12.49 | Posted in ,

PARADIGMA SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH TARBIYAH ISLAMIYAH (MTI)
Konsepsi keteladanan dalam Islam sudah mendapatkan rumusan yang cukup jelas, terutama bila dihubungkan dengan proses pembelajaran. Rasulullah sendiri sebagai figur sentral di dalam Islam adalah merupakan rujukan utama (sumber keteladanan) kehidupan muslim. Hadis-hadis, sebagai warisan Rasulullah yang berupa perkataan dan perbuatannya, adalah sumber normatif (hukum dan nilai-nilai) bagi pembentukan prilaku dan tatanan sosial umat Islam. Firman Allah : “Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah”.

Kita menyadari, bahwa semua aspek normatif kehidupan muslim ditujukan untuk mendapatkan suatu tata kehidupan yang baik (hasanah), tidak saja untuk kehidupan dunia, terlebih lagi untuk kehidupan kelak di akhirat. Ini merupakan tujuan akhir dari proses pembelajaran dalam Islam. Proses ini dituntut harus berlangsung terus menerus, dapat dilakukan di mana saja dan dalam situasi apapun ; “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilallahdi” dan “Uthlubul’ilma walau bishshiin” dan seterusnya, demikian pesan Rasulullah.

Sistem pendidikan merupakan salah satu bentuk proses pembelajaran yang menuntut berbagai prasyarat keberlangsungan serta tercapainya sasaran yang diinginkan, sementara guru adalah merupakan titik sentral dalam mekanisme proses belajar-mengajar dalam sistem pendidikan itu. Dalam Islam, guru, selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan terhadap anak didik (ta’lim), sekaligus juga harus mampu memberi keteladanan dalam rangka tranformasi nilai-nilai terhadap mereka (tarbiyyah). Dalam mentransfer ilmu pengetahuan, guru dituntut harus memiliki kecakapan, penguasaan keilmuan serta keterampilan dalam penyampaiannya. Sementara itu, dalam mentransformasikan nilai-nilai, guru harus dapat menunjukkan prilaku-prilaku, sikap dan sifat-sifat yang terpuji sesuai norma-norma yang berlaku dalam ajaran Islam itu sendiri.

Telah dikemukakan bahwa sebagai figur sentral kepribadian muslim adalah Rasulullah. Ia merupakan acuan dalam setiap aspek kehidupan. Transformasi nilai-nilai kehidupan Rasulullah merupakan wujud dari proses pembelajaran dalam Islam. Oleh karena itu, pewarisan nilai-nilai kehidupan Rasulullah dalam bentuk keteladanan merupakan bagian mutlak dari suatu lembaga pendidikan Islam.

Proses pewarisan itu berjalan terus menerus dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi melalui figur-figur ‘ulama yang oleh Rasulullah sendiri dipercayakan sebagai pewarisnya. Kata Rasulullah : “Al’ulama` waratsatul anbiya`. Melalui pengajaran, pendidikan dan keteladanan ulama itulah, proses pewarisan itu harus tidak terhenti. Oleh karena itu pula, proses regenerasi ulama harus tetap berjalan.

Atas dasar itu, para ulama kita di masa lalu berupaya untuk melahirkan gagasan-gagasan dan berjuang untuk terwujudnya lembaga pendidikan sebagai wahana untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan transformasi nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, sosialisasi nilai-nilai berjalan sedemikian rupa, karena ditunjang oleh berbagai perangkat serta suasana yang memungkinkan para generasi didik dapat mengembangkan kepribadiannya sesuai tuntunan agama. Pribadi-pribadi yang memiliki kematangan dalam ilmu dan kemapanan sikap dan prilaku untuk kemudian dituntut mewariskan pada generasi berikutnya.

Apa yang kita kemukakan itu, sebenarnya adalah prinsip yang berlaku dalam sistem pendidikan Madrasah yang dikembangkan oleh ulama-ulama kita di Sumatera Barat masa lalu. Suatu sistem pendidikan yang tidak hanya sekedar melahirkan generasi yang berilmu, namun juga memiliki karakteristik kepribadian yang layak dipanut dan diteladani oleh lingkungan sosial di mana ia berada. Pribadi yang mempuyai kemampuan mentransfer dan mentransformasikan nilai-nilai keIslaman di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal dan agamis. Spesifikasi yang dimiliki oleh model pendidikan seperti inilah yang membedakan sistem pendidikan Islam dengan pendidikan-pendidikan sekuler lainnya.

Keteladanan “Inyiak Canduang”

Syekh Soelaiman Ar-Rasuly atau yang lebih dikenal dengan panggilan “Inyiak Canduang” cukup dikenal di mana-di mana. Beliau adalah sosok tokoh pendidikan yang telah melahirkan banyak ulama, cendikiawan serta tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Oleh karena itu, keberadaan beliau sebagai tokoh pendidik, ulama, dan pejuang mempunyai arti yang sangat besar bagi masyarakat, agama dan bangsa ini dalam rentang waktu yang bahkan melampaui masa hidupnya sendiri. Bahkan hingga saat ini masih dirasakan keberadaannya, tidak hanya oleh masyarakat Sumatera Barat, Indonesia, bahkan juga di negara-negara tetangga.

Sebagai tokoh pendidik, beliau telah mewariskan suatu model sistem pendidikan yang prospektif dan masih -atau bahkan- sangat relevan dengan realitas masa kini. Model sistem yang dimaksud -pada dasarnya- bertolak dari tujuan asasi pendidikan itu sendiri yaitu menempatkan faktor manusia pada posisi kemanusiaannya, bukan sebaliknya menjadikan mereka sebagai “mesin-mesin” dengan orientasi kehidupan duniawiyah semata. Apa yang kita sebut terakhir inilah yang menjadi fenomena pendidikan modern dewasa ini. Sehingga tidak heran, banyak kalangan intelektual Islam kemudian mencoba mencari alternatif model sistem pendidikan pesantren, sebagai yang kita saksikan sangat menjamur di pulau Jawa saat ini.

Kenyataan terakhir yang dirasakan sangat ironis ialah banyaknya kalangan masyarakat Sumatera Barat yang mengirim anak-anak mereka belajar ke pesantren-pesantren di luar Sumatera Barat sendiri. Pada hal, kenyataan dulu adalah sebaliknya. Keadaan ini tentu mengundang pertanyaan : Apakah kita telah terlalu banyak kehilangan masalalu kita?, apakah kita hari ini tidak lagi mampu menjadi pewaris pendahulu kita?, ataukah kita secara naif telah mengingkari nasehat dan amanat yang mereka tinggalkan untuk kita?, atau mungkin kita yang terlalu bodoh untuk memahami mereka?, Semua pertanyaan ini tentu perlu kita renungkan kembali, karena bukan tidak mungkin, orang lain diluar kita akan mengajukan pertanyaan yang sama terhadap kita. Gus Dur dalam kunjungannya ke Sumatera Barat Januari tahun 2000 lalu mengemukakan bahwa “Orang Minangkabau dulu banyak melahirkan gagasan-gagasan segar dan gagasan itu telah menjadi inspirasi oleh banyak orang di luar Minang sendiri”. Ucapan yang bernada pujian ini justru mengisyaratkan tantangan bagi orang Minangkabau sekarang.

Bertolak dari kenyataan itulah, agaknya kita perlu untuk kembali meluruskan orientasi kita di sini, terutama dalam mengemban amanah pendidikan “Sang Maha Guru” kita Syekh Sulaiman Arrasuli. Kita sebagai pelanjut perjuangannya perlu kembali mencoba untuk memahami dan mengerti cita-cita dan obsesinya dalam sistem pendidikan yang telah dirintisnya ini. Zaman boleh berubah, namun kita jangan kehilangan arah. Inilah agaknya yang tersirat dari amanah “Sang Maha Guru” itu, sebagai dinukilkan pada nisan pusaranya yang berbunyi “Teruskan membina Tarbiyah sesuai dengan pelajaran yang kuberikan”.

Bila kita mau lebih arif untuk memahami ketokohan “Inyiak Canduang”, tentu kita merasa berkewajiban untuk bercermin kepada pola-pola yang dulu pernah beliau laksanakan dalam menata sistem pendidikan ini. Pola-pola mana diakui sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Diantara pola umum yang beliau terapkan adalah seperti dalam metode pengajaran, beliau telah menerapkan langkah-langkah efektif, seperti : muthala’ah (membaca dan memahami), muzakarah (diskusi), muhafazhah (hafalan), dan tathbiq (aplikasi teoritis) dan ditambah lagi dengan metode pelatihan yang disebut dengan muhadharah (keterampilan) dan praktek mengajar (praktikum). Metode pendidikan ini diselenggarakan secara terpadu dengan menerapkan sistem-sistem pendukung, seperti dengan menempatkan murid-murid pada pemondokan yang telah diatur sedemikian rupa. Ini dutujukan agar para murid itu mendapatkan bimbingan dari senior-senior mereka yang sekaligus berfungsi sebagai tutor dalam menyempurnakan pelajaran pada malam hari.

