Secara historis, Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-12 M, ada yang menyebutnya abad ke-14 M. Almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah.

Naiknya kerajaan Islam Pasai di Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau. Perkembangan Islam di Aceh, khususnya paham tasawuf melalui 'Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau sejak masa awal. Pengaruh al-Sinkili dalam pengembangan Islam ke Minangkabau diteruskan oleh Burhan al-Din . Syekh Burhan al-Din Ulakan memainkan peran sebagai pengembang Islam melalui tarekat Syathariyah di Minangkabau. Sehingga surau Ulakan cukup termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau.

Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Adat Minangkabau
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.

Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah "Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.

Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.

Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi - tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;

Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- 'a/am), Dia selalu memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ 'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.

Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.

Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan Kamil ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.

Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen, Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. Azyumardi Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka kemudian mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai'd Bonjol.

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai'at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai'at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.

Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.

Sumber : www.sufinews.com



Selengkapnya...

12.49 | Posted in ,

PARADIGMA SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH TARBIYAH ISLAMIYAH (MTI)
Konsepsi keteladanan dalam Islam sudah mendapatkan rumusan yang cukup jelas, terutama bila dihubungkan dengan proses pembelajaran. Rasulullah sendiri sebagai figur sentral di dalam Islam adalah merupakan rujukan utama (sumber keteladanan) kehidupan muslim. Hadis-hadis, sebagai warisan Rasulullah yang berupa perkataan dan perbuatannya, adalah sumber normatif (hukum dan nilai-nilai) bagi pembentukan prilaku dan tatanan sosial umat Islam. Firman Allah : “Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah”.

Kita menyadari, bahwa semua aspek normatif kehidupan muslim ditujukan untuk mendapatkan suatu tata kehidupan yang baik (hasanah), tidak saja untuk kehidupan dunia, terlebih lagi untuk kehidupan kelak di akhirat. Ini merupakan tujuan akhir dari proses pembelajaran dalam Islam. Proses ini dituntut harus berlangsung terus menerus, dapat dilakukan di mana saja dan dalam situasi apapun ; “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” dan “Uthlubul’ilma walau bishshiin” dan seterusnya, demikian pesan Rasulullah.

Sistem pendidikan merupakan salah satu bentuk proses pembelajaran yang menuntut berbagai prasyarat keberlangsungan serta tercapainya sasaran yang diinginkan, sementara guru adalah merupakan titik sentral dalam mekanisme proses belajar-mengajar dalam sistem pendidikan itu. Dalam Islam, guru, selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan terhadap anak didik (ta’lim), sekaligus juga harus mampu memberi keteladanan dalam rangka tranformasi nilai-nilai terhadap mereka (tarbiyyah). Dalam mentransfer ilmu pengetahuan, guru dituntut harus memiliki kecakapan, penguasaan keilmuan serta keterampilan dalam penyampaiannya. Sementara itu, dalam mentransformasikan nilai-nilai, guru harus dapat menunjukkan prilaku-prilaku, sikap dan sifat-sifat yang terpuji sesuai norma-norma yang berlaku dalam ajaran Islam itu sendiri.

Telah dikemukakan bahwa sebagai figur sentral kepribadian muslim adalah Rasulullah. Ia merupakan acuan dalam setiap aspek kehidupan. Transformasi nilai-nilai kehidupan Rasulullah merupakan wujud dari proses pembelajaran dalam Islam. Oleh karena itu, pewarisan nilai-nilai kehidupan Rasulullah dalam bentuk keteladanan merupakan bagian mutlak dari suatu lembaga pendidikan Islam.

Proses pewarisan itu berjalan terus menerus dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi melalui figur-figur ‘ulama yang oleh Rasulullah sendiri dipercayakan sebagai pewarisnya. Kata Rasulullah : “Al’ulama` waratsatul anbiya`. Melalui pengajaran, pendidikan dan keteladanan ulama itulah, proses pewarisan itu harus tidak terhenti. Oleh karena itu pula, proses regenerasi ulama harus tetap berjalan.

Atas dasar itu, para ulama kita di masa lalu berupaya untuk melahirkan gagasan-gagasan dan berjuang untuk terwujudnya lembaga pendidikan sebagai wahana untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan transformasi nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, sosialisasi nilai-nilai berjalan sedemikian rupa, karena ditunjang oleh berbagai perangkat serta suasana yang memungkinkan para generasi didik dapat mengembangkan kepribadiannya sesuai tuntunan agama. Pribadi-pribadi yang memiliki kematangan dalam ilmu dan kemapanan sikap dan prilaku untuk kemudian dituntut mewariskan pada generasi berikutnya.

Apa yang kita kemukakan itu, sebenarnya adalah prinsip yang berlaku dalam sistem pendidikan Madrasah yang dikembangkan oleh ulama-ulama kita di Sumatera Barat masa lalu. Suatu sistem pendidikan yang tidak hanya sekedar melahirkan generasi yang berilmu, namun juga memiliki karakteristik kepribadian yang layak dipanut dan diteladani oleh lingkungan sosial di mana ia berada. Pribadi yang mempuyai kemampuan mentransfer dan mentransformasikan nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal dan agamis. Spesifikasi yang dimiliki oleh model pendidikan seperti inilah yang membedakan sistem pendidikan Islam dengan pendidikan-pendidikan sekuler lainnya.

Keteladanan “Inyiak Canduang”

Syekh Soelaiman Ar-Rasuly atau yang lebih dikenal dengan panggilan “Inyiak Canduang” cukup dikenal di mana-di mana. Beliau adalah sosok tokoh pendidikan yang telah melahirkan banyak ulama, cendikiawan serta tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Oleh karena itu, keberadaan beliau sebagai tokoh pendidik, ulama, dan pejuang mempunyai arti yang sangat besar bagi masyarakat, agama dan bangsa ini dalam rentang waktu yang bahkan melampaui masa hidupnya sendiri. Bahkan hingga saat ini masih dirasakan keberadaannya, tidak hanya oleh masyarakat Sumatera Barat, Indonesia, bahkan juga di negara-negara tetangga.

Sebagai tokoh pendidik, beliau telah mewariskan suatu model sistem pendidikan yang prospektif dan masih -atau bahkan- sangat relevan dengan realitas masa kini. Model sistem yang dimaksud -pada dasarnya- bertolak dari tujuan asasi pendidikan itu sendiri yaitu menempatkan faktor manusia pada posisi kemanusiaannya, bukan sebaliknya menjadikan mereka sebagai “mesin-mesin” dengan orientasi kehidupan duniawiyah semata. Apa yang kita sebut terakhir inilah yang menjadi fenomena pendidikan modern dewasa ini. Sehingga tidak heran, banyak kalangan intelektual Islam kemudian mencoba mencari alternatif model sistem pendidikan pesantren, sebagai yang kita saksikan sangat menjamur di pulau Jawa saat ini.

Kenyataan terakhir yang dirasakan sangat ironis ialah banyaknya kalangan masyarakat Sumatera Barat yang mengirim anak-anak mereka belajar ke pesantren-pesantren di luar Sumatera Barat sendiri. Pada hal, kenyataan dulu adalah sebaliknya. Keadaan ini tentu mengundang pertanyaan : Apakah kita telah terlalu banyak kehilangan masalalu kita?, apakah kita hari ini tidak lagi mampu menjadi pewaris pendahulu kita?, ataukah kita secara naif telah mengingkari nasehat dan amanat yang mereka tinggalkan untuk kita?, atau mungkin kita yang terlalu bodoh untuk memahami mereka?, Semua pertanyaan ini tentu perlu kita renungkan kembali, karena bukan tidak mungkin, orang lain diluar kita akan mengajukan pertanyaan yang sama terhadap kita. Gus Dur dalam kunjungannya ke Sumatera Barat Januari tahun 2000 lalu mengemukakan bahwa “Orang Minangkabau dulu banyak melahirkan gagasan-gagasan segar dan gagasan itu telah menjadi inspirasi oleh banyak orang di luar Minang sendiri”. Ucapan yang bernada pujian ini justru mengisyaratkan tantangan bagi orang Minangkabau sekarang.

