan kehidupan sekaligus. Renaissans adalah antroposentrisme.

Sekularisme dengan materialismenya telah mengakibatkan berbagai krisis sosial dan lingkungan. Kegersangan nilai-nilai spiritual telah menjangkit masyarakat sekuler. Berkembangnya berbagai aliran acultisme, bahkan yang tidak lagi rasional seperti The San Temples dan the People Temples di masyarakat yang dianggap termaju di dunia, seperti Amerika, adalah konsekwensi logis dari masyarakat yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dalam menatap hidup yang makin kompleks ini. Gejala bunuh diri sebagai kekecewaan dan kehilangan pegangan yang sangat mendalam dalam kehidupan ini adalah fenomena sosial masyarakat maju yang sekuler itu. Runtuhnya institusi keluarga juga konsekwensi logis dari individualisme dan emansipasi yang kebablasan. Krisis ekologi dan pencemaran lingkungan adalah resiko yang harus diterima dari materialisme yang sudah lepas dari kendali agama.

Sedangkan modernisme adalah paham yang ingin berprinsip bahwa agama dan nilai-niali budaya lain tidak layak lagi dipakai untuk pembangunan sosial. Manusia harus bangkit dengan kemampuan otak dan otot (fisik, materinya) dengan meninggalkan segala campur tangan lain, seperti agama, tradisi dan doktrin-doktrin lainnya dalam mengelola masyarakat. Untuk itu sekulerisme, positivisme ilmiah, ekonomi pasar bebas, demokrasi kuantitatif, liberalisme, materialisme, individualisme dan hedonisme adalah perangkat penting untuk mendukung prinsip modernisme. Sebagai ideologi modemisme, ia diperjuangkan untuk diterima di dunia dengan berbagai macam negara dan budayanya. Oleh karena itu, modernisme dikritik oleh posmodernisme sebagai ideologi yang bersifat imperialis dan kolonialis. Dengan daya otak dan materi yang kuat sehingga menjadi negara adidaya, modernisme yang dimotori oleh Amerika telah menjadi beringas dan mengabaikan tatakrama kehidupan bersama dalam dunia internasional. Kebringasan Amerika akhir-akhir ini di lrak dan Afganistan, dan hegemoni budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuannya di negara-negara lain adalah bukti-bukti yang menguatkan tesis yang dikemukakan oleh Huntington (1996).

Dalam era globalisasi seperti dewasa ini terlihat dominasi budaya modernisme yang dimotori oleh Amerika dengan perangkat pasar bebas, demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), positivisme ilmiah, sekularisme dan liberalisme moralnya. HAM berpandangan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dalam menikmati hak-hak asasinya berdasarkan perbedaan agama, suku, suku bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Sedangkan agama dan adat dinilai membatasi banyak kebebasan manusia. Ini berarti bahwa arus modernisme yang bersifat kolonialisme itu tidak pluralis. Pluralisme sejalan dengan posmodernisme. Dengan lembaga internasional dan penguasaan teknologi dan komunikasi, modernisme masih dominan walau pun dalam pertemuan ilmiah dan wacana pemikiran pluralisme atau posmodernisme telah menjadi tema seminar dewasa ini.

Pemikiran modernisme makin mencemaskan perkawinan antar agama dan etnisitas. Perkawinan tersebut digembar-gemborkan akan memperjauh dan HAM, demokratisasi dan inklusifisme dan akan mempersubur gerakan “teroris” yang diperhalus dengan istilah fundamentalisme, ekslusifisme atau primordialisme. Pengalaman bangsa Indonesia yang terpecah-pecah setelah reformasi, sukuisme dan agama bangkit kembali dan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan, seperti kasus Ambon, Poso, dan Kalimantan Tengah.

Postmodernisme memperjuangkan diberinya kesempatan kepada setiap budaya, ideologi, dan agama suatu masyarakat untuk mengembangkan sistem politik, ekonomi, budaya dan bahkan pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan aspirasi politik, ideologi, budaya dan agama masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986). Maka postmodernisme mendukung multi kultural, sementara modernisme bersifat kolonial yang dilancarkan secara halus sehingga meminjam ungkapan Malik bin Nabi (1969: 206-208), bangsa terkebelakang itu pula sekarang yang bermental layak untuk dijajah, yang minta-minta untuk dijajah (al-qabiliyah li al-isti`mar), seperti selalu mengharapkan kucuran dana hutang setiap tahun.

Islam dan budaya Minang jelas menentang paham sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme. Umat dan suku bangsa yang memegang suatu norma moral, sistem hukum, tata kehidupan bersama, seperti tidak boleh murtad, pamer aurat, free-sex dituduh sebagai bangsa yang tidak menghormati hal-hak asasi manusia. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan individu, sedangkan komunits tidak diberi hak untuk menentukan aturan untuk mereka sendiri. Tetapi kehidupan manusia memang unik. Di tengah-tengah deru modernisme, individualisme, sekularisme dan bahkan materialisme itu, timbul pula kerinduan kembali kepada identitas kelompok, kepada spiritualisme dan agama.

Naissbit dan Aburdene mengungkap hal ini sebagai salah satu dan megatrends (Naissbit dan Aburdene 1990). Indonesia setealah 32 tahun berada dalam rezim “asas tunggal” dan sentralisasi berubah menjadi dijangkit demam promordialisme. Etnik, kelompok, agama, daerah kembali bersuara lantang, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan kelompok lain. Di skala intemasional dan Barat sendiri, pandangan modernisme yang mendesak segala yang dianggap primordialisme juga mendapat tantangan serius. Posmodernisme kembali menghidupkan segala macam primordialisme. Kelompok, etnik, ideologi, agama, ras, jenis, kelamin harus mendapatkan hak untuk menghayati kehidupan dengan cara pandang dan keyakinan mereka masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

5. Islam dan Budaya Minang untuk Menghadapi Tantangan Modernisme

Ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen dan lainnya, tidak terlepas dari interprestasi yang ditonjolkan pada suatu periode tertentu oleh pemukanya. Ajaran Calvin, misalnya dinilai oleh Weber sebagai penggerak berkembangnya etos kerja yang menumbuhkan kapitalisme (Weber, 1958), berbeda dengan ajaran Katolik Roma zaman tengah yang dinilai sebagai penyebab keterbelakangan dunia Barat. Demikian juga perkembangan Islam di zaman klasik yang melahirkan sejumlah ilmuwan dan filusuf tentu tidak terlepas dari teologi yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi inklusif, bersedia menerima kebenaran dan manapun datangnya (al-Badawi, 1965). Kemunduran Islam sesudahnya mulai abad ke 13 M/8 H juga tidak terlepas dari interprestasi ajaran agama yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi fataistis, budaya sufistik, dan ketertutupan, taklid, atau ekslusif (lihat Hourani, 1962 dan Amin, 1971).

Untuk meningkatkan kualitas kerja dan profesionalisme, dakwah, studi danpendidikan agama perlu ditekankan pada teologi yang dalam ajaran Islam dinamakan dengan ihsan. Perlu diungkapkan menjadi aqidah, iman, keyakinan atau teologi, yaitu bahwa bekerja dengan kualitas baik, teliti, bagus, berdaya guna lebih luas harus dimasyarakatkan sehingga menjadi aqidah, teologi atau komitmen setiap pribadi Muslim. Kemudian keyakinan keagamaan kepada makhluk gaib, akhirat dan lain-lainnya perlu dikembangkan dengan paradigma untuk meningkatkan kualitas amal dan karya di dunia ini, untuk mewujudkan rahmatan lil`alamin.

Pengertian dan konsep amal yang masih banyak dianggap sebagai kegiatan ritual dan sedekah amal harus ditingkatkan dalam pengertian segenap aktivitas sosio-kultural yang positif dan lainnya (pahalanya) terletak pada tinggi rendahnya kualitas kerja yang tergantung padanya kekuatan umat, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya. Kemudian
kedudukannya berubah menjadi kewajiban pribadi (fardhu `ain) bagi yang telah memilih salah satunya sebagai profesi dan bidang tugasnya.

Konsep-konsep tersebut adalah contoh-contoh yang memerlukan penggarapan baik oleh masyarakat, seperti melalui media massa, gerakan dakwah, maupun melalui political will, seperti beasiswa untuk studi teologi, alokasi dana pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang memadai untuk tujuan tersebut.

Efek lain dari kemajuan teknologi dan pesatnya kegiatan ekonomi dan produksi adalah bahwa manusia merasa dirinya hanya bagian atau bahkan pelayan dari mesin-mesin. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan antara satu sama lain semakin tipis karena telah diperenteng oleh alat komunikasi canggih. Manusia merasa kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang kreatif, punya harga diri, berarti, dan makin tidak merasakan hubungan sosial yang ikhlas. Manusia modern hidup teralienasi, mengidap anomali atau anomi.

Keberingasan massa, terorisme, kriminalitas, menjadi pecandu obat bius dan ekstasi, menjamurnya kelompok meditasi dan ajaran “agama” yang aneh-aneh (cults), adalah konsekwensi dari manusia yang telah kehilangan jatidiri dan nilai-nilai spiritual. Karena kegersangan spiritual ini Naisbitt dan Abuderne (1990: 270-297) meramalkan bahwa abad 21 juga merupakan abad kebangkitan agama, atau lebih tepat dikatakan dengan kebangkitan kelompok spiritual.

Maka agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat era globalsasi dan industry untuk dapat memberikan siraman dan melestarikan hubungan sosial. Roger Garaudy (1985), dari perjalanan hidup dan pemahamannya terhadap pemikiran di Eropa sebagai seorang yang pernah aktif dalam partai Komunis Prancis dan guru besar filsafat, berkesimpulan bahwa permasalahan manusia modern adalah putusnya hubungan dengan yang transendental dan hubungan sosial dan Islamlah yang mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Kemudian ciri lain dari masyarakat dunia dewasa ini adalah bahwa mereka mengkonsumsi sajian media komunikasi yang bermacam ragam. Dengan media cetak dan elektronik modern berbagai nilai, pendapat, gagasan, perilaku dan gaya hidup, disuguhkan dari segenap penjuru dunia tanpa batas. Dampak kemajuan media komunikasi ini jelas berpengaruh terhadap keyakinan dan ajaran agama yang selama ini atau seharusnya diyakini. Kemajuan media cetak dan elektronik ini mengakibatkan tumbunya relativisme nilai budaya dan agama.

Tidak adanya nilai dan hal-hal yang dipercayai dalam kehidupan seseorang menjadikan hidup dalam kebingungan, goncang, tidak ada pegangan, dan gelisah. Kalau gejala ini telah menimpa sebagian besar anggota masyarakat,masyarakat tersebut sudah rapuh, goyah atau keropos. Gejala banyak anggota masyarakat yang mengikuti berbagai macam aliran kebatinan, meditasi, pengobatan alternatif, berbagai cults, baik di Timur ataupun Barat seperti yang telah disinggung di atas menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya luhur.

Oleh karena salah satu ciri beragama adalah bahwa nilai dan ajarannya dipercayai sebagai mutlak benar, maka memupuk keyakinan beragama setelah diadakan penafsiran yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam pendekatan dakwah dan pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelamatkan manusia yang sudah kehilangan pegangan hidup akibat telah digoncang oleh suguhan media kommikasi modern yang kontradiktif.

Masalah yang menjangkiti masyarakat modern yang rasional ini adalah mengidap stres. Stres menjangkiti kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, di masyarakat, dan di rumah tangga. Kegagalan dalam mencapai banyak hal juga mengakibatkan stres. Konflik antar individu dan antar kelompok juga mengakibatkan stres. Stres juga menurunkan kondisi kesehatan fisik.
Tetapi dengan iman kepada takdir Allah terhadap segala yang telah dialami membantu untuk tidak terlalu stres menghadapi hambatan, konflik dan kegagalan. Dengan iman kepada takdir yang diajarkan Islam, kita juga tidak terlalu cemas menghadapi masa depan dan siap mental menghadapi segala macam resiko.

6. Kesimpulan

Kehidupan yang didominasi modernisme menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Manusia membutuhkan materi, kepuasan spiritual, perhatian, ketenangan, penjelasan rasional, keyakinan dan kepastian hidup, kiat menghadapi persoalan dan kegagalan, hubungan sosial yang baik dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. Tidak terisinya salah satu dan hubungan tersebut akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan. Pandangan modernisme tentang kehidupan cenderung mementingkan salah satu atau beberapa saja dan kebutuhan tersebut dan mengabaikan yang lain. Maka sumber permasalahan adalah bahwa manusia modern tidak memiliki suatu keyakinan dan pandangan hidup yang dapat mengisi kebutuhan tersebut. Maka agama yang belum terlalu direduksi oleh pandangan manusia, serta budaya yang biasa dianggap tradisional, seperti budaya Minang, tetap diperlukan dalam kehidupan modern karena masih punya dimensi-dimensi yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

© Bustanuddin Agus
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
http://blogminangkabau.wordpress.com



Selengkapnya...

23.00 | Posted in , ,

Surau dan Madrasah di Minangkabau

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama

Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren

Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren

Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah

Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

��

Padang - Sebagai salah satu kawasan yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah air, terutama di pesisir Barat Sumatera, wilayah Sumatera Barat (Sumbar) terhitung kaya dengan berbagai peninggalan sejarah Islam. Selain beragam seni dan budaya Islam yang terus berkembang di daerah tersebut, sejumlah bangunan tua, seperti masjid-masjid, yang menjadi saksi perkembangan Islam di kawasan tersebut hingga kini masih dapat ditemui. Di samping Masjid Muhammadan di Pasa Batipuah, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Masjid Raya Ganting merupakan salah satu masjid tua di Kota Padang yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Dibandingkan masjid Muhammadan, usia Masjid Raya Ganting jauh lebih tua. Arsitektur Masjid Ganting merupakan perpaduan dari berbagai corak arsitektur karena pengerjaannya melibatkan beragam etnis seperti Belanda, Persia, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau. Bahan-bahannya dipilih yang bermutu tinggi. Untuk bahan kayu didatangkan dari Bangkinang, Riau (kayu Ulin), Kayu Rasak dari Indrapura, Pesisir Selatan dan Kayu Kapur dari Pasaman. Sedangkan seng, ubin, semennya didatangkan dari Eropa.

Cikal bakal masjid ini adalah sebuah surau dari kayu yang terletak tidak di lokasi itu pada 1700-an. Surau ini dibongkar karena terkena proyek jalan ke Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) yang dibuat Kolonial Belanda. Pada 1805 tiga pimpinan setempat, masing-masing seorang ulama, saudagar, dan pimpinan kampung di Ganting memusyawarahkan pendirian masjid. Mereka meminta bantuan saudagar-saudagar di Pasar Gadang (Padang Kota Lama) dan ulama tak hanya di Sumatra Barat, tapi hingga ke Sumatera Barat dan Aceh. Bantuan datang tak hanya dalam bentuk uang, tapi juga tenaga tukang ahli dari pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau). Selama lima tahun, masjid ini siap pada 1810 dengan bahan kayu, batu kali, bata, dengan pengikat kapur dicampur putih telur. Bangunan yang dibangun bangunan utama sekarang ini.

Periode kedua pada 1900 hingga 1910 adalah periode pemasangan tegel yang didatangkan dari Belanda dengan semen, serta pembuatan bagian depan masjid yang mirip dengan benteng spanyol. Dalam pembangunan ini bantuan tenaga juga datang dari Komandan Zeni (Militer Belanda). Periode ketiga pembuatan menara kiri-kanan masjid hingga siap pada 1967. Sementara itu, etnis Cina di bawah komando Kapten Lou Chian Ko (Kapten 10) ikut mengerahkantukang-tukang Cina untuk mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap Vihara Cina. Begitu juga Mihrab tempat dimana Imam memimpin shalat dan menyampaikan khutbahnya juga dibuat ukuran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dan kayu ukuran 4 yarm dan diberi ukiran Cina, tempat ini digunakan oleh bilal untuk mengulang aba-aba Imam sewaktu shalat berlangsung. Waktu itu, pengeras suara dan listrik belum dikenal. Hanya sayang kedua bangunan itu tahun 1974 dibongkar oleh pengurus masjid yang bertugas pada saat itu. Pada tahun 1803- 1819, ketika gerakan Ulama Padri mulai bangkit di Minangkabau, maka para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Ganting kala itu. Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap masjid tersebut.

Pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di Padang dan menimbulkan gelombang tsunami yang merambah sebagian besar Kota Padang. Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang selamat dan hantaman gelombang tsunami, Namun lantai batu Mesjid terpaksa diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung. Kini, masjid tua yang eksotis ini terdiri atas dua bagian besar yakni bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar Mesjid digunakan sebagai pelataran parkir, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar tamir. Sementara, bagian dalam masjid berupa ruang lepas tempat shalat, mihrab di bagian barat sekaligus sebagai penentu arah kiblat, serta terdapat 25 tiang penyangga. Tiang sebanyak itu melambangkan 25 nabi atau rasul yang wajib diimani yang nama-namanya terukir indah dalam tulisan kaligrafi yang ada dalam masjid tersebut. Sedangkan pada bagian luarnya terdiri dari pelataran parkir yang memadai, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar t’mir .

Tiang-tiang ini berfungsi sebagai penyangga balok-balok kayu untuk penahan lantai bagian atas bangunan kayu yang mirip pagoda. Tiang-tiang yang juga terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Bahkan balok-balok kayu hanya diletakkan di atasnya tanpa ikatan. Gempa 6,7 Scala Richter yang mengguncang Padang pada 10 April 2005 yang bersumber dari Kepulauan Mentawai meretakkan 15 tiang ini, bahkan satu di antaranya terjatuh sebagian puncaknya.

Tatanan atap Masjid Ganting berupa atap susun berundak-undak sebanyak 5 tingkat. Tingkat pertama bercorak tradisional segi empat mirip atap rumah adat tanpa gonjong. Sedangkan tingkat 2-4 berbentuk segi delapan seperti kelenteng. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Masjid ini mempunyai 8 pintu pada bagian dalam dan 17 buah jendela bergaya Persia. Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid turut memberikan andil. Selain lokasi pengembangan agama Islam di Sumatera, juga pernah dijadikan lokasi Jambore Hisbul Wathan se-Indonesia pada 1932, dijadikan lokasi rapat pemuda pejuang di zaman proklamasi dan revolusi 1945. Pada 1942, Ir. Soekarno, yang kelak menjadi presiden RI pertama pernah menginap di rumah di belakang masjid dan selalu shalat di masjid ini.

Sumber : http://www.bogabi.com


Selengkapnya...

Sumatra Barat terkenal dengan gudangnya para Ulama sebut saja Syech Yasin Al Padani dan Buya Hamka keduanya sosok ulama yang sangat mumpuni yang berasal dari Minang. Ada satu tokoh Ulama juga yang berasal dari Minang yaitu Syech Sulaiman Arrasuli.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan “Inyiak Canduang”. Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia. Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.

Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i. Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, “Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :
1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.

Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya

Sumber : Syaifullah Amin
http://www.nu.or.id

Selengkapnya...

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat ini kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Diantaranya yang utama adalah Kapeh-Kapeh, Pamansiangan, Koto Tuo Cangking, Koto Tuo Empat Koto dan lain-lain (Sanusi Lathief, 1988). Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ini menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan. Perkembangan ini memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syathariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis baru keislaman. Sintesis baru itu sangat mungkin merupakan akibat pertemuan Syathariah dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, antara lain pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat yang disebut terakhir ini juga telah memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri .

Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syathariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tashauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995;288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tashauf ini tidak hanya berisikan ajaran tashauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (cf. Dobbin, 1992; 151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Meskipun perkembangan Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Dari sisi konflik keagamaan yang terjadi itu, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan polemik pemikiran keagamaan yang tertuang dalam berbagai naskah keagamaan yang tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.

Islam di Minangkabau sebelum masuknya Aliran Tashauf

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa aliran tashauf dalam bentuk tarikat paling awal masuk ke Minangkabau adalah pada paruh pertama abad ke 17, yaitu tarikat Naqsyabandiyah kemudian menyusul tarikat Syatariyah pada paruh kedua abad ke 17. Tarikat yang disebut terakhir dibawa oleh Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pesisir barat Sumatera Barat, tepatnya pada tahun 1070 H./1659 M. Pada waktu ini, sebenarnya, Islam sudah dikenal secara umum di Minangkabau dan sudah menjadi anutan masyarakat, meski praktek pengamalan ajaran Islam tidak merata di seluruh nagari dan masih saja terdapat praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dari beberapa fakta yang ditemukan, diketahui bahwa setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir timur Sumatera. Salah seorang muballigh Islam yang berperan dalam proses konversi Islam tahap awal ini adalah Syekh Burhanuddin Kuntu. Diperkirakan dari wilayah timur inilah Islam pertama kali diperkenalkan ke wilayah pusat Minangkabau .

Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer yang dapat digunakan, selain dari beberapa sumber sekunder yang mengemukakan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di wilayah jalur perdagangan . Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan oleh mubaligh Minangkabau ke luar wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Midanao dan Sulu, Pilipina selatan , dan Syekh Ahmad yang mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 1467 . Baru pada awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal (Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro).

Persebaran Aliran Sufi di Minangkabau

Setidaknya ada tiga aliran tashauf yang berkembang di Minangkabau, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Diantara ketiga aliran ini maka aliran Syathariyah adalah yang paling mudah ditelusuri sejarahnya di Minangkabau. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa thariqat ini pertama kali dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman pada tahun 1659 setelah ia mempelajarinya dari Syekh Abdur Rauf Singkil, murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan banyak dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau untuk belajar, dan setelah menamatkan pelajaran, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk meneruskan pengajaran yang diberikan Syekh Burhanuddin. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling dikenal dalam pengembangan ajaran Syathariah di wilayah pedalaman Minangkabau ialah Tuanku Nan Tuo di Mansiang dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Mansiang.

Tarikat Naqsyabandiah, diperkirakan sudah lebih dulu masuk ke Minangkabau dibanding dengan Syathariyah, namun jaringan pengembangannya tidak banyak diberitakan. BJO Schrieke (1973) menyebut tentang Syekh Ismail Simabur sebagai syekh Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Menurutnya, Syekh Ismail menyebarkan tarikat ini kira-kira pertengahan abad ke 19. Schrieke juga menerangkan tentang beberapa nama ulama yang melanjutkan penyebaran tarikat ini, diantaranya Syekh Jalaluddin Faqih Shagir, Cangking (w. 1870) dan Syekh Abdul Wahab Kumpulan (w.1915). Akan tetapi berbeda dengan Schrieke, Christine Dobbin (1992) mengemukakan bahwa tarikat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad 17 yang dibawa oleh seorang cendikiawan dari Pasai Sumatera timur laut, dan tinggal beberapa waktu di Agam dan 50 Kota .

Sependapat dengan Dobbin, Azyumardi Azra (1995) dengan merujuk Ph. S. Van Ronkel, juga mengemukakan bahwa yang membawa tarikat ini adalah Jamaluddin, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan ke Bayt Al-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, kemudian pulang ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17 M. dan aktif menyebarkan tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya ini . Selanjutnya disebutkan juga bahwa Jamaluddin adalah penulis teks fiqh Naqsyabandiyah yang berjudul Lubab Al-Hidayah yang didasarkan atas ajaran Ahmad Ibn ‘Alan Al-Shiddiqi Al-Naqsyabandi.

Dari dua sumber terakhir, diperkirakan bahwa tokoh pembawa tarikat Naqsyabandiyah adalah Jamaluddin, meskipun Dobbin tidak secara eksplisit mengemukakan nama itu, bahkan menduga bahwa tokoh ini berasal dari Aceh. Berdasarkan kedua sumber ini dapat disimpulkan bahwa Tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang dengan baik di wilayah pedalaman Minangkabau sebelum ajaran tarikat Syathariyah masuk ke wilayah ini. Hingga akhir abad ke-18 tarikat Naqsyabandiyah memperoleh tempat yang subur di wilayah pedalaman Minangkabau, karena beberapa ajarannya yang dapat diterapkan oleh masyarakat awam, apalagi guru-guru tarikat yang membaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Dobbin menjelaskan bahwa banyak guru-guru tarikat ini yang menjalani kehidupan sebagai petani biasa . Suatu perbedaan yang sangat besar dengan tradisi guru-guru Syatariyah di wilayah pesisir. Pusat-pusat tarikat Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18 di wilayah pedalaman terletak di desa-desa pertanian yang subur, seperti Taram di Lima Puluh Kota, Cangking di Agam, dan Talawi di Tanah Datar
Sedangkan tarikat Samaniyyah tidak didapatkan data yang lebih pasti tentang kedatangannya di Sumatera Barat, namun dari beberapa keterangan dari masyarakat Pasaman, tarikat ini dibawa oleh Syekh Muhammad Said Padang Bubus yang sebelumnya belajar tarikat ini di Sumatera utara. Kemudian diketahui bahwa pada akhir abad ke 19 di desa Kumango Batu Sangkar berdiri suatu perguruan tarikat Samaniyyah yang dipimpin oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidy (w.1931). Ia mempelajari tarikat ini dari Syekh Muhammad Amin Ridhwan, murid Syekh Muhammad Samman Al-Qadiry di Madinah. Diantara murid-murid tarikat ini di Minangkabau adalah : Syekh Muda Abdul Qadim Balubus 50 Kota dan Syekh Ahmad Barulak, Tanah Datar .

Sufisme dan Aktifitas Sosial dan Ekonomi

Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat (nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota.

Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan, seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi . Kesaksian Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin (selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst” Dalam naskah HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawi yang terjadi diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat kebanyakan.

Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat pada akhir abad ke 18 di wilayah pedalaman, agaknya telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya permintaan komoditi kopi, sementara tidak diiringi dengan adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalin kerjasama perdagangan. Kondisi seperti ini lebih diperparah lagi oleh munculnya berbagai bentuk kejahatan di kalangan masyarakat, seperti perampasan barang dagangan. Pasar-pasar yang sudah aktif untuk kegiatan transaksi perdagangan, sering diwarnai dengan kegiatan judi, sabung ayam, dan bahkan tidak terkecuali penjualan candu dan tuak. Di samping itu berbagai sengketa dagang juga tidak terelakkan. Banyak para pedagang mengalami kesulitan apabila bersengketa dengan pedagang dari desa tetangga, terutama menyangkut hutang piutang. Para penghulu di desa-desa pasar biasanya menyelesaikan persengketaan berdasarkan hukum adat. Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat sering tidak menyelasaikan masalah, karena kurang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa dan karena ketentuan adat yang sangat terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda-beda. Dalam kaitan ini, posisi surau adalah sangat strategis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.

Dalam keadaan masyarakat seperti ini, keberadaan surau, terutama di wilayah pedalaman, semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat, terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan harta kekayaan. Meluasnya masalah yang ditemui oleh masyarakat dalam hal perdagangan, mengimplikasikan perlunya pengaturan yang lebih rasional dalam hal sistem perdagangan yang dijalankan, sementara itu, surau dianggap lebih dapat memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-kaidah agama yang jelas dan rasional.

Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau ini pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini, sehingga dapat berdampingan dengan adat masyarakat setempat.

Tingkat kemakmuran masyarakat akibat kegiatan perdagangan telah pula menarik jumlah lebih banyak murid-murid untuk mendalami pengetahuan agama di surau-surau yang ada. Untuk mengimbangi keadaan ini, beberapa suraupun melibatkan diri dengan kegiatan perdagangan dan bahkan tidak jarang suatu surau ikut menghasilkan komoditi pertanian yang mereka usahakan dengan murid-muridnya di sekitar surau itu. Pada akhir abad ke 18 surau-surau di Agam dan Lima Puluh Kota telah mengambil keuntungan dari perubahan perdagangan ini. Murid-murid surau diwajibkan memperkenalkan pembaharuan norma-norma kehidupan yang berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat, terutama yang menyangkut dengan masalah perdagangan. Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh...dst” .

Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat dalam kehidupan sebagai muslim yang baik . Ia mengirim murid-muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai pelindung para pedagang

Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18, agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian-- memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini.

Namun demikian sebelum kita sampai pada kesimpulan itu, agaknya perlu dilihat faktor-faktor apa yang telah membentuk kondisi dialektis dan dinamis seperti itu, apakah dapat dihubungkan dengan ajaran tashauf yang berkembang secara umum di wilayah ini ?, ataukah merupakan sebuah keadaan yang dibentuk oleh faktor-faktor eksternal yang mencirikan lingkungan lokalitas di mana ajaran itu dikembangkan hingga melahirkan diamika yang spesifik?. Hal ini akan menjadi bahasan pada sub berikutnya.

Dinamika Sufisme di Pedalaman : Ke Arah Pembaharuan Awal

Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya digunakan dalam tulisan ini. Untuk melihat perkembangan secara lebih jelas, agaknya perlu diketahui siapa sebenarnya Tuanku Nan Tuo, demikian juga latar belakang pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.

Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo pernah belajar dengan salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan yang bernama Tuanku Nan Tuo di Mansiang. Kedalaman ilmu yang dimilikinya di berbagai bidang ilmu juga didapatkan dari beberapa Tuanku di luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Ia dikenal dengan kealiman dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh beberapa penulis , akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh Burhanudin Ulakan . Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo semuanya….” .

Dengan demikian diketahui bahwa di antara guru-guru Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek, sebagaimana disebutkan itu, hanya satu orang yang mempunyai pertalian dengan pengembangan tarikat Syathariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo di Mansiang, selebihnya adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at. Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah dari Tuanku Nan Tuo di Mansiang, namun ia tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang mengajarkan tarikat. Tentang ilmu hakikat yang juga dikuasainya sebagaimana diceritakan oleh muridnya Jalaluddin di dalam naskah HSJ, hanya dapat memastikan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah seorang penganut sufisme dan tidak didapatkan satupun keterangan tentang pengembangan tarikat Syathariyyah di surau Tuanku Nan Tuo dan di kalangan murid-muridnya.

Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18, setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek. Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri. Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara eksplisit , namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking Ampek Angkek . Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah kiblat dan sebagainya .

Selain itu, ajaran inti kedua aliran tarikat itu sama-sama didasarkan pada wajibul wujud (kewajiban ‘Ada’), dan hanya berbeda dalam memandang yang ‘Ada’ itu. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian menyebabkan aliran-aliran tarikat mengembangkan cara masing-masing dalam pencapaian (muraqabah) terhadap ‘Ada’ itu, yang antara lain dengan cara melakukan latihan rohani dengan berzikir hingga mencapai tingkat fana’. Untuk mencapai taraf ini, kedua aliran melakukan cara (tarikat) dan penerapan yang berbeda. Aliran tarikat Syathariyyah yang dikembangkan di Ulakan memandang bahwa seluruh isi alam ini pada hakekatnya tidaklah ada, yang pasti ada hanyalah Allah Ta’ala. Ini disebut dengan wihdatul wujud (kesatuan Ada). Upaya pencapaian seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada yang Ada itu dengan melakukan zikir sambil memejamkan mata dan menentukan jumlah sebutan nama Allah dengan buah tasbih . Sementara itu dalam pandangan Naqsyabandiyah eksistensi alam ini adalah kesaksian atas adanya Allah Ta’ala atau disebut dengan wihdatus syuhud (kesatuan kesaksian) . Penganut tarikat ini diajarkan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melakukan suluk (bersunyi diri) selama beberapa hari yang diisi dengan latihan-latihan rohani dan zikir qalbi (berzikir dalam hati).

Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau, dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat diperbaiki oleh kalangan ulama .

Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa kasus, sulit mengidentifkasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di wilayahnya. Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat . Aktifitas Tuanku Nan Tuo, salah seorang ulama yang sangat dikenal di wilayah Agam pada dekade ini misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia juga seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu . Bahkan sangat mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Tuanku Nan Tuo tidak pernah disebut dengan gelar Syekh . Ia lebih dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo, juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet , ia memperoleh cukup kekayaan dari aktifitas perdagangan itu. Hampir semua ulama di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti perdagangan, pertanian dan sebagainya.

Dari fakta yang dikemukakan itu, agaknya menjadi jelas, bahwa pengembangan tarikat Syathariyyah di wilayah pedalaman mendapat “pengalaman baru” dibanding perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang berbeda dengan ajaran tarikat Syathariyah. Berdasarkan kronologis masuknya aliran tarikat, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka di wilayah ini sangat mungkin aliran tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang lebih dahulu dan penyebarannya sudah merata, terutama di Agam dan Lima Puluh Kota. Tidak mustahil, bahwa pertemuan Syathariyah dengan Naqsyabadiyahlah yang melahirkan suatu sintesis baru dalam lapangan sufisme, sehingga implementasi ajaran sufisme itu lebih responsif terhadap persoalan masyarakat di pedalaman ini. Oleh karenanya, beberapa sumber sering dibingungkan apakah Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek . Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu, agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri .
Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri, tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar dari prototipe gerakan sufisme sendiri.

Kesimpulan :

a. Perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah.

b. Latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau.

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar “Multaqa Tsaqafy”, Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam (FPI), University Kebangsaan Malaysia (UKM). Bangi, Malaysia 25 Oktober 2007.

Sumber : http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

Pendahuluan

Gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 diwarnai dengan konflik keagamaan antara tarikat Syathariyah dan tarikat Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi Belanda. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk belajar langsung ke pusat agama Islam (Makkah). Mereka menetap di sana dan mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan agama. Ini merupakan fase kedua kontak intelektual antara ulama Minangkabau dengan Timur Tengah yang telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.

Perkembangan pemikiran keislaman di Minangkabau pada peralihan abad ke-19 dan ke-20 selalu dikaitkan dengan peran seorang tokoh Minangkabau yang dikenal dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Ia berangkat ke Mekkah pada parohan abad ke-19 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ia mendalami ilmu-ilmu pengetahuan keislaman di Mekkah dan berkat ketekunannya, akhirnya ia mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, ia mendapat legitimasi untuk membuka majlis pengajian Islam dalam mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak ulama Indonesia yang belajar di majlis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan di Minangkabau, bahkan di Nusantara. Kemunculan mereka telah membawa implikasi pada peningkatan wacana keislaman di Minangkabau, sekaligus menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.

Dinamika Pengajian Islam di Minangkabau abad ke-19

Meredanya perang Paderi yang ditandai dengan jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda tidaklah berarti bahwa telah selesainya berbagai konflik yang terjadi di Minangkabau. Ketidak puasan kalangan agama terhadap golongan aristokrasi adat dengan berbagai norma adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama kembali mengemuka. Demikian juga konflik pemikiran antara penganut Syatariyah dan Naqsyabandiah masih saja menyisakan potensi-potensi pertikaian pendapat di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini.
Dalam kondisi ketegangan pemikiran seperti ini beberapa orang Minangkabau melakukan perjalanan intelektual ke Tanah Arab ; --ke Makkah, Madinah dan lainnya—untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin keilmuan agama Islam seperti Fiqh, ilmu alat, tashauf, ilmu Hisab/Falaq dan lain-lain. Salah seorang diantara pelajar Minangkabau itu adalah Ahmad Khatib seorang putra Ampek Angkek yang kemudian dikenal sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan pemikiran Islam di Minangkabau pada priode selanjutnya. Dinamika perjalanan intelektual paruh kedua abad ke 19 ini ternyata kemudian memunculkan konflik baru di kalangan ulama Minangkabau yaitu antara penganut tarikat Naqsyabandi dengan kalangan pembaharu yang berawal dari pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy sendiri. Sementara itu “pertarungan” antara tarikat Syatariyah dan Naqsyabandiyah terlihat melemah setelah munculnya konflik baru ini.

Keberangkatan Ahmad Khatib pada dasarnya lebih dimotivasi oleh ekspresi ketidak puasan terhadap realitas sosial dan keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ia melakukan “aksi penentangan” terhadap realitas sosial itu dengan jalan meninggalkan kampung halamannya sebagai “protes” terhadap sistem adat yang tidak sesuai dengan Islam. Ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan keagamaan. Inilah titik berangkat dari sebuah perjalanan intelektual kedua setelah “Trio Haji” tokoh gerakan Paderi awal abad ke-19. Perjalanan ini kemudian membawa perubahan-perubahan yang signifikan terhadap gejolak pemikiran keagamaan di wilayah ini pada waktu-waktu selanjutnya.

Ahmad Khatib, (yang kemudian dikenal dengan : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy), masih ada hubungan keluarga dengan tokoh-tokoh pembaharu awal abad ke 19 di wilayah ini. Ia dilahirkan pada tahun 1860. Menurut Hamka (Ayahku, h. 34-35), ia adalah putera Abdullah Chatib Nagari dengan Limbak Urai. Limbak Urai adalah anak kedua dari hasil perkawinan Tuanku Nan Rancak dengan Zainab puteri bekas regen Agam. Tuanku Nan Rancak sendiri adalah salah seorang ulama terkemuka di zaman Paderi. Sedangkan kakak dari Limbak Urai yang bernama Gandam Urai adalah istri dari Fakih Muhammad putera Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir murid Tuanku Nan Tuo Koto Tuo.

Perjalanan intelektual Ahmad Khatib selama di Makkah telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang pemuka mazhab Syafi’i yang disegani, bahkan dia mampu menduduki posisi Imam besar Masjidil Haram atas kepercayaan Syarif Al-Haramain, suatu jabatan yang belum pernah diduduki oleh ulama di luar Arab. Disamping itu ia juga diberi hak untuk membuka majelis pengajian di Masjidil Haram sendiri. Sebagai guru besar mazhab Syafi’i, majelis pengajiannya banyak didatangi oleh murid-murid dari berbagai kawasan Islam di luar Arab, terutama dari Asia Tenggara. Beberapa ulama terkemuka telah terlahir dari majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini dan beberapa diantara mereka telah menjadi mufti di beberapa kerajaan di Sumatera Utara dan semenanjung Malaya, bahkan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sendiri juga pernah belajar ilmu hisab di majelis pengajiannya (Hamka, Ayahku, h. 232).

Pelajar-pelajar yang datang dari Minangkabau pada umumnya mendapat gem-blengan Syekh Ahmad Khatib, dan setelah pulang ke Minangkabau, mereka menjadi ulama-ulama yang disegani pula serta membuka majelis pengajian pada surau-surau di kampung masing-masing. Di antaranya adalah : Syekh H. Muhammad Thaib Umar yang kemudian membuka surau di Sungayang, Syekh Muhammad Jamil Jambek membuka surau di Bukittinggi, Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh Abdullah Ahmad dengan surau Jembatan Besi Padang Panjang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang membuka surau di Candung, Syekh Ibrahim Musa dengan surau Parabek, Syekh Muhammad Jamil dengan surau Jaho Padang Panjang dan banyak lagi yang lainnya. Ulama-ulama awal abad ke-20 pada umumnya mendapat sentuhan pengajaran dari Ahmad Khatib, meskipun di kalangan mereka kemudian terjadi pembelahan pandangan, terutama menyangkut masalah-masalah tarekat, ijtihad serta masalah keagamaan lainnya. Pembelahan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda.

Ahmad Khatib bukanlah orang Minangkabau pertama yang belajar ke Mekkah pada dekade ini. Beberapa waktu sebelumnya telah lebih dahulu Syekh Abdullah Halaban. Ia berangkat ke Mekkah pada tahun 1865. Syekh Abdullah Halaban bermukim di Makkah selama l.k. 5 tahun untuk mendalami berbagai kitab dalam mazhab Syafi’i. Pada tahun 1870 kembali ke kampung halamannya di Halaban Kabupaten Lima puluh Koto dan mengajarkan ilmunya kepada murid-murid yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Bahkan diantara murid Syekh Ahmad Khatib seperti Syekh Sulaiman Ar Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Jaho telah lebih dahulu mendapatkan pengetahuan agama dari Syekh Abdullah Halaban sebelum berangkat ke Mekkah untuk berguru pada Syekh Ahmad Khatib. Beberapa diantara murid-murid yang belajar dengan Ahmad Khatib, bahkan sebelumnya telah memilki basis surau dan telah memiliki murid-murid di daerahnya. Namun demikian, perjalanan ke tanah Arab dan bermukim sambil belajar untuk beberapa tahun di sana, --pada waktu itu--, lebih memberikan legalitas tersendiri.

Adalah menjadi suatu konvensi yang tidak tertulis di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini, di mana seorang ulama dianggap belum lengkap keulamaannya bila masih ada ulama (guru) yang lebih ‘alim yang belum dikunjunginya untuk belajar. Semakin banyak guru yang didatangi maka semakin banyak pula spesifikasi yang dimiliki oleh ulama tersebut, karena guru-guru itu pada umumnya memiliki spesifikasi keahlian yang berbeda-beda, atau paling tidak berbeda dari segi kedalaman ilmu yang diberikannya. Sampai pada waktu ini, belajar ke pusat Islam (Makkah, Madinah atau wilayah Timur Tengah lainnya) menjadi ukuran tersendiri, --setidaknya menurut pandangan masyarakat-- apakah ulama itu sudah berhak memiliki murid dan surau sendiri atau tidak. Bahkan masyarakat tidak ragu-ragu untuk menyumbangkan dana, mewakafkan tanah dan sebagian dari harta benda mereka untuk membangun surau bagi tokoh mereka yang baru pulang belajar agama di Timur Tengah.

Banyaknya majelis majelis pengajian baik di Makkah, Madinah atau wilayah Arab lainnya telah memberi peluang bagi pelajar-pelajar yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam untuk mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Beberapa diantara pelajar Minangkabau yang seangkatan dengan Ahmad Khatib, telah pula memperdalam pengetahuan keagamaannya pada majelis-majelis lainnya itu. Diantaranya adalah Syekh Thaher Djalaluddin dari Ampek Angkek, Syekh Khatib Muhammad Ali yang berasal dari Muara Labuh dan Syekh Muhammad Sa’ad dari Munka, Kabupaten Lima Puluh Koto.
Syekh Thaher Djalaluddin, anak Faqih Muhammad bin Syekh Djalaluddin Faqih Shagir, lahir di Ampek Angkek pada tahun 1869. Ia menyusul Ahmad Khatib belajar di Mekkah pada tahun 1880. Kemudian pada tahun 1895 belajar ke Mesir selama l.k. 3 tahun. Ia berkenalan dengan Sayyid Rasyid Ridha dan berlangganan dengan majalah Al-Manar. Di Mesir inilah dia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang telah berhembus di Mesir pada waktu itu. Perkenalannya dengan Al-Manar ini memberikan inspirasi kepadanya untuk mendirikan majalah “Al-Imam” di Singapura pada peralihan abad ke-19 dan 20; majalah yang pada awal abad ke-20 sangat berpengaruh terhadap perkem-bangan pemikiran di Nusantara dan di Minangkabau sendiri. Karir keulamaan Thaher Djalaluddin yang juga ahli ilmu Falak ini lebih berkembang di Singapura dan semenanjung Melayu. Ia sendiri diangkat oleh Sultan Perak menjadi mufti di kerajaan itu untuk beberapa waktu setelah Al-Imam tidak diterbitkan lagi. Namun sikap independensinya yang kental akhirnya mendorongnya untuk meletakkan jabatan itu dan untuk kemudian mendirikan Sekolah Agama Islam di Johor.

Syekh Khatib Muhammad Ali (1863) putra Muara Labuh, berangkat ke tanah Arab pada usia 21 tahun (1884) telah pula mengambil kesempatan memperdalam ilmu pengetahuannya dari majlis-majlis pengajian yang ada di sini. Ia belajar kepada guru-guru besar yang mengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Madinah, diantaranya kepada Syekh Utsman Fauzi Al-Khalidy Jabal Qubais, Syekh Sa’udasy Makkah, Syekh Ahmad Ridwan Madinah dan juga kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawy sendiri. Syekh Khatib Muhammad Ali pulang ke kampung halamannya setelah memperoleh kelulusan dalam ilmu keagamaan, ia juga sekaligus mendapatkan ijazah dalam bidang lainnya seperti tarikat Naqsyabandi dari Syekh Jabal Qubais serta ijazah ilmu Qiraah as-Sab’ah dari Syekh Maulana Sa’udasy.

Sedangkan Syekh Muhammad Saad Munka lebih kurang seusia dengan Ahmad Khatib. Ia lahir di Munka, Kabupaten Limapuluh Koto pada tahun 1857. Setelah beberapa tahun belajar dengan berbagai guru di daerah Lima puluh Koto, kemudian pada tahun 1894 melanjutkan ke Makkah, Madinah, Yaman dan Mesir, menuntut berbagai ilmu pengetahuan agama dan ilmu Hisab (Yunus Yahya, 1976 ; 14). Setelah kembali dari Timur Tengah, Syekh Muhammad Saad membuka pengajian di surau yang dibangun oleh masyarakat Munka dan mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah. Diantara muridnya adalah Syekh Yahya Al-Khalidi Magek, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syekh Makhdum Solok, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Thaher Rasyid Payakumbuh, dan lain-lain.
Apa yang dikemukakan adalah kisah perjalanan intelektual sebahagian dari tokoh ulama Minangkabau pada paruh kedua abad ke-19. Perjalanan ini memberikan gambaran bagaimana “gairah” intelektualitas masyarakat Minangkabau dalam mengupayakan pencerahan dalam kehidupan sosial dan keagamaan, sebagai konsekuensi dari kesadaran akan realitas sosial yang terjadi di wilayah ini.

Diferensiasi Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan

Apa yang dikemukakan sebagai “perjalanan intelektual” Islam pada penggal kedua abad ke 19 terdahulu adalah salah satu episode kesejarahan penting dari rangkaian pengalaman Minangkabau, terutama dalam lapangan keagamaan. Sementara tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu adalah mereka yang kemudian memainkan peran penting terhadap perkembangan sejarah agama Islam pada paruh pertama abad kedua puluh. Pemikiran keagamaan mereka yang terpublikasi lewat polemik keagamaan yang segar telah memberikan kontribusi bagi ‘hidup’nya dinamika lembaga-lembaga keislaman di wilayah ini.

Paling tidak ada tiga kelompok yang dapat ditunjukkan dalam menandai munculnya diferensiasi pemahaman dan pemikiran keagamaan dari tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu, yaitu : pertama : mereka yang dibesarkan dan dididik pada sistem pendidikan surau Minangkabau abad ke-19. Kedua, mereka yang mendapat pendidikan keagamaan di Makkah dan Madinah, dan ketiga, mereka yang mendapat pengalaman intelektual di Mesir.

Kelompok pertama adalah para ulama yang mewarisi tradisi pendidikan tradisional surau yang telah berlangsung sejak awal abad ini. Pada umumnya mereka adalah penganut tarikat Naqsyabandiah, karena tarikat ini berkembang dengan pesat pada waktu ini, terutama di wilayah pedalaman. Ulama-ulama ini aktif mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keagamaan sekaligus menyebarkan pengajaran tarikat dan secara konsisten telah mewarisi tradisi pengajaran guru-guru mereka. Generasi ulama awal abad ke 19 ini banyak diketahui dari riwayat pendidikan ulama-ulama yang kita sebut terdahulu, karena hampir semua ulama-ulama itu berguru kepada mereka, namun riwayat pendidikan mereka sukar untuk ditelusuri karena langkanya sumber untuk itu.

Sementara itu, kelompok kedua adalah ulama-ulama yang terlahir dari tangan guru-guru yang disebutkan belakangan. Beberapa diantara ulama ini, kemudian melanjutkan pendidikan mereka di Makkah, Madinah dan wilayah lain di jazirah Arab. Berbagai bidang pengetahuan agama telah mereka serap di beberapa majelis pengajian yang berkembang di wilayah itu, termasuk majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib di Masjidil Haram. Kelompok kedua ini, sebelum melanjutkan pelajarannya, pada umumnya adalah penganut Naqsyabandiah. Diantara mereka berangkat ke tanah Arab untuk lebih mendalami pelajaran agama Islam dalam mazhab Syafii, seperti ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan ilmu-ilmu alat seperti Nahu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain, dan sebagiannya mempelajari ilmu Falak, bahkan ada diantaranya yang sekaligus juga memper-dalam pengajian tarikat Naqsyabandiah di Majelis pengajian tarikat ini di Madinah.

Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama-ulama yang mendapatkan pengaruh dari pembaharuan Islam di Mesir. Ulama-ulama ini pada awalnya belajar di Makkah, kemudian melanjutkan ke Mesir, karena tertarik dengan gelombang pembaharuan yang sedang berhembus di wilayah ini. Pemikiran-pemikiran keagamaan, terutama berkaitan dengan ide Pan Islamisme dan ide tentang kebangkitan Islam untuk terbebas dari kejumudan berfikir, menjadi tema sentral gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Ini telah mendorong keinginan sebagian ulama murid Ahmad Khatib untuk belajar ke Mesir.

Munculnya tiga kelompok ulama dengan latar belakang pendidikan dengan corak pemahaman yang berbeda itu pada gilirannya menjadi cikal bakal mun-culnya pertikaian pandangan diantara mereka. Pertikaian ini di satu sisi berkisar antara yang mempertahankan status quo penganutan terhadap tarikat Naqsyabandi dan yang menolak, namun di sisi yang lain pula muncul pemahaman tentang perlunya melakukan berbagai perubahan paradigma kepenganutan terhadap satu mazhab. Dikemukakan juga bahwa sikap taqlid terhadap mazhab telah menjadi penyebab mandegnya kerangka pikir umat Islam dalam memberikan konsepsi terhadap Islam itu sendiri. Pemikiran yang disebut terakhir inilah yang telah berkembang di Mesir terutama dari pembaharu-pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha.

Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiah dilancarkan oleh Syekh Ahmad Khatib. Tarikat yang pada waktu itu banyak dianut oleh ulama-ulama setempat termasuk murid Ahmad Khatib yang sudah pulang ke Minangkabau, yang oleh Ahmad Khatib sendiri dikatakan sebagai telah diselipi oleh amalan-amalan bid’ah. Serangan ini dikemukakan melalui tiga buah bukunya : Izhar zoeghal al-kadhibin fi tasybihihim bi’lcadiqin, al-Ajat al-baijjinat li’lmuncifin fi izalah choenafat ba’d al-moeta’accibin, dan al-Saif al-battaar fi mahq kalimat ba’d ahl al-ightirar. Ketiga buku ini dihimpun dalam satu bundel dan diterbitkan di Mesir pada tahun 1326 H (1908 M) (cf. Schrieke; 31). Motivasi pertama penulisan buku tersebut oleh Ahmad Khatib adalah karena pertanyaan yang diajukan oleh muridnya Syekh Abdullah Ahmad sewaktu dia belajar di Makkah yaitu tentang hukum melakukan rabithah sebagai yang menjadi amalan tarikat Naqsyabandiah, apakah rabithah itu dibolehkan dalam syara’ atau tidak. Ahmad Khatib dengan jelas mengemukakan bahwa rabithah atau amalan zikir dengan menggunakan mediasi guru adalah bid’ah dan sama sekali tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Buku Ahmad Khatib ini mendapat respon yang begitu luas dari kalangan ulama Minangkabau, karena hujatan ini dirasakan bagaikan badai yang muncul di tengah semilir angin yang berhembus di seputaran Merapi dan Singgalang. Tak pelak beberapa ulama tokoh tarikat Naqsyabandi di wilayah ini merasa perlu melakukan counter atas serangan tersebut. Adalah Syekh Muhammad Sa’ad Munka seorang guru Naqsyabadiah yang piawai dalam menulis, kemudian melakukan pembelaan atas ajaran tarikat Naqsyabandiah. Demikian juga Syekh Khatib Muhammad Ali dan Syekh Sulaiman Ar-Rasoely.

Dua buku ditulis oleh Syekh Muhammad Sa’ad Munka, yaitu : Risalah Irgham oenoef almoefanitin fi inkarihim rabitah alwacilin dan Risalah Tanbih al ‘awaam ‘ala Thariqat ba’d al anaam sebagai bantahan terhadap serangan Ahmad Chatib terhadap Naqsyabandiah. Kedua buku ini diterbitkan di Padang pada tahun 1910. Syekh Khatib Muhammad Ali juga menerbitkan terjemahan dari karya Sajjid Moehammad bin Mahdi al-Koerdi yang berjudul : Risalah Naqsyabandijjah fi Asas ictilah al naqsyabandijjah min aldhikr alchafij wa’irabithah wa’lmoeqarabah wadf’ali’tirad bi dhalika. Karangan yang berisikan apologi terhadap Naqsyabandi ini diterbitkan di Padang 1326 H, dan disusul pula dengan saduran atas karya ‘Abd al-Ghani bin Isma’il al-Naboeloesi yang berjudul : Miftah al-Ma’ijjah. Semua buku ini berusaha untuk melakukan pembelaan terhadap tarikat Naqsyabandi atas tuduhan bid’ah yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatib.

Tokoh-tokoh ulama Naqsyabandi secara gencar dalam tulisan mereka membuk-tikan bahwa amalan-amalan yang terdapat dalam tarekat Naqsyabandiah adalah berasal dari al-Qur'an dan Sunnah. Syekh Khatib Muhammad Ali mengemu-kakan bahwa orang pertama yang meletakkan dasar tarekat Naqsyabandiah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq yang didapatkannya dari Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri memperolehnya dari malaikat Jibril langsung dari Allah SWT. Ada dua bentuk rabithah dalam praktek ritual Naqsyabandi, yaitu : rabithah ¬guru dan rabithah kubur. Menurut Syekh Khatib Muhammad Ali, rabithah guru merupakan wasilah atau perantara untuk sampai kepada Allah dan bukan berarti menyembah guru. Membungkukkan kepala kepada guru juga bukan kultus yang sama dengan perlakuan kepada Allah, tetapi merupakan wujud penghormatan dan dilakukan dengan tidak melebihi batas ruku’ dan sujud. Penghormatan terhadap guru semata-mata karena Allah. Sedangkan rabithah kubur hanyalah menjadi sarana untuk mengingat bahwa setiap makhluk hidup pasti akan mati dan dengan demikian hatinya akan selalu ingat kepada Allah SWT. Secara umum, dalam berbagai kitab yang disebutkan terdahulu pada dasarnya bertujuan untuk membela tarekat Naqsyabandiah dan memberi penjelasan bahwa tidak ada sama sekali tujuan negatif yang terselip dalam ajaran-ajaran tarekat Naqsyabandiah yang dapat menggelincirkan ummat dalam kesesatan. Apapun yang diamalkan dalam tarekat Naqsyabandiah, adalah bersumber kepada al¬-Qur'an dan Hadits Rasulullah.

Dikhotomi Kaum Tua dan Kaum Muda

Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiyah kedua muncul dari kalangan ulama yang mendapat pengaruh gejolak pemikiran yang berkembang di Mesir. Sasarannya tidak hanya tarikat Naqsyabandiah dan tarikat-tarikat lainnya, akan tetapi lebih luas lagi, yaitu semua paham keagamaan yang dianggap konvensional dan masih taqlid kepada salah satu mazhab. Pemikiran baru ini berawal dari munculnya majalah “Al-Imam” yang diterbitkan di Singapura oleh salah seorang ulama Minangkabau yang baru kembali dari Mesir, yaitu Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah ini pada penerbitan pertama tahun 1906 memuat artikel-artikel dengan pemahaman baru bidang keagamaan yang oleh sebagian besar ulama-ulama Minangkabau pada waktu itu terasa asing dan sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diperpegangi.

Majalah “Al-Imam” ini pada dasarnya, merupakan perpanjangan tangan dari majalah “Al-Manar” Mesir yang diterbitkan oleh Sayid Rasyid Ridha dan pendahulunya majalah “Urwatul Wutsqa” yang diterbitkan di Paris oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Kedua majalah ini memuat berbagai artikel yang berkaitan dengan penyadaran umat Islam untuk bangkit dari kejumudan berfikir yang disebabkan oleh sikap taqlid terhadap hasil ijtihad para Imam Mazhab. Bahkan dalam majalah Al-Manar dimuat penafsiran-penafsiran baru Al-Quran oleh Muhammad ‘Abduh yang kemudian dikenal dengan Tafsir Al-Manar.

Pemikiran pembaharuan ini telah pula mengilhami beberapa ulama Minangkabau yang belajar dengan Syekh Ahmad Khatib, yaitu Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. Keempat orang ini adalah murid Syekh Ahmad Khatib, dan (kecuali Syekh Muhammad Thaib Umar) juga belajar dengan Syekh Thaher Jalaluddin. Oleh karenanya pemikiran-pemikiran keagamaan yang disebarkan Al-Imam, maupun Al-Manar dan Al-‘Urwatul Wutsqa” menjadi rujukan bagi ulama-ulama ini dalam melancarkan misi pembaharuan keagamaan di wilayah Minangkabau (Hamka, Ayahku, 1967 ; 80-dan 92). Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Kaum Muda ; istilah yang dipertentangkan dengan Kaum Tua sebagai kelompok status quo yang bertahan dengan pemahaman tradisional keagamaan hasil ijtihad imam Mazhab yang diterima dari guru-guru mereka, termasuk dari Syekh Ahmad Khatib sendiri.
Pertentangan kedua kubu ini berkembang menjadi polemik-polemik dan perdebatan-perdebatan terbuka. Hal ini berakibat pada terjadinya polarisasi kehidupan beragama dalam masyarakat Minangkabau, termasuk kalangan ulama-ulama sendiri. Surau-surau Minangkabau pun tak terhindarkan pula dari pengaruh pembelahan ini. Karena surau-surau sebagai pusat aktifitas masing-masing berusaha secara gencar menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka melalui berbagai kesempatan dan berbagai media. Keadaan ini diasumsikan sebagai implikasi positif dari perkembangan Islam awal abad ke-20 ini dan sekaligus merupakan fase kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi (cf. Mestika Zed,2002). Intensitas pem-bahasan soal-soal keislaman dan kemasyarakatan menjadi lebih meningkat dari waktu-waktu sebelumnya, surau-surau sebagai wadah pendidikan dan pengajian Islam pada waktu ini semakin memperlihatkan aktifitasnya dalam berbagai lapangan.

Dari sentra surau lahir berbagai gagasan transformasi keilmuan seperti perubahan metode pengajaran, penerbitan buku-buku, surat kabar, tabloid, dan bahkan dari sinilah pula munculnya gagasan mendirikan lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan yang berorientasi pada pengukuhan proses transformasi itu sendiri, --meski pada skala tertentu-- juga untuk tujuan apologetis dari masing-masing kubu yang disebutkan. Namun semua itu, pada gilirannya, sangat diperlukan dalam rangka pencerdasan bangsa untuk meredusir proses “pembaratan” yang sudah berlangsung melalui aksi politik etis Belanda sejak pertengahan abad ke-19.

© Irhash A. Shamad / www.irhashshamad.co.cc


Selengkapnya...