Kita mengetahui, bahwa Inyiak Canduang sangat konsisten dengan pendirian, namun tidak anti kemajuan. Perubahan dari sistem halaqah ke sistem klassikal yang beliau lakukan pada tahun 1928, telah membuktikan bahwa beliau sangat respek dengan pembaharuan. Namun kukuh dalam memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi ciri ketokohan beliau, karena itu, materi pengajaran yang diberikan disekolah ini tetap dipertahankan untuk selalu menggunakan standard Syafi’iyyah.

Selain itu, yang lebih mengesankan dari keteladanan Inyiak Canduang ialah strategi yang digunakannya dalam menempatkan Madrasah yang beliau asuh ini, tetap berada di hati masyarakat. Beliau sangat menyadari bahwa beliau menjadi besar karena masyarakat, oleh karenanya, sekolah yang beliau dirikan juga akan besar karena masyarakat. Pertimbangan ini pulalah yang menyebabkan kenapa beliau sangat mempertimbangkan “faktor masyarakat” dalam strategi pendidikannya. Ini dapat dilihat seperti bagaimana beliau mengerahkan murid-murid untuk bergotong royong bersama masyarakat, melibatkan murid-murid untuk kegiatan-kegiatan sosial baik suka maupun duka, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat betul-betul merasakan eksistensi Madrasah ini di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, akan dengan sendirinya masyarakatpun merasa memiliki dan berkewajiban untuk memelihara dan membesarkannya.

Terlalu banyak yang perlu kita telusuri dari kehidupan Syekh Sulaiman Arrasuli, terutama menyangkut sikap, prilaku serta nilai-nilai yang terdapat pada pribadi beliau. Diantaranya dapat dilihat dari performan (penampilan) ciri kepemimpinan yang beliau tunjukkan, seperti konsisten (istiqamah), kemampuan beradaptasi yang begitu besar terhadap lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan peluang dalam keadaan sulit sekalipun, cara berfikir ekonomis dan masih banyak lagi kalau kita sebut satu persatu. Semua itu tentunya kalau kita mau jujur untuk mengakui serta meneladani ketokohan beliau. Kita akan bercermin dari itu semua, bila kita tidak mau berkhianat terhadap amanah yang telah beliau berikan.

Demikianlah paparan singkat yang lebih merupakan pemikiran dan kesaksian seorang murid terhadap seorang guru yang bertolak atas kesadaran dan amanah pengajaran yang pernah diterima. Semoga akan bermanfaat dalam melanjutkan cita-cita besar yang telah beliau canangkan. La’allallahu yahdiina ila shirathin mustaqim.

© H. Amran Shamad Malin Panduko





Selengkapnya...

��
13.32 | Posted in


Rekaman Ingatan Saksi Sejarah

*Disebut Juga Sebagai Perang Sabih
*Sia nan Dimakan Ruduih Itu Musuh

Perang Manggopoh tanggal 15-16 Juni 1908 berawal dari rasa muak, kaum ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan rakyat Kanagarian Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Seluruh elemen masyarakat Manggopoh menilai tindakan-tindakan serdadu Belanda sudah berada di luar batas kewajaran sebagai manusia, dan melanggar adat sopan santun masyarakat Manggopoh yang menjunjung tinggi nilai adat dan budaya luhur Minangkabau.

Tingkah polah penjajah Belanda tidak hanya dinilai menzalimi rakyat semata dengan penetapan pajak (belasting) yang tinggi, tapi mulai merambah ranah etika dan moral. Seperti mengganggu istri orang, menggangu perempuan yang mandi dan mencuci di Batang Antokan dan Kalulutan yang mengapit Negeri Manggopoh.

Komplikasi rasa muak yang menjadi-jati itu terus jadi pokok bahasan sesepuh masyarakat dan adat di Negeri Manggopoh. Sebelum dimulainya gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, tanggal 15 Juni 1908 (tepatnya Kamis sore). Aneka rapat telah digelar di sejumlah Mesjid yang ada di Kanagarian Manggopoh, diantaranya Mesjid Nurul Iman Sungkai, komplek perumahan H Abdul Manan, seorang pengusaha kopra kala itu dan Surau Parik sebuah Surau tuo di Balai Satu Manggopoh.

Para tokoh itu antara lain;

* H Abdul Manan bersama 17 orang kepercayaan dan pasukannya
* Bagindo Sutan Siluma yang akrab disapa Mak Luma
* H Abdul Gafar yang bergelar Ranji Sipatokah.

Mereka ini adalah sesepuh masyarakat yang terus menyusun strategi untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. Motivasi untuk melakukan perperangan ini kian menjadi-jadi ketika perang Kamang meletus, Rabu sore, 14 Juni 1908. Angku Rasyid Bagindo Magek, suami dari Inyiak Sitti Manggopoh ikut dalam peperangan Kamang tersebut, karena terus diburu Belanda. Angku Rasyid Bagindo Magek pulang ke Manggopoh. Beliau langsung ke Kampung Koto dan bergabung dengan rekan-rekan pejuang Manggopoh lainnya.

Para pejuang Manggopoh yang telah mempersiapkan diri, diikat dalam sebuah sumpah dan janji; “ Basamo ruduih (pedang) di tangan, di atasnya Al Quran, samo-samo mengucapkan Allahu Akbar, Sajangka indak ka suruik, aso hilang dua tabilang, pado hiduik bacamin bangkai, bialah mati bakalang tanah, siapo nan mungkia janji dimakan kutuak Kalamullah,”. Setelah mengucapkan sumpah dan ikrar tersebut mereka meminum air tapuang tawa (tepung tawar) dan menyiram badan mereka. Tepat pukul 22.00 pasukan berangkat ke Mesjid Kampuang Parik (salah satu Mesjid tertua di Manggopoh).

Dalam perjalanan menuju Surau Parik, rombongan bersua dengan Mandeh Sitti, perempuan Manggopoh yang terkenal dengan sikap tegasnya dan salah satu Bundo kanduang yang juga sangat benci melihat kurenah dan tingkah laku Kolonial Belanda.

Kepada rombongan yang didalamnya juga ada suami Mandeh, (Rasyid Bagindo Magek) Mandeh berkata “Udo, sabalun barangkek, singgah kito dulu ka pusaro Limau Paga (sebuah kuburan yang dikeramatkan masyarakat Manggopoh kala itu) sudah itu baru kito taruih ka Musajik Kampung Parik,” ajak Mandeh.

Saran Mandeh Sitti diterima oleh rombongan, para pejuang memanjatkan doa untuk arwah nenek moyang terdahulu yang bersemayam di kuburan itu. Para pejuang juga mengelilingi kuburan ini sebanyak 7 kali, setelah itu langsung berangkat menuju Mesjid Kampung Parik. Rencana penyerbuan dimatangkan di Mesjid Kampung Parik. Tiga orang kurir diutus melakukan penyamaran dengan cara menjadi penjual manggih mudo guna menyelidiki situasi di Benteng Belanda, (bukan penjara atau tahanan, tapi Benteng Belanda*)

Setelah berdoa, di Mesjid Kampung Parik, dengan mengumandangkan takbiran berangkatlah rombongan pejuang menuju Benteng Belanda. Rombongan lain menunggu di semak-semak di sekeliling benteng. Mandeh Sitti ditampilkan sebagai umpan. Mandeh mengetuk pintu Letnan Belanda dan berusaha mencari perhatian dengan mengatakan, “tuan saya nona Sitti”. Kala itu si Letnan Belanda sedang membaca, mendengar suara perempuan yang begitu merdu, si Letnan terperanjat, boleh jadi pada saat itu, ingatannya belum lepas, pada Inyiak Lipah (seorang wanita Manggopoh) yang terkenal dengan kecantikan dan pesonanya juga. Pada siang harinya juga digoda oleh Belanda, tapi dilerai oleh tokoh masyarakat.

Mendengar suara perempuan, si Letnan langsung membukakan pintu, mendapati yang datang adalah Mandeh Sitti, si Letnan terkesima, dan langsung menggiring Mandeh Sitti menuju ke kamarnya. Sikap lengah Letnan Belanda ini dimanfaatkan Mandeh Sitti untuk menghabisinya. Ruduih Mandeh langsung bersarang di leher si Letnan dan terkapar bersimbah darah. Mandeh langsung memadamkan lampu sebagai sandi operasi malam itu. Para pejuang yang berada di luar langsung merengsek masuk ke Benteng Belanda.

Perang malam itu juga sering disebut pejuang Manggopoh dengan Perang Sabih. Sebab dalam suasana gelap, siapa yang musuh dan siapa yang lawan tidaklah begitu kelihatan. Namun sebelum bertempur, garis komando juga sudah disampaikan, tebas dan tebaskan saja ruduih itu kepada siapa saja yang ada dihadapan, -Mana yang dimakan ruduih itu adalah musuh, yang tidak mampan kena ruduih artinya kawan-. Merdeka….

Serangan pada malam hari itu menewaskan 53 orang serdadu Belanda hanya satu orang yang selamat, karena bersembunyi dibawah mayat kawannya. Sementara di pihak pejuang negeri pulang dengan lengkap. Serdadu yang selamat inilah yang melapor ke Lubuk Basung dan minta bantuan ke Pariaman dan Bukittinggi. Besarnya perang Manggopoh yang membuat luka mendalam bagi penjajah Belanda, bukan hanya sekadar isapan jempol. Untuk mengenang perang tersebut. Di tugu Benteng Belanda di Bukittinggi, pemerintahan Kolonial ini menuliskan kalimat dengan cetak miring
“OPSTANT KAMANG MANGGOPOH” Tugu itulah saksi sejarah hingga kini. Bagi generasi muda, atau siapa saja yang saat ini telah jadi pembesar dan generasi muda Manggopoh yang terlupa, silahkan lihat kalimat cetak miring itu di Bukittinggi!.

Secara sejarah, perang Manggopoh menurut cerita yang tua-tua, dibagi atas dua periode, dan dua kali penyerangan. Tanggal 15 Juni, 1908, sebanyak 53 serdadu Belanda tewas. Kemudian datang bantuan bala tentara Belanda lainnya dari Bukittinggi dan Pariaman. Gelombang kedua terjadi Jumat sore, tanggal 16 Juni 1908.

Gelombang kedua ini dipimpin oleh Tuangku Cik Padang, karena saat perang gelombang pertama, Tuanku Cik Padang pergi mengungsikan keluarganya sehingga tidak bisa ikut perang. Ia menyesali kenapa tidak bisa ikut, dan berniat melancarkan serangan susulan untuk serdadu Belanda yang telah berdatangan kembali dan memperbaiki benteng dan membersihkan darah teman-teman mereka.

Tuanku Cik Padang mulai mencari pejuang yang bisa membantunya, namun semua pejuang yang ikut dalam penyerbuan pertama telah mengungsikan diri ke hutan-hutan. Tapi semangat melawan penjajah Belanda Tuanku Cik Padang terus bergelora, ia mulai mencari warga Manggopoh yang mau ikut dengan dirinya. Di rumah Anduang Piak Iyeh, Tuanku Padang berjumpa dengan Pak Kana dan Pak Unuik, ide penyerangan pun digagas. Mereka bertiga akhirnya berangkat menyerbu Benteng Belanda, pada petang Jumat pukul 22. 00. Perlawanan sengit dari pasukan Belanda yang lebih siaga terjadi, ratusan peluru dan aneka penangkal dihantamkan kepada trio pejuang Manggopoh ini. Mereka akhirnya gugur di medan laga.

Sementara di pihak Belanda tidak diperoleh kata yang pasti berapa jumlah korban, ada yang mengatakan 10 orang ada juga yang bilang 6 orang, sebab saat itu pejuang Manggopoh mulai melarikan diri, karena kekuatan Belanda yang datang tidak seimbang dengan jumlah pejuang yang ada, selain itu, gerakan pejuang juga semakin terjepit oleh aksi-aksi musuh dalam selimut yang menjadi antek-antek Belanda. Jasad Tuanku Cik Padang dan dua pejuang lainnya yang tewas dikuburkan di belakang Kantor Kepala Penghulu Manggopoh. Negeri Manggopoh di bumi hanguskan dan dinyatakan sebagai negeri tertutup oleh Kolonial Belanda.
Kabar perang Manggopoh direspon cepat oleh Belanda, mulai dari Batavia hingga Komandan Sumatera. Hari Sabtu, 17 Juni 1908 Controliur dan Asisten Demang diintuksikan memanggil Kepala Penghulu Manggopoh yang kala itu dipegang oleh Malin, Bergelar Datuak Rajo Mandaro untuk dimintai pertanggungjawaban.

Pasca peristiwa itu, atas laporan kurir pemerintah Kolonial Belanda persembunyian para pejuang Manggopoh berhasil diketahui. Belanda menggelar patroli penangkapan. Mandeh Sitti bersama suaminya Rasyid Bagindo Magek tertangkap di atas pondok mereka di Muaro Anak Aia Palangkitangan. Majoali, Rabeb Bagindo Sidi dan Muhammad ditangkap di Muaro Anak Aia Tarung-tarung. Mereka dibawa ke Padang Tongga. Dalam kondisi terikat, Majoali tetap melawan, tali pengingatnya selalu saja lepas, segala usaha Belanda untuk menjahanamkannya tidak berhasil, karena Majoali kebal peluru. Majoali terus disiksa Belanda dan diseret-seret ratusan kilometer. Majoali akhirnya tewas dalam perjalanan karena kehausan dan meninggal di Padang Tongga. Rentetan penangkapan pejuang terus berlangsung. Di Gunung Antokan ditangkaplah Sutan Mangkuto, Sutan Marajo Dulah, dan Khalid Sidi Marah di tempat persembunyian mereka di Goa Batu Bendi.

Setelah didera berbagai hukuman dan siksaan, dalam perjalanan pulang ke Manggopoh, bersama Penghulu Negeri Manggopoh, Sarif Haji Abuang, beserta Asisten Demang Lubuk Basung. Mandeh Sitti berusaha meminta bantuan Contriliur Pariaman agar dipertemukan dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek untuk berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang dibicarakan Mandeh Sitti dengan suaminya Rasyid Bagindo Magek kala itu, sebab Mandeh juga tidak mengungkapnya pada public maupun pejuang lainnya.

Sejumlah sesepuh adat dan orang-orang tua di Manggopoh ketika itu hanya melihat pasca peperangan dan penangkapan dirinya hingga pelepasan kembali. Setelah Indonesia merdeka, Inyiak Sitti juga seperti mengalami depresi berat. Ia lebih memilih banyak diam ketimbang berbicara yang tidak penting-penting dengan orang sekitarnya. Termasuk ketika Jendral besar TNI Abdul Haris Nasution memasangkan selempang kebesaran di pundaknya. Nenek Sitti hanya senyum dan diam seribu bahasa. Sejumlah tokoh adat, saudara mara handai dan tolan Mandeh menggambarkan duka hati Mandeh karena kehilangan orang-orang yang dicintainya dan teman seperjuangan dengan bidal berikut; “Jarek di tanah taban, si mantuang di parik putuih indak ka manjulai lai. Tanam Anjalai jo jiluang, tampek bapijak nan lah taban, tampek bagantuang nanlah putuih, indak kama badan manggapai lai, tatumbuak dibadan den surang.

Hingga akhir hayatnya, janji yang pernah diucapkan Jendral Besar Nasution untuk menjadikan Mandeh Pahlawan Nasional juga belum terealisasi, dan puluhan tahun hingga 2009 ini. Belum juga. Bahkan dimasa tuanya dulu, Mandeh pernah menerima uang pensiun dari pemerintah RI, namun entah kenapa, tiba-tiba terputus di tengah jalan.