Bertolak dari kenyataan itulah, agaknya kita perlu untuk kembali meluruskan orientasi kita di sini, terutama dalam mengemban amanah pendidikan “Sang Maha Guru” kita Syekh Sulaiman Arrasuli. Kita sebagai pelanjut perjuangannya perlu kembali mencoba untuk memahami dan mengerti cita-cita dan obsesinya dalam sistem pendidikan yang telah dirintisnya ini. Zaman boleh berubah, namun kita jangan kehilangan arah. Inilah agaknya yang tersirat dari amanah “Sang Maha Guru” itu, sebagai dinukilkan pada nisan pusaranya yang berbunyi “Teruskan membina Tarbiyah sesuai dengan pelajaran yang kuberikan”.

Bila kita mau lebih arif untuk memahami ketokohan “Inyiak Canduang”, tentu kita merasa berkewajiban untuk bercermin kepada pola-pola yang dulu pernah beliau laksanakan dalam menata sistem pendidikan ini. Pola-pola mana diakui sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Diantara pola umum yang beliau terapkan adalah seperti dalam metode pengajaran, beliau telah menerapkan langkah-langkah efektif, seperti : muthala’ah (membaca dan memahami), muzakarah (diskusi), muhafazhah (hafalan), dan tathbiq (aplikasi teoritis) dan ditambah lagi dengan metode pelatihan yang disebut dengan muhadharah (keterampilan) dan praktek mengajar (praktikum). Metode pendidikan ini diselenggarakan secara terpadu dengan menerapkan sistem-sistem pendukung, seperti dengan menempatkan murid-murid pada pemondokan yang telah diatur sedemikian rupa. Ini dutujukan agar para murid itu mendapatkan bimbingan dari senior-senior mereka yang sekaligus berfungsi sebagai tutor dalam menyempurnakan pelajaran pada malam hari.

Kita mengetahui, bahwa Inyiak Canduang sangat konsisten dengan pendirian, namun tidak anti kemajuan. Perubahan dari sistem halaqah ke sistem klassikal yang beliau lakukan pada tahun 1928, telah membuktikan bahwa beliau sangat respek dengan pembaharuan. Namun kukuh dalam memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi ciri ketokohan beliau, karena itu, materi pengajaran yang diberikan disekolah ini tetap dipertahankan untuk selalu menggunakan standard Syafi’iyyah.

Selain itu, yang lebih mengesankan dari keteladanan Inyiak Canduang ialah strategi yang digunakannya dalam menempatkan Madrasah yang beliau asuh ini, tetap berada di hati masyarakat. Beliau sangat menyadari bahwa beliau menjadi besar karena masyarakat, oleh karenanya, sekolah yang beliau dirikan juga akan besar karena masyarakat. Pertimbangan ini pulalah yang menyebabkan kenapa beliau sangat mempertimbangkan “faktor masyarakat” dalam strategi pendidikannya. Ini dapat dilihat seperti bagaimana beliau mengerahkan murid-murid untuk bergotong royong bersama masyarakat, melibatkan murid-murid untuk kegiatan-kegiatan sosial baik suka maupun duka, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat betul-betul merasakan eksistensi Madrasah ini di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, akan dengan sendirinya masyarakatpun merasa memiliki dan berkewajiban untuk memelihara dan membesarkannya.

Terlalu banyak yang perlu kita telusuri dari kehidupan Syekh Sulaiman Arrasuli, terutama menyangkut sikap, prilaku serta nilai-nilai yang terdapat pada pribadi beliau. Diantaranya dapat dilihat dari performan (penampilan) ciri kepemimpinan yang beliau tunjukkan, seperti konsisten (istiqamah), kemampuan beradaptasi yang begitu besar terhadap lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan peluang dalam keadaan sulit sekalipun, cara berfikir ekonomis dan masih banyak lagi kalau kita sebut satu persatu. Semua itu tentunya kalau kita mau jujur untuk mengakui serta meneladani ketokohan beliau. Kita akan bercermin dari itu semua, bila kita tidak mau berkhianat terhadap amanah yang telah beliau berikan.

Demikianlah paparan singkat yang lebih merupakan pemikiran dan kesaksian seorang murid terhadap seorang guru yang bertolak atas kesadaran dan amanah pengajaran yang pernah diterima. Semoga akan bermanfaat dalam melanjutkan cita-cita besar yang telah beliau canangkan. La’allallahu yahdiina ila shirathin mustaqim.

© H. Amran Shamad Malin Panduko





Selengkapnya...

��
13.32 | Posted in


Rekaman Ingatan Saksi Sejarah

*Disebut Juga Sebagai Perang Sabih
*Sia nan Dimakan Ruduih Itu Musuh

Perang Manggopoh tanggal 15-16 Juni 1908 berawal dari rasa muak, kaum ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan rakyat Kanagarian Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Seluruh elemen masyarakat Manggopoh menilai tindakan-tindakan serdadu Belanda sudah berada di luar batas kewajaran sebagai manusia, dan melanggar adat sopan santun masyarakat Manggopoh yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya luhur Minangkabau.

Tingkah polah penjajah Belanda tidak hanya dinilai menzalimi rakyat semata dengan penetapan pajak (belasting) yang tinggi, tapi mulai merambah ranah etika dan moral. Seperti mengganggu istri orang, menggangu perempuan yang mandi dan mencuci di Batang Antokan dan Kalulutan yang mengapit Negeri Manggopoh.

Komplikasi rasa muak yang menjadi-jati itu terus jadi pokok bahasan sesepuh masyarakat dan adat di Negeri Manggopoh. Sebelum dimulainya gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, tanggal 15 Juni 1908 (tepatnya Kamis sore). Aneka rapat telah digelar di sejumlah Mesjid yang ada di Kanagarian Manggopoh, diantaranya Mesjid Nurul Iman Sungkai, komplek perumahan H Abdul Manan, seorang pengusaha kopra kala itu dan Surau Parik sebuah Surau tuo di Balai Satu Manggopoh.

Para tokoh itu antara lain;

* H Abdul Manan bersama 17 orang kepercayaan dan pasukannya
* Bagindo Sutan Siluma yang akrab disapa Mak Luma
* H Abdul Gafar yang bergelar Ranji Sipatokah.

Mereka ini adalah sesepuh masyarakat yang terus menyusun strategi untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. Motivasi untuk melakukan perperangan ini kian menjadi-jadi ketika perang Kamang meletus, Rabu sore, 14 Juni 1908. Angku Rasyid Bagindo Magek, suami dari Inyiak Sitti Manggopoh ikut dalam peperangan Kamang tersebut, karena terus diburu Belanda. Angku Rasyid Bagindo Magek pulang ke Manggopoh. Beliau langsung ke Kampung Koto dan bergabung dengan rekan-rekan pejuang Manggopoh lainnya.

Para pejuang Manggopoh yang telah mempersiapkan diri, diikat dalam sebuah sumpah dan janji; “ Basamo ruduih (pedang) di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji dimakan kutuak Kalamullah,”. Setelah mengucapkan sumpah dan ikrar tersebut mereka meminum air tapuang tawa (tepung tawar) dan menyiram badan mereka. Tepat pukul 22.00 pasukan berangkat ke Mesjid Kampuang Parik (salah satu Mesjid tertua di Manggopoh).

Dalam perjalanan menuju Surau Parik, rombongan bersua dengan Mandeh Sitti, perempuan Manggopoh yang terkenal dengan sikap tegasnya dan salah satu Bundo kanduang yang juga sangat benci melihat kurenah dan tingkah laku Kolonial Belanda.

