Tampilkan postingan dengan label Surau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surau. Tampilkan semua postingan
22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


Selengkapnya...

��
23.00 | Posted in , ,

Surau dan Madrasah di Minangkabau

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama

Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren

Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren

Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah

Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

��