Sejarah tetaplah sejarah, hingga kini perjuangan Mandeh akan terus dikenang dan anak cucu dan generasi para pejuang Manggopoh lainnya yang telah banyak pula besar dirantau dengan perjuangan dan karya mereka masing-masing, meski tidak pernah berjumpa dengan sosok Mandeh, Singa Betina dari Manggopoh itu, sebuah harapan tertanam di sanubari generasi, janganlah bentuk opini dan cerita yang tidak-tidak tentang perjuangan Mandeh atau mengubah sejarah yang telah ternukil di jiwa-jiwa warga Manggopoh dengan tujuan dan alasan apapun, atau malah membelokkan sejarah atas nama kepentingan kelompok dan golongan, atau malah memanfaatkan sejarah Mandeh untuk guna mendulang kebesaran-kebesaran susulan yang telah diraih. Pastinya dari masa ke masa. Selagi darah masih ada yang mewarisi, juru cerita-juru cerita dan perekam sejarah itu akan tetap ada, akan tetap hidup dan tidak akan berbelok. Cukuplah Allah Taala saja saksinya sebab “Titisan binasa kalau lapuk, Janji Binasa kalau mungkir,”****

Disarikan Kembali dari Hj Nurali Tanjung (89 tahun)
Istri Veteran Kemerdekaan RI Kab Agam, Alm (Purn) TNI Kamarudin Sutan

© dr. Rahmi Salbi Ikhwan

Catatan kiriman dari : Rahmi Salbi Ikhwan,
salah seorang keturunan tokoh H. Abdul Manan yang sekarang bermukim di Riau dan cucu dari Hj. Nurali Tanjung



Selengkapnya...

��
22.18 | Posted in ,

Setuju atau tidak, proses transformasi nilai dan budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan. Melalui pendidikan dilakukan suatu aktifitas pentransformasian atau penurunan kebudayaan. Dengan sendirinya akan meretas segala bentuk ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya. Masyarakat yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang berbudi.

Berbicara tentang budaya, di Minangkabau tidak akan bisa lepas dari membicarakan adat, syarak dan seni. Pada kata adat mengandung kearifan, terkait habbluminannas. Karena adat merupakan strata yang menata hidup dan kehidupan suatu masyarakat dalam bingkai humanisasi atau kemanusiaan. Dengan adat masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang memiliki landasan dan pijakan dalam mengeksisitensikan diri di tengah kehidupan bersosial.

Strata-strata adat manata dan memanajemen baik secara pribadi maupun secara kolektif di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga adanya suatu rasa untuk menghargai keberadaan orang lain. Pengaplikasian ini salah satunya dengan menjalankan suatu aturan dalam berkomunukasi dan berinteraksi yang sopan. Dengan menggunakan kata yang empat:

Satu, kata mendatar yaitu bahasa yang dipilih dan digunakan untuk berkomunikasi dengan seusia. Dua, kata mendaki, merupakan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih tinggi atau orang dihargai seperti kepada seorang guru. Tiga, kata menurun, penggunaan bahasa yang sopan dan penuh kasih sayang kepada seseorang yang usianya lebih kecil. Empat, kata melereng, digunakan dalam berkomunikasi antara orang yang saling menghargai. Seperti pilihan kata yang digunakan seorang mertua kepada menantunya.

Jika transformasi nilai-nilai ini berlaku dengan baik dalam masyarakat Minangkabau, diharap mampu teraplikasi dengan ideal. Tentunya tidak akan ada kesenjangan dan ketidakarifan dalam kehidupan masyarakat. Maka transformasi adat yang dilakukan oleh golongan tua (baca: guru) kepada generasi muda bisa dikatakan berhasil.

Sementara itu syarak menekankan kepada pengimplementasian hubungan yang bersifat vertikal habblumminallah. Syarak menata menusia dalam menjalankan agama. Sebagai bentuk suatu proses menuju jalan kebenaran yaitu jalan Allah. Kebenaran-kebenaran syarak ditarik dari kitabullah dan sunatullah. Pada proses pengaktualisasian nilai-nilai dari syarak pada dasarnya tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan suatu perubahan. Karena kebenaran dari syarak itu bersifat mutlak karena diturunkan lansung oleh Allah SWT.

Namun yang akan menjadi perhatian bagi masyarakat Minangkabau yaitu yang terkait dengan suatu aktifitas syarak yang sifatnya berjamaah. Seperi shalat berjamaah, penyelanggaraan jenazah dll. Tetapi syarak yang terkait dengan ritual keagaan yang bersifat pribadi, itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pribadi pula terhadap Ilahirobbi.

Di dalam melakukan proses transpormasi adat dan syarak di Minangkabau lebih banyak dilakukan di surau. Surau sebagai salah satu tempat yang menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, memiliki suatu sistem yang tidak kaku. Sehingga di surau tidak hanya mempelajari agama (syarak) dan adat. Lebih dari itu, surau juga merupakan salah satu sarana tempat berkesenian. Para guru di surau tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun ia adalah seorang pendidik.

Generasi muda di bentuk menjadi generasi islami yang sopan dan tangguh. Keislamian seorang murid diperoleh melalui proses dari pemerolehan pengetahuan tentang agama yang kemudian mampu di jiwanya dan diimplementasikan dalam keseharian.

Terkait dengan kata dan makna “tangguh” di atas, lahir dari pemikiran bahwa sebagai generasi Minangkabau terutama laki-laki dituntut mampu menguasai seni tradisi silat. Pemilihan kata tangguh bukan hanya karena silat merupakan suatu seni bela diri yang bersifat pertarungan fisik. Namun pada silat menyimpan suatu kearifan roh kelektif. Karena silat tidak hanya terkait tentang pergulatan realitas fisikli. Sebagai roh kolektif, silat merupakan seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, perlindungan diri. Ia sebagai sarana dalam berhubungan dengan orang lain. Silat sangat menjunjung tinggi falsafah sosiokultural dan kolektif dalam bersopan santun.

Generasi muda (baca: murid) tidak hanya dilatih untuk mampu bersilat secara fisikli. Namun ia juga dibekali dengan dua silat lainnya yaitu bersilat lidah dan bersilat batin. Pada dasarnya katiga silat ini merupakan satu kesatuan yang utuh, ia merupakan lingkaran setan yang seharusnya tidak terputus. Dengan penguasaan dari ketiga silat inilah yang akan melahirkan adanya silaturrahmi dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Dengan berfungsinya surau sebagai salah satu sarana transpormasi syarak dan seni di Minangkabau tradisional telah melahirkan generasi islami, berbudi dan tangguh. Hal ini tentunya merupakan suatu bentuk dari keberhasilan proses transpormasi pendidikan di Minangkabau tradisional. Keberhasilan yang ideal itu ternyata telah tertinggalkan jauh. Adanya perubahan-perubahan yang bersifat adopsi dan adaptif telah memudarkan pemahaman masyarakat terhadap adat, syarak dan seninya sendiri. Kondisi ini telah menggiring masyarakat untuk menghindar dari jati dirinya sendiri.

Memahami kondisi seperti ini, arifnya tentu tidak menyalahkan apa siapa. Karena di tengah masyarakat kita telah mengenal dengan adigium: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah, nan aia ka hilia juo. Sakali balega gadang, sakali aturan batuka, nan adaik baitu juo.” Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh menutup mata atas akan terjadinya perubahan-perubahan dalam menjalankan kehidupan.

Karena banyaknya pengaruh-pengaruh dari luar. Namun betapapun besarnya pengaruh itu dan betapapun besarnya akibat yang ditimbulkan pengaruh itu. Seperti adanya perubahan dalam menjalankan suatu sistem. Namun jati diri Minangkabau tidak akan pernah pudar apalagi hilang.

Kondisi inilah sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini. Di mana adanya pergeseran-pergeseran pemahaman dari nilai-nilai kebudayaan yang berdampak kepada pergeseran aktualisasi kebudayaan. Tetapi adat Miangkabau yang ideal tidak akan pernah berubah “nan adaik Baitu juo”. Jadi, bagaimanapun kondisi keberbudayaannya masyarakat Minangkabau saat ini itu merupakan kesenjangan masyarakat dalam mengaplikasikan hidup berbudaya. Bukan karena adanya perubahan di dalam adat. Tetapi perubahan dalam menjalankannya.

Sebagai manusia yang berfikir, masyarakat Minangkabau tentu tidak akan bisa menghindar dari segala bentuk perubahan, karena manusia dan kebudayaan itu bersifat dinamis. Ketidak mampuan manyaring budaya (filterisasi kultural) yang ditawarkan oleh budaya luar lah yang menimbulkan degradasi dan kepudaran implementasi adat, syarak dan seni di Minangkabau.

Satu wacana yang sangat positif tentunya atas kegencaran masyarakat Minangkabau dalam mempertanyakan, mendiskusikan dalam seminar-seminar, mengkritik, bahkan mencaci (barangkali) dari keeksistensian budaya Minangkabau saat ini. Semua bentuk ekspresi dari gejolak-gejolak ini merupakan suatu bentuk adanya perhatian dan kepedulian atas kehidupan budaya Minangkabau tersebut dari masyarakatnya saat ini. Semakin banyak masyarakat yang memperhatikan keeksistensian budaya ini berati semakin adanya kegamangan masyarakat atas ketertimbunan budaya Minangkabau (syarak, adar, seni) atas moral modernisme yang negatif.

Dengan meminjam bahasanya Musa Ismail saya mencoba mengangkat batang tarandam dengan “memartabatkan” budaya Minangkabau. Kata dan makna “memertabatkan” bukan berarti selama ini budaya Minangkabau itu tidak bermartabat. Yang namanya konsep budaya Miangkabau akan tetap seperti apa adanya. Namun yang menjadi pemikiran di sini adalah sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini tidak lagi mengeksistensikan diri sepenuhnya dalam kancah budaya. Sehingga melahirkan suatu budaya baru yang merupakan hasil dari kolaborasi budaya yang tendensius dengan budaya modern.

Pada dasarnya kolaborasi ini kemudian melahirkan budaya kontemporer akan menjadi perfek bila masyarakat Minangkabau mampu memilih nilai-nilai yang positif tanpa menyingkirkan ” memarjinalkan” budaya sendiri. Dahan boleh berganti, asal akar tetap menghujam bumi. Maka itulah yang di sebut dengan jati diri.

Sumber : http://www.minangforum.com


Selengkapnya...

��
21.51 | Posted in ,

Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finansial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.

Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar selebaran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerintah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.

Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.

Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu.

Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk mempersiapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.

© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


Selengkapnya...

��
22.03 | Posted in , ,

1. Pendahuluan

Dewasa ini, tema pluralisme multietnik hampir mendominasi pertemuan ilmiah bidang sosial budaya. Dengan demikian mengangkat kembali tema agama dan adat tidak layak lagi dicap sebagai menegakkan benang basah. Namun sebagai agama dan etnisitas, ia tetap saja dipandang sebelah mata, khususnya oleh yang beragama lain dan berpandangan modernisasi. Maka budaya Minangkabau (indigenous cultural heritage) dan agama sebagai kekayaan dan ciri khas masyarakat Sumatra Barat perlu dijelaskan betapa ia tetap aktual dalam perjalanan hidup manusia dan masyarakat modern. Ajaran Islam adalah pandangan dan jalan hidup (philosophy and way of live) yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta alam dan manusia yang lebih tahu tentang makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Di antara pandangan Islam terhadap manusia sebagai ajaran (teologis) adalah bahwa manusia merupakan makhluk fisik, ruhaniah, rasional, sosial, dan bertuhan kepada Allah. Pandangan secara teologis ini biasa saja berbeda, bahkan berlawanan dengan Islam secara sosiologis, seperti berbagai aliran eksekutif yang ditemukan dalam fenomena sosial dan sejarah Islam (Agus 2003).

Tetapi kalau dipelajari agama dan adat dari segi ajaran agama, dari segi ideal, das sollen, segi teologis, ia sebenarnya merupakan kebutuhan manusia dan penting untuk dapat mempertahankan manusia sebagai manusia dan masyarakat yang bermakna dan bermartabat. Tanpa ajaran Islam dan adat Minangkabau yang menekankan pentingnya berjamaah, berkeluarga, seiya setida, dan berpedoman kepada agama, manusia Minang bisa saja berubah menjadi ibarat pasir di tepi pantai, ibarat buih di atas air bah, seperti hewan, bahkan lebih hina daripadanya, tidak berubah menjadi malaikat.

Makalah ini melihat agama, khususnya Islam, dan budaya Minangkabau sebagai potensi konstruktif. Islam dari segi ajaran bertujuan untuk menciptakan “kerahmatan bagi segenap penghuni alam semesta” (Q.S. al-Anbiya`: 207). Di samping itu juga ia merupakan kebutuhan manusia.

2. Islam dan Budaya Minang Dalam Cita

Islam dalam makalah ini harus dibedakan antara Islam sebagai ajaran (Islam teologis) dan Islam sebagai realita sosial (Islam sosiologis). Pembicaraan Islam dalam cita adalah Islam sebagai ajaran dari Allah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh penafsiran sepihak. Islam sosiologis adalah sebenarnya kondisi realita umat Islam yang biasa dan bisa saja berbeda seperti siang dan malam dengan ajaran Islam (Agus 2003).

Yang dimaksud dengan budaya Minangkabau dalam makalah ini adalah pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan bermasyarakat. Ajaran tentang moral dan prinsip kehidupan diambil dan dikemukakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala alam dan kehidupan. Pandangan hidup seperti roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah; pakailah ilmu padi, makin berisi makin runduk; bersifatlah mampu menyesuaikan diri di mana pun berada, tiba di kandang kambing membebek, tiba di kandang kerbau menguek; musyawarah untuk mufakat seperti kayu bersilang dalam tungku untuk memasak sesuatu adalah contoh pandangan hidup dan sifat yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan masyarakat lebah, pembagian tersebut makin jelas. Ada yang berfungsi seperti ratu (agaknyo bundo kanduang); ada yang berfungsi sebagai pekerja, ada yang berfungsi sebagai tentara dan seterusnya. Pelajaran dari masyarakat lebah juga selalu memberi manfaat kepada manusia, tetapi jangan diganggu.

Di Minangkabau pemahaman dan pelajaran yang diambil dari gejala alam dan kehidupan makhluk ini dikenal dengan alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru adalah suatu metode untuk mengembangkan aturan bermasyarakat yang sejalan dengan hukum alam dan kehidupan. Untuk memahami gejala alam itu digunakan semua potensi yang dimiliki manusia, yaitu pengamatan pancaindera, pemikiran otak, rasa dan hati nurani. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki ini dikenal dengan raso jo pareso. Dengan demikian masyarakat Minang tidak terjebak kepada kecenderungan memberdayakan hanya pada salah satu potensi tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang adatnya dicetuskan oleh Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan Sabatang tidak menolak kedatangan agama-agama besar dunia. Sebelum Islam datang, Hindu dan Budha pernah berkembang dan menjadi pandangan hidup dan budaya masyarakat. Diterimanya agama Hindu dan Budha karena prinsip sumber daya yang dimiliki dan akan diberdayakan tidak demikian kontradiktis dengan sumber daya manusia menurut adat Minangkabau. Raso jo pareso adalah daya spiritual. Sopan santun dan perilaku baik terhadap orang lain juga sama-sama mendapat perhatian dari adat Minangkabau dan agama Hindu Budha.

Dengan kedatangan agama Islam, orang juga dapat menerimanya walaupun tradisi dan kepercayaan animisme dan adat-adat yang tidak baik tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, berjudi, dan meminum minuman keras tetap berlangsung. Sebenarnya perilaku menyabung ayam, judi dan minuman keras, menurut hemat penulis, tidaklah termasuk adat Minangkabau. Itu hanya perilaku menyimpang dari masyarakat (deviant). Akal sehat, hati nurani, raso jo pareso, dan alam takambang mengajarkan perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Proses Islamisasi tidak berjalan mulus. Namun Islam sebagai indetitas etnis semakin kuat, apalagi setelah perang Paderi. Adat basandi syara` syara` basandi kitabullah ( ABSSBK) telah menjadi identitas etnis suku Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau tidak merombak semua nilai, pandangan dan prinsip hidup masyarakat. Pandangan dan nilai luhur kehidupan tetap dipelihara. Perilaku menyimpang memang ditentang. Islam memperkukuh prinsip alam takambang jadi guru. Kecendrungan dalam gejala alam (yang dalam dunia ilmiah dinamakan teori) dan hukum alam dan kehidupan manusia, oleh Islam dinamakan sunnatullah atau ayat-ayat Allah.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ditukar dengan kepercayaan kepada makhluk gaib seperti jin dan iblis, tetapi semuanya itu tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat bagi yang punya keimanan yang kuat kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tanggung jawab Mamak dan Kemenakan diperkuat dengan tanggung jawab ayah kepada anak. Matriarkhat Minangkabau diperkuat dan diperdalam dengan patriarkhat yang dibawa oleh dari Islam sehingga kekerabatan dalam praktek menjurus kepada bilateral. Maka, Islam sebagaimana juga ideologi dan budaya pendatang lainnya, mula-mula dicurigai dan dimusuhi, kemudian ditolerir, dan akhirnya diterima dan disepakati untuk diintegrasikan dengan adat sehingga sampai kepada adagium ABSSBK.
Adat dan budaya yang mementingkan alam takambang jadi guru serta sopan santun sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (tahu kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng) pada hakekatnya adalah pandangan pentingnya memperdayakan pancaindera, akal, dan perasaan serta hati nurani dalam memahami alam dan kehidupan.

Pemberdayaan potensi-potensi manusia ini diperkokoh oleh Islam. Islam menyuruh menggunakan mata, telinga dan mata hati (qulub) serta menyuruh menggunakan pedoman yang berupa agama dan petunjuk Allah untuk umat manusia. Petunjuk Allah yang dinamakan agama itu mementingkan keyakinan (iman, aqidah), perilaku nyata sehari-hari (syari`ah), perasaan ruhaniah (tasauf), dan pemahaman otak tentang segala yang dihadapi. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan terpadu (tauhid) yang diajarkan oleh Islam agama Allah ini (Agus 1993). Pedoman dan pendekatan wahyu penting diperhatikan supaya sumber daya manusia jangan tergelincir kepada yang membinasakan manusia dan alam lingkungannya.

Pandangan materialisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan nihilisme dilahirkan oleh otak manusia yang tidak mau lagi memperhatikan petunjuk wahyu dan agama, bahkan daya yang dimiliki manusia sendiri, yaitu hati nurani dan perasaan luhur. ABSSBK merupkan political will yang kalau diterapkan akan punya daya fleksibilitas dan dinamis serta prinsip-prinsip yang akan menjamin eksitensi manusia tetap sebagai manusia, yaitu makhluk yang bermoral dan regelius. Pengitegrasian ini penting diperdayakan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern dan arus globalisasi.

3. Agama dan Masyarakat Minang dan Realita

Dewasa ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial adalah
keyakinan-keyakinan yang dianut secara fanatik (Agus, 2003: 68-72). Agama dan etnisitas, termasuk Islam dan budaya Minang, secara sosiologis, dianut secara fanatik. Kefanatikan itu akan terlihat dari indikasi kalau ada yang menyinggung sesuatu yang difanatiki itu, pemiliknya akan melakukan tindakan anarkis. Agama ada yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan anarkis dan teror. Oleh karena itu, agama atau sesuatu yang di”agama”kan mengandung potensi konstruktif dan juga destruktif. Karena hanya potensi, tenaga atau semangat, maka terserah kepada masyarakat pengemban kedua potensi itu, apakah akan dipergunakan kepada yang konstruktif atau destruktif. Teori dan teknologi atom misalnya dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat pula untuk dijadikan bom yang telah menghancurkan. Ke arah yang mana akan digunakan potensi itu tergantung kepada manusia yang memilikinya, dan dalam hal agama dan etnisitas, tergantung kepada kelompok pengemban keyakinan tersebut dan juga perlakuan kelompok lain penganut “agama” yang bersangkutan.

Kalau kelompok lain memperbuat sesuatu yang menyinggung kehormatan penganut agama dan etnis tertentu, tentu potensi konstruktif itu akan segera berubah menjadi potensi “destruktif “. Di samping itu baik agama Islam maupun budaya Minang, kalau dilihat sebagai fenomena sosial (das sein) dewasa ini memang tidak layak dibawa ke tengah. Mengangkatnya dalam forum nasional, apalagi dalam forum internasional, ibarat menegakkan benang basah. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatra Barat, sudah lebih rendah kualitas sumber daya manusianya dari bangsa Vietnam sekalipun. Korupsi makin membudaya di Indonesia, termasuk di Sumatra Barat. Trust dan sumber daya sosial sebagai prasyarat bagi kebangkitan bangsa dan suku bangsa (Fukuyama, 1995) tidak dimiliki lagi.

4. Tantangan Modernisme Global

Walaupun seminar dan pertemuan ilmiah dewasa ini punya tema dikaitkan dengan multikultural, namun modernisme masih tetap mendominasi dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi, kekuasaan ekonomi dan politik, modernisme terlebih dahulu harus disadari bahwa modernisasi berbeda dengan modern. Bangsa Indonesia, termasuk orang Minang harus menjadi bangsa dan suku bangsa yang modern, tetapi tidak boleh terjerumus ke dalam modernisme. Bangsa yang modern menghasilkan dan memanfaatkan temuan teknologi modern untuk kesejahteraan hidup bangsa. Bangsa Indonesia dan orang Minang harus menggunakan jasa pesawat terbang, mobil, satelit, internet dan kemudahan lain dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kesejahteraan dan rahmatan lil`alamin.

Kecenderungan memperhatikan hanya satu aspek kehidupan pernah digagas oleh para pemikir, seperti pandangan hidup rasionalisme, empirisme, materialisme, spiritualisme, individualisme, dan sosialisme. Dominasi salah satu aliran filsafat tentang daya apa yang harus diutamakan dalam memahami sesuatu di Barat mengakibatkan daya yang berasal dari luar manusia, seperti wahyu dan ajaran Tuhan, tidak dipercayai. Ajaran yang berasal dan wahyu yang berkembang di tengah masyarakat dianggap sebagai hanya dakwaan pembawa dan alat untuk memperkokoh legitimasi.

Pandangan yang hanya menggunakan sumber daya manusia dan menolak segala yang berasal dari luar diri manusia berkembang di Barat dengan semangat Renaissans mulai abad ke-14 sampai dewasa ini menjadi ideologi sekuler. Sekularisme yang juga diperkuat dengan materialisme dan rasionalisme berkembang di seantaro dunia sampai dewasa ini. Di kalangan masyarakat Minangkabau pandangan hidup sekuler tidak dapat diterima secara prinsip. Barat menolak memberdayakan potensi hati nurani yang cenderung mengakui keberadaan manusia dan manusia butuh kepada bimbingan, petunjuk, dorongan semangat dan kasih sayang-Nya.

Hati nurani dikenal juga dengan potensi ruh yang menurut surat as-Sajdah ayat 7-9, adalah bagian dari ruh Allah yang mampu ditiupkan-Nya kepada janin setelah fisik janin terbentuk. Karena itu mata hati mampu melihat Tuhan dan kebesaran-Nya. Tetapi Barat dengan semangat renaissansnya menolak ajaran yang bersumber dari luar diri manusia tersebut. Jadilah manusia sebagai konseptor, aktor dan tujuan kehidupan sekaligus. Renaissans adalah antroposentrisme.

Sekularisme dengan materialismenya telah mengakibatkan berbagai krisis sosial dan lingkungan. Kegersangan nilai-nilai spiritual telah menjangkit masyarakat sekuler. Berkembangnya berbagai aliran acultisme, bahkan yang tidak lagi rasional seperti The San Temples dan the People Temples di masyarakat yang dianggap termaju di dunia, seperti Amerika, adalah konsekwensi logis dari masyarakat yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dalam menatap hidup yang makin kompleks ini. Gejala bunuh diri sebagai kekecewaan dan kehilangan pegangan yang sangat mendalam dalam kehidupan ini adalah fenomena sosial masyarakat maju yang sekuler itu. Runtuhnya institusi keluarga juga konsekwensi logis dari individualisme dan emansipasi yang kebablasan. Krisis ekologi dan pencemaran lingkungan adalah resiko yang harus diterima dari materialisme yang sudah lepas dari kendali agama.

Sedangkan modernisme adalah paham yang ingin berprinsip bahwa agama dan nilai-niali budaya lain tidak layak lagi dipakai untuk pembangunan sosial. Manusia harus bangkit dengan kemampuan otak dan otot (fisik, materinya) dengan meninggalkan segala campur tangan lain, seperti agama, tradisi dan doktrin-doktrin lainnya dalam mengelola masyarakat. Untuk itu sekulerisme, positivisme ilmiah, ekonomi pasar bebas, demokrasi kuantitatif, liberalisme, materialisme, individualisme dan hedonisme adalah perangkat penting untuk mendukung prinsip modernisme. Sebagai ideologi modemisme, ia diperjuangkan untuk diterima di dunia dengan berbagai macam negara dan budayanya. Oleh karena itu, modernisme dikritik oleh posmodernisme sebagai ideologi yang bersifat imperialis dan kolonialis. Dengan daya otak dan materi yang kuat sehingga menjadi negara adidaya, modernisme yang dimotori oleh Amerika telah menjadi beringas dan mengabaikan tatakrama kehidupan bersama dalam dunia internasional. Kebringasan Amerika akhir-akhir ini di lrak dan Afganistan, dan hegemoni budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuannya di negara-negara lain adalah bukti-bukti yang menguatkan tesis yang dikemukakan oleh Huntington (1996).

Dalam era globalisasi seperti dewasa ini terlihat dominasi budaya modernisme yang dimotori oleh Amerika dengan perangkat pasar bebas, demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), positivisme ilmiah, sekularisme dan liberalisme moralnya. HAM berpandangan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dalam menikmati hak-hak asasinya berdasarkan perbedaan agama, suku, suku bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Sedangkan agama dan adat dinilai membatasi banyak kebebasan manusia. Ini berarti bahwa arus modernisme yang bersifat kolonialisme itu tidak pluralis. Pluralisme sejalan dengan posmodernisme. Dengan lembaga internasional dan penguasaan teknologi dan komunikasi, modernisme masih dominan walau pun dalam pertemuan ilmiah dan wacana pemikiran pluralisme atau posmodernisme telah menjadi tema seminar dewasa ini.

Pemikiran modernisme makin mencemaskan perkawinan antar agama dan etnisitas. Perkawinan tersebut digembar-gemborkan akan memperjauh dan HAM, demokratisasi dan inklusifisme dan akan mempersubur gerakan “teroris” yang diperhalus dengan istilah fundamentalisme, ekslusifisme atau primordialisme. Pengalaman bangsa Indonesia yang terpecah-pecah setelah reformasi, sukuisme dan agama bangkit kembali dan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan, seperti kasus Ambon, Poso, dan Kalimantan Tengah.

Postmodernisme memperjuangkan diberinya kesempatan kepada setiap budaya, ideologi, dan agama suatu masyarakat untuk mengembangkan sistem politik, ekonomi, budaya dan bahkan pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan aspirasi politik, ideologi, budaya dan agama masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986). Maka postmodernisme mendukung multi kultural, sementara modernisme bersifat kolonial yang dilancarkan secara halus sehingga meminjam ungkapan Malik bin Nabi (1969: 206-208), bangsa terkebelakang itu pula sekarang yang bermental layak untuk dijajah, yang minta-minta untuk dijajah (al-qabiliyah li al-isti`mar), seperti selalu mengharapkan kucuran dana hutang setiap tahun.

Islam dan budaya Minang jelas menentang paham sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme. Umat dan suku bangsa yang memegang suatu norma moral, sistem hukum, tata kehidupan bersama, seperti tidak boleh murtad, pamer aurat, free-sex dituduh sebagai bangsa yang tidak menghormati hal-hak asasi manusia. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan individu, sedangkan komunits tidak diberi hak untuk menentukan aturan untuk mereka sendiri. Tetapi kehidupan manusia memang unik. Di tengah-tengah deru modernisme, individualisme, sekularisme dan bahkan materialisme itu, timbul pula kerinduan kembali kepada identitas kelompok, kepada spiritualisme dan agama.

Naissbit dan Aburdene mengungkap hal ini sebagai salah satu dan megatrends (Naissbit dan Aburdene 1990). Indonesia setealah 32 tahun berada dalam rezim “asas tunggal” dan sentralisasi berubah menjadi dijangkit demam promordialisme. Etnik, kelompok, agama, daerah kembali bersuara lantang, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan kelompok lain. Di skala intemasional dan Barat sendiri, pandangan modernisme yang mendesak segala yang dianggap primordialisme juga mendapat tantangan serius. Posmodernisme kembali menghidupkan segala macam primordialisme. Kelompok, etnik, ideologi, agama, ras, jenis, kelamin harus mendapatkan hak untuk menghayati kehidupan dengan cara pandang dan keyakinan mereka masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

5. Islam dan Budaya Minang untuk Menghadapi Tantangan Modernisme

Ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen dan lainnya, tidak terlepas dari interprestasi yang ditonjolkan pada suatu periode tertentu oleh pemukanya. Ajaran Calvin, misalnya dinilai oleh Weber sebagai penggerak berkembangnya etos kerja yang menumbuhkan kapitalisme (Weber, 1958), berbeda dengan ajaran Katolik Roma zaman tengah yang dinilai sebagai penyebab keterbelakangan dunia Barat. Demikian juga perkembangan Islam di zaman klasik yang melahirkan sejumlah ilmuwan dan filusuf tentu tidak terlepas dari teologi yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi inklusif, bersedia menerima kebenaran dan manapun datangnya (al-Badawi, 1965). Kemunduran Islam sesudahnya mulai abad ke 13 M/8 H juga tidak terlepas dari interprestasi ajaran agama yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi fataistis, budaya sufistik, dan ketertutupan, taklid, atau ekslusif (lihat Hourani, 1962 dan Amin, 1971).

Untuk meningkatkan kualitas kerja dan profesionalisme, dakwah, studi danpendidikan agama perlu ditekankan pada teologi yang dalam ajaran Islam dinamakan dengan ihsan. Perlu diungkapkan menjadi aqidah, iman, keyakinan atau teologi, yaitu bahwa bekerja dengan kualitas baik, teliti, bagus, berdaya guna lebih luas harus dimasyarakatkan sehingga menjadi aqidah, teologi atau komitmen setiap pribadi Muslim. Kemudian keyakinan keagamaan kepada makhluk gaib, akhirat dan lain-lainnya perlu dikembangkan dengan paradigma untuk meningkatkan kualitas amal dan karya di dunia ini, untuk mewujudkan rahmatan lil`alamin.

Pengertian dan konsep amal yang masih banyak dianggap sebagai kegiatan ritual dan sedekah amal harus ditingkatkan dalam pengertian segenap aktivitas sosio-kultural yang positif dan lainnya (pahalanya) terletak pada tinggi rendahnya kualitas kerja yang tergantung padanya kekuatan umat, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya. Kemudian
kedudukannya berubah menjadi kewajiban pribadi (fardhu `ain) bagi yang telah memilih salah satunya sebagai profesi dan bidang tugasnya.

Konsep-konsep tersebut adalah contoh-contoh yang memerlukan penggarapan baik oleh masyarakat, seperti melalui media massa, gerakan dakwah, maupun melalui political will, seperti beasiswa untuk studi teologi, alokasi dana pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang memadai untuk tujuan tersebut.

Efek lain dari kemajuan teknologi dan pesatnya kegiatan ekonomi dan produksi adalah bahwa manusia merasa dirinya hanya bagian atau bahkan pelayan dari mesin-mesin. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan antara satu sama lain semakin tipis karena telah diperenteng oleh alat komunikasi canggih. Manusia merasa kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang kreatif, punya harga diri, berarti, dan makin tidak merasakan hubungan sosial yang ikhlas. Manusia modern hidup teralienasi, mengidap anomali atau anomi.

Keberingasan massa, terorisme, kriminalitas, menjadi pecandu obat bius dan ekstasi, menjamurnya kelompok meditasi dan ajaran “agama” yang aneh-aneh (cults), adalah konsekwensi dari manusia yang telah kehilangan jatidiri dan nilai-nilai spiritual. Karena kegersangan spiritual ini Naisbitt dan Abuderne (1990: 270-297) meramalkan bahwa abad 21 juga merupakan abad kebangkitan agama, atau lebih tepat dikatakan dengan kebangkitan kelompok spiritual.

Maka agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat era globalsasi dan industry untuk dapat memberikan siraman dan melestarikan hubungan sosial. Roger Garaudy (1985), dari perjalanan hidup dan pemahamannya terhadap pemikiran di Eropa sebagai seorang yang pernah aktif dalam partai Komunis Prancis dan guru besar filsafat, berkesimpulan bahwa permasalahan manusia modern adalah putusnya hubungan dengan yang transendental dan hubungan sosial dan Islamlah yang mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Kemudian ciri lain dari masyarakat dunia dewasa ini adalah bahwa mereka mengkonsumsi sajian media komunikasi yang bermacam ragam. Dengan media cetak dan elektronik modern berbagai nilai, pendapat, gagasan, perilaku dan gaya hidup, disuguhkan dari segenap penjuru dunia tanpa batas. Dampak kemajuan media komunikasi ini jelas berpengaruh terhadap keyakinan dan ajaran agama yang selama ini atau seharusnya diyakini. Kemajuan media cetak dan elektronik ini mengakibatkan tumbunya relativisme nilai budaya dan agama.

Tidak adanya nilai dan hal-hal yang dipercayai dalam kehidupan seseorang menjadikan hidup dalam kebingungan, goncang, tidak ada pegangan, dan gelisah. Kalau gejala ini telah menimpa sebagian besar anggota masyarakat,masyarakat tersebut sudah rapuh, goyah atau keropos. Gejala banyak anggota masyarakat yang mengikuti berbagai macam aliran kebatinan, meditasi, pengobatan alternatif, berbagai cults, baik di Timur ataupun Barat seperti yang telah disinggung di atas menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya luhur.

Oleh karena salah satu ciri beragama adalah bahwa nilai dan ajarannya dipercayai sebagai mutlak benar, maka memupuk keyakinan beragama setelah diadakan penafsiran yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam pendekatan dakwah dan pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelamatkan manusia yang sudah kehilangan pegangan hidup akibat telah digoncang oleh suguhan media kommikasi modern yang kontradiktif.

Masalah yang menjangkiti masyarakat modern yang rasional ini adalah mengidap stres. Stres menjangkiti kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, di masyarakat, dan di rumah tangga. Kegagalan dalam mencapai banyak hal juga mengakibatkan stres. Konflik antar individu dan antar kelompok juga mengakibatkan stres. Stres juga menurunkan kondisi kesehatan fisik.
Tetapi dengan iman kepada takdir Allah terhadap segala yang telah dialami membantu untuk tidak terlalu stres menghadapi hambatan, konflik dan kegagalan. Dengan iman kepada takdir yang diajarkan Islam, kita juga tidak terlalu cemas menghadapi masa depan dan siap mental menghadapi segala macam resiko.

6. Kesimpulan

Kehidupan yang didominasi modernisme menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Manusia membutuhkan materi, kepuasan spiritual, perhatian, ketenangan, penjelasan rasional, keyakinan dan kepastian hidup, kiat menghadapi persoalan dan kegagalan, hubungan sosial yang baik dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. Tidak terisinya salah satu dan hubungan tersebut akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan. Pandangan modernisme tentang kehidupan cenderung mementingkan salah satu atau beberapa saja dan kebutuhan tersebut dan mengabaikan yang lain. Maka sumber permasalahan adalah bahwa manusia modern tidak memiliki suatu keyakinan dan pandangan hidup yang dapat mengisi kebutuhan tersebut. Maka agama yang belum terlalu direduksi oleh pandangan manusia, serta budaya yang biasa dianggap tradisional, seperti budaya Minang, tetap diperlukan dalam kehidupan modern karena masih punya dimensi-dimensi yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

© Bustanuddin Agus
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
http://blogminangkabau.wordpress.com



Selengkapnya...

23.00 | Posted in , ,

Surau dan Madrasah di Minangkabau

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama

Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren

Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren

Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah

Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

��

Padang - Sebagai salah satu kawasan yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah air, terutama di pesisir Barat Sumatera, wilayah Sumatera Barat (Sumbar) terhitung kaya dengan berbagai peninggalan sejarah Islam. Selain beragam seni dan budaya Islam yang terus berkembang di daerah tersebut, sejumlah bangunan tua, seperti masjid-masjid, yang menjadi saksi perkembangan Islam di kawasan tersebut hingga kini masih dapat ditemui. Di samping Masjid Muhammadan di Pasa Batipuah, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Masjid Raya Ganting merupakan salah satu masjid tua di Kota Padang yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Dibandingkan masjid Muhammadan, usia Masjid Raya Ganting jauh lebih tua. Arsitektur Masjid Ganting merupakan perpaduan dari berbagai corak arsitektur karena pengerjaannya melibatkan beragam etnis seperti Belanda, Persia, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau. Bahan-bahannya dipilih yang bermutu tinggi. Untuk bahan kayu didatangkan dari Bangkinang, Riau (kayu Ulin), Kayu Rasak dari Indrapura, Pesisir Selatan dan Kayu Kapur dari Pasaman. Sedangkan seng, ubin, semennya didatangkan dari Eropa.

Cikal bakal masjid ini adalah sebuah surau dari kayu yang terletak tidak di lokasi itu pada 1700-an. Surau ini dibongkar karena terkena proyek jalan ke Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) yang dibuat Kolonial Belanda. Pada 1805 tiga pimpinan setempat, masing-masing seorang ulama, saudagar, dan pimpinan kampung di Ganting memusyawarahkan pendirian masjid. Mereka meminta bantuan saudagar-saudagar di Pasar Gadang (Padang Kota Lama) dan ulama tak hanya di Sumatra Barat, tapi hingga ke Sumatera Barat dan Aceh. Bantuan datang tak hanya dalam bentuk uang, tapi juga tenaga tukang ahli dari pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau). Selama lima tahun, masjid ini siap pada 1810 dengan bahan kayu, batu kali, bata, dengan pengikat kapur dicampur putih telur. Bangunan yang dibangun bangunan utama sekarang ini.

Periode kedua pada 1900 hingga 1910 adalah periode pemasangan tegel yang didatangkan dari Belanda dengan semen, serta pembuatan bagian depan masjid yang mirip dengan benteng spanyol. Dalam pembangunan ini bantuan tenaga juga datang dari Komandan Zeni (Militer Belanda). Periode ketiga pembuatan menara kiri-kanan masjid hingga siap pada 1967. Sementara itu, etnis Cina di bawah komando Kapten Lou Chian Ko (Kapten 10) ikut mengerahkantukang-tukang Cina untuk mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap Vihara Cina. Begitu juga Mihrab tempat dimana Imam memimpin shalat dan menyampaikan khutbahnya juga dibuat ukuran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dan kayu ukuran 4 yarm dan diberi ukiran Cina, tempat ini digunakan oleh bilal untuk mengulang aba-aba Imam sewaktu shalat berlangsung. Waktu itu, pengeras suara dan listrik belum dikenal. Hanya sayang kedua bangunan itu tahun 1974 dibongkar oleh pengurus masjid yang bertugas pada saat itu. Pada tahun 1803- 1819, ketika gerakan Ulama Padri mulai bangkit di Minangkabau, maka para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Ganting kala itu. Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap masjid tersebut.

Pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di Padang dan menimbulkan gelombang tsunami yang merambah sebagian besar Kota Padang. Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang selamat dan hantaman gelombang tsunami, Namun lantai batu Mesjid terpaksa diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung. Kini, masjid tua yang eksotis ini terdiri atas dua bagian besar yakni bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar Mesjid digunakan sebagai pelataran parkir, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar tamir. Sementara, bagian dalam masjid berupa ruang lepas tempat shalat, mihrab di bagian barat sekaligus sebagai penentu arah kiblat, serta terdapat 25 tiang penyangga. Tiang sebanyak itu melambangkan 25 nabi atau rasul yang wajib diimani yang nama-namanya terukir indah dalam tulisan kaligrafi yang ada dalam masjid tersebut. Sedangkan pada bagian luarnya terdiri dari pelataran parkir yang memadai, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar t’mir .

Tiang-tiang ini berfungsi sebagai penyangga balok-balok kayu untuk penahan lantai bagian atas bangunan kayu yang mirip pagoda. Tiang-tiang yang juga terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Bahkan balok-balok kayu hanya diletakkan di atasnya tanpa ikatan. Gempa 6,7 Scala Richter yang mengguncang Padang pada 10 April 2005 yang bersumber dari Kepulauan Mentawai meretakkan 15 tiang ini, bahkan satu di antaranya terjatuh sebagian puncaknya.

Tatanan atap Masjid Ganting berupa atap susun berundak-undak sebanyak 5 tingkat. Tingkat pertama bercorak tradisional segi empat mirip atap rumah adat tanpa gonjong. Sedangkan tingkat 2-4 berbentuk segi delapan seperti kelenteng. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Masjid ini mempunyai 8 pintu pada bagian dalam dan 17 buah jendela bergaya Persia. Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid turut memberikan andil. Selain lokasi pengembangan agama Islam di Sumatera, juga pernah dijadikan lokasi Jambore Hisbul Wathan se-Indonesia pada 1932, dijadikan lokasi rapat pemuda pejuang di zaman proklamasi dan revolusi 1945. Pada 1942, Ir. Soekarno, yang kelak menjadi presiden RI pertama pernah menginap di rumah di belakang masjid dan selalu shalat di masjid ini.

Sumber : http://www.bogabi.com


Selengkapnya...

Sumatra Barat terkenal dengan gudangnya para Ulama sebut saja Syech Yasin Al Padani dan Buya Hamka keduanya sosok ulama yang sangat mumpuni yang berasal dari Minang. Ada satu tokoh Ulama juga yang berasal dari Minang yaitu Syech Sulaiman Arrasuli.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan “Inyiak Canduang”. Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.

Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.

Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.

Perjuangan

Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.

Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia. Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan madzhab ini.

Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.

Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i. Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M).

Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.

Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, “Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”

Karya-karya

Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :
1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif

Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.

Pengaruh

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.

Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.

Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya

Sumber : Syaifullah Amin
http://www.nu.or.id

Selengkapnya...