Kepada rombongan yang didalamnya juga ada suami Mandeh, (Rasyid Bagindo Magek) Mandeh berkata “Udo, sabalun barangkek, singgah kito dulu ka pusaro Limau Paga (sebuah kuburan yang dikeramatkan masyarakat Manggopoh kala itu) sudah itu baru kito taruih ka Musajik Kampung Parik,” ajak Mandeh.

Saran Mandeh Sitti diterima oleh rombongan, para pejuang memanjatkan doa untuk arwah nenek moyang terdahulu yang bersemayam di kuburan itu. Para pejuang juga mengelilingi kuburan ini sebanyak 7 kali, setelah itu langsung berangkat menuju Mesjid Kampung Parik. Rencana penyerbuan dimatangkan di Mesjid Kampung Parik. Tiga orang kurir diutus melakukan penyamaran dengan cara menjadi penjual manggih mudo guna menyelidiki situasi di Benteng Belanda, (bukan penjara atau tahanan, tapi Benteng Belanda*)

Setelah berdoa, di Mesjid Kampung Parik, dengan mengumandangkan takbiran berangkatlah rombongan pejuang menuju Benteng Belanda. Rombongan lain menunggu di semak-semak di sekeliling benteng. Mandeh Sitti ditampilkan sebagai umpan. Mandeh mengetuk pintu Letnan Belanda dan berusaha mencari perhatian dengan mengatakan, “tuan saya nona Sitti”. Kala itu si Letnan Belanda sedang membaca, mendengar suara perempuan yang begitu merdu, si Letnan terperanjat, boleh jadi pada saat itu, ingatannya belum lepas, pada Inyiak Lipah (seorang wanita Manggopoh) yang terkenal dengan kecantikan dan pesonanya juga. Pada siang harinya juga digoda oleh Belanda, tapi dilerai oleh tokoh masyarakat.

Mendengar suara perempuan, si Letnan langsung membukakan pintu, mendapati yang datang adalah Mandeh Sitti, si Letnan terkesima, dan langsung menggiring Mandeh Sitti menuju ke kamarnya. Sikap lengah Letnan Belanda ini dimanfaatkan Mandeh Sitti untuk menghabisinya. Ruduih Mandeh langsung bersarang di leher si Letnan dan terkapar bersimbah darah. Mandeh langsung memadamkan lampu sebagai sandi operasi malam itu. Para pejuang yang berada di luar langsung merengsek masuk ke Benteng Belanda.

Perang malam itu juga sering disebut pejuang Manggopoh dengan Perang Sabih. Sebab dalam suasana gelap, siapa yang musuh dan siapa yang lawan tidaklah begitu kelihatan. Namun sebelum bertempur, garis komando juga sudah disampaikan, tebas dan tebaskan saja ruduih itu kepada siapa saja yang ada dihadapan, -Mana yang dimakan ruduih itu adalah musuh, yang tidak mampan kena ruduih artinya kawan-. Merdeka….

Serangan pada malam hari itu menewaskan 53 orang serdadu Belanda hanya satu orang yang selamat, karena bersembunyi dibawah mayat kawannya. Sementara di pihak pejuang negeri pulang dengan lengkap. Serdadu yang selamat inilah yang melapor ke Lubuk Basung dan minta bantuan ke Pariaman dan Bukittinggi. Besarnya perang Manggopoh yang membuat luka mendalam bagi penjajah Belanda, bukan hanya sekadar isapan jempol. Untuk mengenang perang tersebut. Di tugu Benteng Belanda di Bukittinggi, pemerintahan Kolonial ini menuliskan kalimat dengan cetak miring
“OPSTANT KAMANG MANGGOPOH” Tugu itulah saksi sejarah hingga kini. Bagi generasi muda, atau siapa saja yang saat ini telah jadi pembesar dan generasi muda Manggopoh yang terlupa, silahkan lihat kalimat cetak miring itu di Bukittinggi!.

Secara sejarah, perang Manggopoh menurut cerita yang tua-tua, dibagi atas dua periode, dan dua kali penyerangan. Tanggal 15 Juni, 1908, sebanyak 53 serdadu Belanda tewas. Kemudian datang bantuan bala tentara Belanda lainnya dari Bukittinggi dan Pariaman. Gelombang kedua terjadi Jumat sore, tanggal 16 Juni 1908.

Gelombang kedua ini dipimpin oleh Tuangku Cik Padang, karena saat perang gelombang pertama, Tuanku Cik Padang pergi mengungsikan keluarganya sehingga tidak bisa ikut perang. Ia menyesali kenapa tidak bisa ikut, dan berniat melancarkan serangan susulan untuk serdadu Belanda yang telah berdatangan kembali dan memperbaiki benteng dan membersihkan darah teman-teman mereka.

Tuanku Cik Padang mulai mencari pejuang yang bisa membantunya, namun semua pejuang yang ikut dalam penyerbuan pertama telah mengungsikan diri ke hutan-hutan. Tapi semangat melawan penjajah Belanda Tuanku Cik Padang terus bergelora, ia mulai mencari warga Manggopoh yang mau ikut dengan dirinya. Di rumah Anduang Piak Iyeh, Tuanku Padang berjumpa dengan Pak Kana dan Pak Unuik, ide penyerangan pun digagas. Mereka bertiga akhirnya berangkat menyerbu Benteng Belanda, pada petang Jumat pukul 22. 00. Perlawanan sengit dari pasukan Belanda yang lebih siaga terjadi, ratusan peluru dan aneka penangkal dihantamkan kepada trio pejuang Manggopoh ini. Mereka akhirnya gugur di medan laga.

Sementara di pihak Belanda tidak diperoleh kata yang pasti berapa jumlah korban, ada yang mengatakan 10 orang ada juga yang bilang 6 orang, sebab saat itu pejuang Manggopoh mulai melarikan diri, karena kekuatan Belanda yang datang tidak seimbang dengan jumlah pejuang yang ada, selain itu, gerakan pejuang juga semakin terjepit oleh aksi-aksi musuh dalam selimut yang menjadi antek-antek Belanda. Jasad Tuanku Cik Padang dan dua pejuang lainnya yang tewas dikuburkan di belakang Kantor Kepala Penghulu Manggopoh. Negeri Manggopoh di bumi hanguskan dan dinyatakan sebagai negeri tertutup oleh Kolonial Belanda.
Kabar perang Manggopoh direspon cepat oleh Belanda, mulai dari Batavia hingga Komandan Sumatera. Hari Sabtu, 17 Juni 1908 Controliur dan Asisten Demang diintuksikan memanggil Kepala Penghulu Manggopoh yang kala itu dipegang oleh Malin, Bergelar Datuak Rajo Mandaro untuk dimintai pertanggungjawaban.

Pasca peristiwa itu, atas laporan kurir pemerintah Kolonial Belanda persembunyian para pejuang Manggopoh berhasil diketahui. Belanda menggelar patroli penangkapan. Mandeh Sitti bersama suaminya Rasyid Bagindo Magek tertangkap di atas pondok mereka di Muaro Anak Aia Palangkitangan. Majoali, Rabeb Bagindo Sidi dan Muhammad ditangkap di Muaro Anak Aia Tarung-tarung. Mereka dibawa ke Padang Tongga. Dalam kondisi terikat, Majoali tetap melawan, tali pengingatnya selalu saja lepas, segala usaha Belanda untuk menjahanamkannya tidak berhasil, karena Majoali kebal peluru. Majoali terus disiksa Belanda dan diseret-seret ratusan kilometer. Majoali akhirnya tewas dalam perjalanan karena kehausan dan meninggal di Padang Tongga. Rentetan penangkapan pejuang terus berlangsung. Di Gunung Antokan ditangkaplah Sutan Mangkuto, Sutan Marajo Dulah, dan Khalid Sidi Marah di tempat persembunyian mereka di Goa Batu Bendi.

Setelah didera berbagai hukuman dan siksaan, dalam perjalanan pulang ke Manggopoh, bersama Penghulu Negeri Manggopoh, Sarif Haji Abuang, beserta Asisten Demang Lubuk Basung. Mandeh Sitti berusaha meminta bantuan Contriliur Pariaman agar dipertemukan dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek untuk berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan Mandeh Sitti dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek kala itu, sebab Mandeh juga tidak mengungkapnya pada public maupun pejuang lainnya.

Sejumlah sesepuh adat dan orang-orang tua di Manggopoh ketika itu hanya melihat pasca peperangan dan penangkapan dirinya hingga pelepasan kembali. Setelah Indonesia merdeka, Inyiak Sitti juga seperti mengalami depresi berat. Ia lebih memilih banyak diam ketimbang berbicara yang tidak penting-penting dengan orang sekitarnya. Termasuk ketika Jendral besar TNI Abdul Haris Nasution memasangkan selempang kebesaran di pundaknya. Nenek Sitti hanya senyum dan diam seribu bahasa. Sejumlah tokoh adat, saudara mara handai dan tolan Mandeh menggambarkan duka hati Mandeh karena kehilangan orang-orang yang dicintainya dan teman seperjuangan dengan bidal berikut; “Jarek di tanah taban, si mantuang di parik putuih indak ka manjulai lai. Tanam Anjalai jo jiluang, tampek bapijak nan lah taban, tampek bagantuang nanlah putuih, indak kama badan manggapai lai, tatumbuak dibadan den surang.

Hingga akhir hayatnya, janji yang pernah diucapkan Jendral Besar Nasution untuk menjadikan Mandeh Pahlawan Nasional juga belum terealisasi, dan puluhan tahun hingga 2009 ini. Belum juga. Bahkan dimasa tuanya dulu, Mandeh pernah menerima uang pensiun dari pemerintah RI, namun entah kenapa, tiba-tiba terputus di tengah jalan.

Sejarah tetaplah sejarah, hingga kini perjuangan Mandeh akan terus dikenang dan anak cucu dan generasi para pejuang Manggopoh lainnya yang telah banyak pula besar dirantau dengan perjuangan dan karya mereka masing-masing, meski tidak pernah berjumpa dengan sosok Mandeh, Singa Betina dari Manggopoh itu, sebuah harapan tertanam di sanubari generasi, janganlah bentuk opini dan cerita yang tidak-tidak tentang perjuangan Mandeh atau mengubah sejarah yang telah ternukil di jiwa-jiwa warga Manggopoh dengan tujuan dan alasan apapun, atau malah membelokkan sejarah atas nama kepentingan kelompok dan golongan, atau malah memanfaatkan sejarah Mandeh untuk guna mendulang kebesaran-kebesaran susulan yang telah diraih. Pastinya dari masa ke masa. Selagi darah masih ada yang mewarisi, juru cerita-juru cerita dan perekam sejarah itu akan tetap ada, akan tetap hidup dan tidak akan berbelok. Cukuplah Allah Taala saja saksinya sebab “Titisan binasa kalau lapuk, Janji Binasa kalau mungkir,”****

Disarikan Kembali dari Hj Nurali Tanjung (89 tahun)
Istri Veteran Kemerdekaan RI Kab Agam, Alm (Purn) TNI Kamarudin Sutan

© dr. Rahmi Salbi Ikhwan

Catatan kiriman dari : Rahmi Salbi Ikhwan,
salah seorang keturunan tokoh H. Abdul Manan yang sekarang bermukim di Riau dan cucu dari Hj. Nurali Tanjung



Selengkapnya...

��
22.18 | Posted in ,

Setuju atau tidak, proses transformasi nilai dan budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan. Melalui pendidikan dilakukan suatu aktifitas pentransformasian atau penurunan kebudayaan. Dengan sendirinya akan meretas segala bentuk ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya. Masyarakat yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang berbudi.

Berbicara tentang budaya, di Minangkabau tidak akan bisa lepas dari membicarakan adat, syarak dan seni. Pada kata adat mengandung kearifan, terkait habbluminannas. Karena adat merupakan strata yang menata hidup dan kehidupan suatu masyarakat dalam bingkai humanisasi atau kemanusiaan. Dengan adat masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang memiliki landasan dan pijakan dalam mengeksisitensikan diri di tengah kehidupan bersosial.

Strata-strata adat manata dan memanajemen baik secara pribadi maupun secara kolektif di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga adanya suatu rasa untuk menghargai keberadaan orang lain. Pengaplikasian ini salah satunya dengan menjalankan suatu aturan dalam berkomunukasi dan berinteraksi yang sopan. Dengan menggunakan kata yang empat:

Satu, kata mendatar yaitu bahasa yang dipilih dan digunakan untuk berkomunikasi dengan seusia. Dua, kata mendaki, merupakan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih tinggi atau orang dihargai seperti kepada seorang guru. Tiga, kata menurun, penggunaan bahasa yang sopan dan penuh kasih sayang kepada seseorang yang usianya lebih kecil. Empat, kata melereng, digunakan dalam berkomunikasi antara orang yang saling menghargai. Seperti pilihan kata yang digunakan seorang mertua kepada menantunya.

Jika transformasi nilai-nilai ini berlaku dengan baik dalam masyarakat Minangkabau, diharap mampu teraplikasi dengan ideal. Tentunya tidak akan ada kesenjangan dan ketidakarifan dalam kehidupan masyarakat. Maka transformasi adat yang dilakukan oleh golongan tua (baca: guru) kepada generasi muda bisa dikatakan berhasil.

Sementara itu syarak menekankan kepada pengimplementasian hubungan yang bersifat vertikal habblumminallah. Syarak menata menusia dalam menjalankan agama. Sebagai bentuk suatu proses menuju jalan kebenaran yaitu jalan Allah. Kebenaran-kebenaran syarak ditarik dari kitabullah dan sunatullah. Pada proses pengaktualisasian nilai-nilai dari syarak pada dasarnya tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan suatu perubahan. Karena kebenaran dari syarak itu bersifat mutlak karena diturunkan lansung oleh Allah SWT.

Namun yang akan menjadi perhatian bagi masyarakat Minangkabau yaitu yang terkait dengan suatu aktifitas syarak yang sifatnya berjamaah. Seperi shalat berjamaah, penyelanggaraan jenazah dll. Tetapi syarak yang terkait dengan ritual keagaan yang bersifat pribadi, itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pribadi pula terhadap Ilahirobbi.

Di dalam melakukan proses transpormasi adat dan syarak di Minangkabau lebih banyak dilakukan di surau. Surau sebagai salah satu tempat yang menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, memiliki suatu sistem yang tidak kaku. Sehingga di surau tidak hanya mempelajari agama (syarak) dan adat. Lebih dari itu, surau juga merupakan salah satu sarana tempat berkesenian. Para guru di surau tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun ia adalah seorang pendidik.

Generasi muda di bentuk menjadi generasi islami yang sopan dan tangguh. Keislamian seorang murid diperoleh melalui proses dari pemerolehan pengetahuan tentang agama yang kemudian mampu di jiwanya dan diimplementasikan dalam keseharian.

Terkait dengan kata dan makna “tangguh” di atas, lahir dari pemikiran bahwa sebagai generasi Minangkabau terutama laki-laki dituntut mampu menguasai seni tradisi silat. Pemilihan kata tangguh bukan hanya karena silat merupakan suatu seni bela diri yang bersifat pertarungan fisik. Namun pada silat menyimpan suatu kearifan roh kelektif. Karena silat tidak hanya terkait tentang pergulatan realitas fisikli. Sebagai roh kolektif, silat merupakan seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, perlindungan diri. Ia sebagai sarana dalam berhubungan dengan orang lain. Silat sangat menjunjung tinggi falsafah sosiokultural dan kolektif dalam bersopan santun.

Generasi muda (baca: murid) tidak hanya dilatih untuk mampu bersilat secara fisikli. Namun ia juga dibekali dengan dua silat lainnya yaitu bersilat lidah dan bersilat batin. Pada dasarnya katiga silat ini merupakan satu kesatuan yang utuh, ia merupakan lingkaran setan yang seharusnya tidak terputus. Dengan penguasaan dari ketiga silat inilah yang akan melahirkan adanya silaturrahmi dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Dengan berfungsinya surau sebagai salah satu sarana transpormasi syarak dan seni di Minangkabau tradisional telah melahirkan generasi islami, berbudi dan tangguh. Hal ini tentunya merupakan suatu bentuk dari keberhasilan proses transpormasi pendidikan di Minangkabau tradisional. Keberhasilan yang ideal itu ternyata telah tertinggalkan jauh. Adanya perubahan-perubahan yang bersifat adopsi dan adaptif telah memudarkan pemahaman masyarakat terhadap adat, syarak dan seninya sendiri. Kondisi ini telah menggiring masyarakat untuk menghindar dari jati dirinya sendiri.

Memahami kondisi seperti ini, arifnya tentu tidak menyalahkan apa siapa. Karena di tengah masyarakat kita telah mengenal dengan adigium: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah, nan aia ka hilia juo. Sakali balega gadang, sakali aturan batuka, nan adaik baitu juo.” Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh menutup mata atas akan terjadinya perubahan-perubahan dalam menjalankan kehidupan.

Karena banyaknya pengaruh-pengaruh dari luar. Namun betapapun besarnya pengaruh itu dan betapapun besarnya akibat yang ditimbulkan pengaruh itu. Seperti adanya perubahan dalam menjalankan suatu sistem. Namun jati diri Minangkabau tidak akan pernah pudar apalagi hilang.

Kondisi inilah sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini. Di mana adanya pergeseran-pergeseran pemahaman dari nilai-nilai kebudayaan yang berdampak kepada pergeseran aktualisasi kebudayaan. Tetapi adat Miangkabau yang ideal tidak akan pernah berubah “nan adaik Baitu juo”. Jadi, bagaimanapun kondisi keberbudayaannya masyarakat Minangkabau saat ini itu merupakan kesenjangan masyarakat dalam mengaplikasikan hidup berbudaya. Bukan karena adanya perubahan di dalam adat. Tetapi perubahan dalam menjalankannya.

Sebagai manusia yang berfikir, masyarakat Minangkabau tentu tidak akan bisa menghindar dari segala bentuk perubahan, karena manusia dan kebudayaan itu bersifat dinamis. Ketidak mampuan manyaring budaya (filterisasi kultural) yang ditawarkan oleh budaya luar lah yang menimbulkan degradasi dan kepudaran implementasi adat, syarak dan seni di Minangkabau.

Satu wacana yang sangat positif tentunya atas kegencaran masyarakat Minangkabau dalam mempertanyakan, mendiskusikan dalam seminar-seminar, mengkritik, bahkan mencaci (barangkali) dari keeksistensian budaya Minangkabau saat ini. Semua bentuk ekspresi dari gejolak-gejolak ini merupakan suatu bentuk adanya perhatian dan kepedulian atas kehidupan budaya Minangkabau tersebut dari masyarakatnya saat ini. Semakin banyak masyarakat yang memperhatikan keeksistensian budaya ini berati semakin adanya kegamangan masyarakat atas ketertimbunan budaya Minangkabau (syarak, adar, seni) atas moral modernisme yang negatif.

Dengan meminjam bahasanya Musa Ismail saya mencoba mengangkat batang tarandam dengan “memartabatkan” budaya Minangkabau. Kata dan makna “memertabatkan” bukan berarti selama ini budaya Minangkabau itu tidak bermartabat. Yang namanya konsep budaya Miangkabau akan tetap seperti apa adanya. Namun yang menjadi pemikiran di sini adalah sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini tidak lagi mengeksistensikan diri sepenuhnya dalam kancah budaya. Sehingga melahirkan suatu budaya baru yang merupakan hasil dari kolaborasi budaya yang tendensius dengan budaya modern.

Pada dasarnya kolaborasi ini kemudian melahirkan budaya kontemporer akan menjadi perfek bila masyarakat Minangkabau mampu memilih nilai-nilai yang positif tanpa menyingkirkan ” memarjinalkan” budaya sendiri. Dahan boleh berganti, asal akar tetap menghujam bumi. Maka itulah yang di sebut dengan jati diri.

Sumber : http://www.minangforum.com


Selengkapnya...

��
21.51 | Posted in ,

Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finansial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.

Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.

Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.

Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.

Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.

© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


Selengkapnya...

��
22.03 | Posted in , ,

1. Pendahuluan

Dewasa ini, tema pluralisme multietnik hampir mendominasi pertemuan ilmiah bidang sosial budaya. Dengan demikian mengangkat kembali tema agama dan adat tidak layak lagi dicap sebagai menegakkan benang basah. Namun sebagai agama dan etnisitas, ia tetap saja dipandang sebelah mata, khususnya oleh yang beragama lain dan berpandangan modernisasi. Maka budaya Minangkabau (indigenous cultural heritage) dan agama sebagai kekayaan dan ciri khas masyarakat Sumatra Barat perlu dijelaskan betapa ia tetap aktual dalam perjalanan hidup manusia dan masyarakat modern. Ajaran Islam adalah pandangan dan jalan hidup (philosophy and way of live) yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta alam dan manusia yang lebih tahu tentang makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Di antara pandangan Islam terhadap manusia sebagai ajaran (teologis) adalah bahwa manusia merupakan makhluk fisik, ruhaniah, rasional, sosial, dan bertuhan kepada Allah. Pandangan secara teologis ini biasa saja berbeda, bahkan berlawanan dengan Islam secara sosiologis, seperti berbagai aliran eksekutif yang ditemukan dalam fenomena sosial dan sejarah Islam (Agus 2003).

Tetapi kalau dipelajari agama dan adat dari segi ajaran agama, dari segi ideal, das sollen, segi teologis, ia sebenarnya merupakan kebutuhan manusia dan penting untuk dapat mempertahankan manusia sebagai manusia dan masyarakat yang bermakna dan bermartabat. Tanpa ajaran Islam dan adat Minangkabau yang menekankan pentingnya berjamaah, berkeluarga, seiya setida, dan berpedoman kepada agama, manusia Minang bisa saja berubah menjadi ibarat pasir di tepi pantai, ibarat buih di atas air bah, seperti hewan, bahkan lebih hina daripadanya, tidak berubah menjadi malaikat.

Makalah ini melihat agama, khususnya Islam, dan budaya Minangkabau sebagai potensi konstruktif. Islam dari segi ajaran bertujuan untuk menciptakan “kerahmatan bagi segenap penghuni alam semesta” (Q.S. al-Anbiya`: 207). Di samping itu juga ia merupakan kebutuhan manusia.

2. Islam dan Budaya Minang Dalam Cita

Islam dalam makalah ini harus dibedakan antara Islam sebagai ajaran (Islam teologis) dan Islam sebagai realita sosial (Islam sosiologis). Pembicaraan Islam dalam cita adalah Islam sebagai ajaran dari Allah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh penafsiran sepihak. Islam sosiologis adalah sebenarnya kondisi realita umat Islam yang biasa dan bisa saja berbeda seperti siang dan malam dengan ajaran Islam (Agus 2003).

Yang dimaksud dengan budaya Minangkabau dalam makalah ini adalah pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan bermasyarakat. Ajaran tentang moral dan prinsip kehidupan diambil dan dikemukakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala alam dan kehidupan. Pandangan hidup seperti roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah; pakailah ilmu padi, makin berisi makin runduk; bersifatlah mampu menyesuaikan diri di mana pun berada, tiba di kandang kambing membebek, tiba di kandang kerbau menguek; musyawarah untuk mufakat seperti kayu bersilang dalam tungku untuk memasak sesuatu adalah contoh pandangan hidup dan sifat yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan masyarakat lebah, pembagian tersebut makin jelas. Ada yang berfungsi seperti ratu (agaknyo bundo kanduang); ada yang berfungsi sebagai pekerja, ada yang berfungsi sebagai tentara dan seterusnya. Pelajaran dari masyarakat lebah juga selalu memberi manfaat kepada manusia, tetapi jangan diganggu.

Di Minangkabau pemahaman dan pelajaran yang diambil dari gejala alam dan kehidupan makhluk ini dikenal dengan alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru adalah suatu metode untuk mengembangkan aturan bermasyarakat yang sejalan dengan hukum alam dan kehidupan. Untuk memahami gejala alam itu digunakan semua potensi yang dimiliki manusia, yaitu pengamatan pancaindera, pemikiran otak, rasa dan hati nurani. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki ini dikenal dengan raso jo pareso. Dengan demikian masyarakat Minang tidak terjebak kepada kecenderungan memberdayakan hanya pada salah satu potensi tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang adatnya dicetuskan oleh Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan Sabatang tidak menolak kedatangan agama-agama besar dunia. Sebelum Islam datang, Hindu dan Budha pernah berkembang dan menjadi pandangan hidup dan budaya masyarakat. Diterimanya agama Hindu dan Budha karena prinsip sumber daya yang dimiliki dan akan diberdayakan tidak demikian kontradiktis dengan sumber daya manusia menurut adat Minangkabau. Raso jo pareso adalah daya spiritual. Sopan santun dan perilaku baik terhadap orang lain juga sama-sama mendapat perhatian dari adat Minangkabau dan agama Hindu Budha.

Dengan kedatangan agama Islam, orang juga dapat menerimanya walaupun tradisi dan kepercayaan animisme dan adat-adat yang tidak baik tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, berjudi, dan meminum minuman keras tetap berlangsung. Sebenarnya perilaku menyabung ayam, judi dan minuman keras, menurut hemat penulis, tidaklah termasuk adat Minangkabau. Itu hanya perilaku menyimpang dari masyarakat (deviant). Akal sehat, hati nurani, raso jo pareso, dan alam takambang mengajarkan perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Proses Islamisasi tidak berjalan mulus. Namun Islam sebagai indetitas etnis semakin kuat, apalagi setelah perang Paderi. Adat basandi syara` syara` basandi kitabullah ( ABSSBK) telah menjadi identitas etnis suku Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau tidak merombak semua nilai, pandangan dan prinsip hidup masyarakat. Pandangan dan nilai luhur kehidupan tetap dipelihara. Perilaku menyimpang memang ditentang. Islam memperkukuh prinsip alam takambang jadi guru. Kecendrungan dalam gejala alam (yang dalam dunia ilmiah dinamakan teori) dan hukum alam dan kehidupan manusia, oleh Islam dinamakan sunnatullah atau ayat-ayat Allah.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ditukar dengan kepercayaan kepada makhluk gaib seperti jin dan iblis, tetapi semuanya itu tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat bagi yang punya keimanan yang kuat kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tanggung jawab Mamak dan Kemenakan diperkuat dengan tanggung jawab ayah kepada anak. Matriarkhat Minangkabau diperkuat dan diperdalam dengan patriarkhat yang dibawa oleh dari Islam sehingga kekerabatan dalam praktek menjurus kepada bilateral. Maka, Islam sebagaimana juga ideologi dan budaya pendatang lainnya, mula-mula dicurigai dan dimusuhi, kemudian ditolerir, dan akhirnya diterima dan disepakati untuk diintegrasikan dengan adat sehingga sampai kepada adagium ABSSBK.
Adat dan budaya yang mementingkan alam takambang jadi guru serta sopan santun sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (tahu kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng) pada hakekatnya adalah pandangan pentingnya memperdayakan pancaindera, akal, dan perasaan serta hati nurani dalam memahami alam dan kehidupan.

Pemberdayaan potensi-potensi manusia ini diperkokoh oleh Islam. Islam menyuruh menggunakan mata, telinga dan mata hati (qulub) serta menyuruh menggunakan pedoman yang berupa agama dan petunjuk Allah untuk umat manusia. Petunjuk Allah yang dinamakan agama itu mementingkan keyakinan (iman, aqidah), perilaku nyata sehari-hari (syari`ah), perasaan ruhaniah (tasauf), dan pemahaman otak tentang segala yang dihadapi. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan terpadu (tauhid) yang diajarkan oleh Islam agama Allah ini (Agus 1993). Pedoman dan pendekatan wahyu penting diperhatikan supaya sumber daya manusia jangan tergelincir kepada yang membinasakan manusia dan alam lingkungannya.

Pandangan materialisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan nihilisme dilahirkan oleh otak manusia yang tidak mau lagi memperhatikan petunjuk wahyu dan agama, bahkan daya yang dimiliki manusia sendiri, yaitu hati nurani dan perasaan luhur. ABSSBK merupkan political will yang kalau diterapkan akan punya daya fleksibilitas dan dinamis serta prinsip-prinsip yang akan menjamin eksitensi manusia tetap sebagai manusia, yaitu makhluk yang bermoral dan regelius. Pengitegrasian ini penting diperdayakan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern dan arus globalisasi.

3. Agama dan Masyarakat Minang dan Realita

Dewasa ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial adalah
keyakinan-keyakinan yang dianut secara fanatik (Agus, 2003: 68-72). Agama dan etnisitas, termasuk Islam dan budaya Minang, secara sosiologis, dianut secara fanatik. Kefanatikan itu akan terlihat dari indikasi kalau ada yang menyinggung sesuatu yang difanatiki itu, pemiliknya akan melakukan tindakan anarkis. Agama ada yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan anarkis dan teror. Oleh karena itu, agama atau sesuatu yang di”agama”kan mengandung potensi konstruktif dan juga destruktif. Karena hanya potensi, tenaga atau semangat, maka terserah kepada masyarakat pengemban kedua potensi itu, apakah akan dipergunakan kepada yang konstruktif atau destruktif. Teori dan teknologi atom misalnya dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat pula untuk dijadikan bom yang telah menghancurkan. Ke arah yang mana akan digunakan potensi itu tergantung kepada manusia yang memilikinya, dan dalam hal agama dan etnisitas, tergantung kepada kelompok pengemban keyakinan tersebut dan juga perlakuan kelompok lain penganut “agama” yang bersangkutan.

Kalau kelompok lain memperbuat sesuatu yang menyinggung kehormatan penganut agama dan etnis tertentu, tentu potensi konstruktif itu akan segera berubah menjadi potensi “destruktif “. Di samping itu baik agama Islam maupun budaya Minang, kalau dilihat sebagai fenomena sosial (das sein) dewasa ini memang tidak layak dibawa ke tengah. Mengangkatnya dalam forum nasional, apalagi dalam forum internasional, ibarat menegakkan benang basah. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatra Barat, sudah lebih rendah kualitas sumber daya manusianya dari bangsa Vietnam sekalipun. Korupsi makin membudaya di Indonesia, termasuk di Sumatra Barat. Trust dan sumber daya sosial sebagai prasyarat bagi kebangkitan bangsa dan suku bangsa (Fukuyama, 1995) tidak dimiliki lagi.

