Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
22.18 | Posted in ,

Setuju atau tidak, proses transformasi nilai dan budaya itu dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan. Melalui pendidikan dilakukan suatu aktifitas pentransformasian atau penurunan kebudayaan. Dengan sendirinya akan meretas segala bentuk ketidaktahuan terhadap nilai-nilai budaya. Masyarakat yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang berbudi.

Berbicara tentang budaya, di Minangkabau tidak akan bisa lepas dari membicarakan adat, syarak dan seni. Pada kata adat mengandung kearifan, terkait habbluminannas. Karena adat merupakan strata yang menata hidup dan kehidupan suatu masyarakat dalam bingkai humanisasi atau kemanusiaan. Dengan adat masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang memiliki landasan dan pijakan dalam mengeksisitensikan diri di tengah kehidupan bersosial.

Strata-strata adat manata dan memanajemen baik secara pribadi maupun secara kolektif di tengah kehidupan bermasyarakat. Sehingga adanya suatu rasa untuk menghargai keberadaan orang lain. