Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finansial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.
Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.
Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.
Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.
Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.
Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.
© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi. Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini, Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.
Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang --oleh beberapa penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering dijadikan titik tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.
Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.
Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.
Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur, karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran agama Islam di daerah ini pada tahap awal.
Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).
Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing--, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” seba-gai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam sambil menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.
Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.
Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah furu’iyyah lainnya. Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.
Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir--, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu ini.
© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Alas Wacana
Minang Madany akan memediasi berbagai pemikiran tentang geliat Islam di Minangkabau sepanjang sejarah.
About Me
Labels
- Biografi (1)
- Budaya (6)
- Dinamika Intelektual (4)
- Falsafah Adat (2)
- Institusi Sosial (1)
- Inyiak Candung (1)
- Kepemimpinan (2)
- Masjid/Surau (1)
- Naqsyabandiah (1)
- Pembaharuan Islam (3)
- Pemikiran Islam (2)
- Perang Belasting (1)
- Perang Manggopoh (1)
- Sejarah Budaya (4)
- Sejarah Masjid (1)
- Sejarah Pendidikan (3)
- Sejarah Sosial (2)
- Sejarah Tarikat (1)
- Sistem Sosial (2)
- Sufisme (3)
- Surau (2)
- Syathariyyah (1)
- Tokoh/Ulama (2)
- Transformasi Nilai (1)
- Ulama (1)