4. Tantangan Modernisme Global

Walaupun seminar dan pertemuan ilmiah dewasa ini punya tema dikaitkan dengan multikultural, namun modernisme masih tetap mendominasi dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi, kekuasaan ekonomi dan politik, modernisme terlebih dahulu harus disadari bahwa modernisasi berbeda dengan modern. Bangsa Indonesia, termasuk orang Minang harus menjadi bangsa dan suku bangsa yang modern, tetapi tidak boleh terjerumus ke dalam modernisme. Bangsa yang modern menghasilkan dan memanfaatkan temuan teknologi modern untuk kesejahteraan hidup bangsa. Bangsa Indonesia dan orang Minang harus menggunakan jasa pesawat terbang, mobil, satelit, internet dan kemudahan lain dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kesejahteraan dan rahmatan lil`alamin.

Kecenderungan memperhatikan hanya satu aspek kehidupan pernah digagas oleh para pemikir, seperti pandangan hidup rasionalisme, empirisme, materialisme, spiritualisme, individualisme, dan sosialisme. Dominasi salah satu aliran filsafat tentang daya apa yang harus diutamakan dalam memahami sesuatu di Barat mengakibatkan daya yang berasal dari luar manusia, seperti wahyu dan ajaran Tuhan, tidak dipercayai. Ajaran yang berasal dan wahyu yang berkembang di tengah masyarakat dianggap sebagai hanya dakwaan pembawa dan alat untuk memperkokoh legitimasi.

Pandangan yang hanya menggunakan sumber daya manusia dan menolak segala yang berasal dari luar diri manusia berkembang di Barat dengan semangat Renaissans mulai abad ke-14 sampai dewasa ini menjadi ideologi sekuler. Sekularisme yang juga diperkuat dengan materialisme dan rasionalisme berkembang di seantaro dunia sampai dewasa ini. Di kalangan masyarakat Minangkabau pandangan hidup sekuler tidak dapat diterima secara prinsip. Barat menolak memberdayakan potensi hati nurani yang cenderung mengakui keberadaan manusia dan manusia butuh kepada bimbingan, petunjuk, dorongan semangat dan kasih sayang-Nya.

Hati nurani dikenal juga dengan potensi ruh yang menurut surat as-Sajdah ayat 7-9, adalah bagian dari ruh Allah yang mampu ditiupkan-Nya kepada janin setelah fisik janin terbentuk. Karena itu mata hati mampu melihat Tuhan dan kebesaran-Nya. Tetapi Barat dengan semangat renaissansnya menolak ajaran yang bersumber dari luar diri manusia tersebut. Jadilah manusia sebagai konseptor, aktor dan tujuan kehidupan sekaligus. Renaissans adalah antroposentrisme.

Sekularisme dengan materialismenya telah mengakibatkan berbagai krisis sosial dan lingkungan. Kegersangan nilai-nilai spiritual telah menjangkit masyarakat sekuler. Berkembangnya berbagai aliran acultisme, bahkan yang tidak lagi rasional seperti The San Temples dan the People Temples di masyarakat yang dianggap termaju di dunia, seperti Amerika, adalah konsekwensi logis dari masyarakat yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dalam menatap hidup yang makin kompleks ini. Gejala bunuh diri sebagai kekecewaan dan kehilangan pegangan yang sangat mendalam dalam kehidupan ini adalah fenomena sosial masyarakat maju yang sekuler itu. Runtuhnya institusi keluarga juga konsekwensi logis dari individualisme dan emansipasi yang kebablasan. Krisis ekologi dan pencemaran lingkungan adalah resiko yang harus diterima dari materialisme yang sudah lepas dari kendali agama.

Sedangkan modernisme adalah paham yang ingin berprinsip bahwa agama dan nilai-niali budaya lain tidak layak lagi dipakai untuk pembangunan sosial. Manusia harus bangkit dengan kemampuan otak dan otot (fisik, materinya) dengan meninggalkan segala campur tangan lain, seperti agama, tradisi dan doktrin-doktrin lainnya dalam mengelola masyarakat. Untuk itu sekulerisme, positivisme ilmiah, ekonomi pasar bebas, demokrasi kuantitatif, liberalisme, materialisme, individualisme dan hedonisme adalah perangkat penting untuk mendukung prinsip modernisme. Sebagai ideologi modemisme, ia diperjuangkan untuk diterima di dunia dengan berbagai macam negara dan budayanya. Oleh karena itu, modernisme dikritik oleh posmodernisme sebagai ideologi yang bersifat imperialis dan kolonialis. Dengan daya otak dan materi yang kuat sehingga menjadi negara adidaya, modernisme yang dimotori oleh Amerika telah menjadi beringas dan mengabaikan tatakrama kehidupan bersama dalam dunia internasional. Kebringasan Amerika akhir-akhir ini di lrak dan Afganistan, dan hegemoni budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuannya di negara-negara lain adalah bukti-bukti yang menguatkan tesis yang dikemukakan oleh Huntington (1996).

Dalam era globalisasi seperti dewasa ini terlihat dominasi budaya modernisme yang dimotori oleh Amerika dengan perangkat pasar bebas, demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), positivisme ilmiah, sekularisme dan liberalisme moralnya. HAM berpandangan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dalam menikmati hak-hak asasinya berdasarkan perbedaan agama, suku, suku bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Sedangkan agama dan adat dinilai membatasi banyak kebebasan manusia. Ini berarti bahwa arus modernisme yang bersifat kolonialisme itu tidak pluralis. Pluralisme sejalan dengan posmodernisme. Dengan lembaga internasional dan penguasaan teknologi dan komunikasi, modernisme masih dominan walau pun dalam pertemuan ilmiah dan wacana pemikiran pluralisme atau posmodernisme telah menjadi tema seminar dewasa ini.

Pemikiran modernisme makin mencemaskan perkawinan antar agama dan etnisitas. Perkawinan tersebut digembar-gemborkan akan memperjauh dan HAM, demokratisasi dan inklusifisme dan akan mempersubur gerakan “teroris” yang diperhalus dengan istilah fundamentalisme, ekslusifisme atau primordialisme. Pengalaman bangsa Indonesia yang terpecah-pecah setelah reformasi, sukuisme dan agama bangkit kembali dan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan, seperti kasus Ambon, Poso, dan Kalimantan Tengah.

Postmodernisme memperjuangkan diberinya kesempatan kepada setiap budaya, ideologi, dan agama suatu masyarakat untuk mengembangkan sistem politik, ekonomi, budaya dan bahkan pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan aspirasi politik, ideologi, budaya dan agama masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986). Maka postmodernisme mendukung multi kultural, sementara modernisme bersifat kolonial yang dilancarkan secara halus sehingga meminjam ungkapan Malik bin Nabi (1969: 206-208), bangsa terkebelakang itu pula sekarang yang bermental layak untuk dijajah, yang minta-minta untuk dijajah (al-qabiliyah li al-isti`mar), seperti selalu mengharapkan kucuran dana hutang setiap tahun.

Islam dan budaya Minang jelas menentang paham sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme. Umat dan suku bangsa yang memegang suatu norma moral, sistem hukum, tata kehidupan bersama, seperti tidak boleh murtad, pamer aurat, free-sex dituduh sebagai bangsa yang tidak menghormati hal-hak asasi manusia. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan individu, sedangkan komunits tidak diberi hak untuk menentukan aturan untuk mereka sendiri. Tetapi kehidupan manusia memang unik. Di tengah-tengah deru modernisme, individualisme, sekularisme dan bahkan materialisme itu, timbul pula kerinduan kembali kepada identitas kelompok, kepada spiritualisme dan agama.

Naissbit dan Aburdene mengungkap hal ini sebagai salah satu dan megatrends (Naissbit dan Aburdene 1990). Indonesia setealah 32 tahun berada dalam rezim “asas tunggal” dan sentralisasi berubah menjadi dijangkit demam promordialisme. Etnik, kelompok, agama, daerah kembali bersuara lantang, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan kelompok lain. Di skala intemasional dan Barat sendiri, pandangan modernisme yang mendesak segala yang dianggap primordialisme juga mendapat tantangan serius. Posmodernisme kembali menghidupkan segala macam primordialisme. Kelompok, etnik, ideologi, agama, ras, jenis, kelamin harus mendapatkan hak untuk menghayati kehidupan dengan cara pandang dan keyakinan mereka masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

5. Islam dan Budaya Minang untuk Menghadapi Tantangan Modernisme

Ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen dan lainnya, tidak terlepas dari interprestasi yang ditonjolkan pada suatu periode tertentu oleh pemukanya. Ajaran Calvin, misalnya dinilai oleh Weber sebagai penggerak berkembangnya etos kerja yang menumbuhkan kapitalisme (Weber, 1958), berbeda dengan ajaran Katolik Roma zaman tengah yang dinilai sebagai penyebab keterbelakangan dunia Barat. Demikian juga perkembangan Islam di zaman klasik yang melahirkan sejumlah ilmuwan dan filusuf tentu tidak terlepas dari teologi yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi inklusif, bersedia menerima kebenaran dan manapun datangnya (al-Badawi, 1965). Kemunduran Islam sesudahnya mulai abad ke 13 M/8 H juga tidak terlepas dari interprestasi ajaran agama yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi fataistis, budaya sufistik, dan ketertutupan, taklid, atau ekslusif (lihat Hourani, 1962 dan Amin, 1971).

Untuk meningkatkan kualitas kerja dan profesionalisme, dakwah, studi danpendidikan agama perlu ditekankan pada teologi yang dalam ajaran Islam dinamakan dengan ihsan. Perlu diungkapkan menjadi aqidah, iman, keyakinan atau teologi, yaitu bahwa bekerja dengan kualitas baik, teliti, bagus, berdaya guna lebih luas harus dimasyarakatkan sehingga menjadi aqidah, teologi atau komitmen setiap pribadi Muslim. Kemudian keyakinan keagamaan kepada makhluk gaib, akhirat dan lain-lainnya perlu dikembangkan dengan paradigma untuk meningkatkan kualitas amal dan karya di dunia ini, untuk mewujudkan rahmatan lil`alamin.

Pengertian dan konsep amal yang masih banyak dianggap sebagai kegiatan ritual dan sedekah amal harus ditingkatkan dalam pengertian segenap aktivitas sosio-kultural yang positif dan lainnya (pahalanya) terletak pada tinggi rendahnya kualitas kerja yang tergantung padanya kekuatan umat, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya. Kemudian
kedudukannya berubah menjadi kewajiban pribadi (fardhu `ain) bagi yang telah memilih salah satunya sebagai profesi dan bidang tugasnya.

Konsep-konsep tersebut adalah contoh-contoh yang memerlukan penggarapan baik oleh masyarakat, seperti melalui media massa, gerakan dakwah, maupun melalui political will, seperti beasiswa untuk studi teologi, alokasi dana pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang memadai untuk tujuan tersebut.

Efek lain dari kemajuan teknologi dan pesatnya kegiatan ekonomi dan produksi adalah bahwa manusia merasa dirinya hanya bagian atau bahkan pelayan dari mesin-mesin. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan antara satu sama lain semakin tipis karena telah diperenteng oleh alat komunikasi canggih. Manusia merasa kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang kreatif, punya harga diri, berarti, dan makin tidak merasakan hubungan sosial yang ikhlas. Manusia modern hidup teralienasi, mengidap anomali atau anomi.

Keberingasan massa, terorisme, kriminalitas, menjadi pecandu obat bius dan ekstasi, menjamurnya kelompok meditasi dan ajaran “agama” yang aneh-aneh (cults), adalah konsekwensi dari manusia yang telah kehilangan jatidiri dan nilai-nilai spiritual. Karena kegersangan spiritual ini Naisbitt dan Abuderne (1990: 270-297) meramalkan bahwa abad 21 juga merupakan abad kebangkitan agama, atau lebih tepat dikatakan dengan kebangkitan kelompok spiritual.

Maka agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat era globalsasi dan industry untuk dapat memberikan siraman dan melestarikan hubungan sosial. Roger Garaudy (1985), dari perjalanan hidup dan pemahamannya terhadap pemikiran di Eropa sebagai seorang yang pernah aktif dalam partai Komunis Prancis dan guru besar filsafat, berkesimpulan bahwa permasalahan manusia modern adalah putusnya hubungan dengan yang transendental dan hubungan sosial dan Islamlah yang mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Kemudian ciri lain dari masyarakat dunia dewasa ini adalah bahwa mereka mengkonsumsi sajian media komunikasi yang bermacam ragam. Dengan media cetak dan elektronik modern berbagai nilai, pendapat, gagasan, perilaku dan gaya hidup, disuguhkan dari segenap penjuru dunia tanpa batas. Dampak kemajuan media komunikasi ini jelas berpengaruh terhadap keyakinan dan ajaran agama yang selama ini atau seharusnya diyakini. Kemajuan media cetak dan elektronik ini mengakibatkan tumbunya relativisme nilai budaya dan agama.

Tidak adanya nilai dan hal-hal yang dipercayai dalam kehidupan seseorang menjadikan hidup dalam kebingungan, goncang, tidak ada pegangan, dan gelisah. Kalau gejala ini telah menimpa sebagian besar anggota masyarakat,masyarakat tersebut sudah rapuh, goyah atau keropos. Gejala banyak anggota masyarakat yang mengikuti berbagai macam aliran kebatinan, meditasi, pengobatan alternatif, berbagai cults, baik di Timur ataupun Barat seperti yang telah disinggung di atas menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya luhur.

Oleh karena salah satu ciri beragama adalah bahwa nilai dan ajarannya dipercayai sebagai mutlak benar, maka memupuk keyakinan beragama setelah diadakan penafsiran yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam pendekatan dakwah dan pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelamatkan manusia yang sudah kehilangan pegangan hidup akibat telah digoncang oleh suguhan media kommikasi modern yang kontradiktif.

Masalah yang menjangkiti masyarakat modern yang rasional ini adalah mengidap stres. Stres menjangkiti kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, di masyarakat, dan di rumah tangga. Kegagalan dalam mencapai banyak hal juga mengakibatkan stres. Konflik antar individu dan antar kelompok juga mengakibatkan stres. Stres juga menurunkan kondisi kesehatan fisik.
Tetapi dengan iman kepada takdir Allah terhadap segala yang telah dialami membantu untuk tidak terlalu stres menghadapi hambatan, konflik dan kegagalan. Dengan iman kepada takdir yang diajarkan Islam, kita juga tidak terlalu cemas menghadapi masa depan dan siap mental menghadapi segala macam resiko.

6. Kesimpulan

Kehidupan yang didominasi modernisme menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Manusia membutuhkan materi, kepuasan spiritual, perhatian, ketenangan, penjelasan rasional, keyakinan dan kepastian hidup, kiat menghadapi persoalan dan kegagalan, hubungan sosial yang baik dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. Tidak terisinya salah satu dan hubungan tersebut akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan. Pandangan modernisme tentang kehidupan cenderung mementingkan salah satu atau beberapa saja dan kebutuhan tersebut dan mengabaikan yang lain. Maka sumber permasalahan adalah bahwa manusia modern tidak memiliki suatu keyakinan dan pandangan hidup yang dapat mengisi kebutuhan tersebut. Maka agama yang belum terlalu direduksi oleh pandangan manusia, serta budaya yang biasa dianggap tradisional, seperti budaya Minang, tetap diperlukan dalam kehidupan modern karena masih punya dimensi-dimensi yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

© Bustanuddin Agus
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
http://blogminangkabau.wordpress.com



Selengkapnya...

23.00 | Posted in , ,

Surau dan Madrasah di Minangkabau

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama

Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren

Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren

Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah

Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

��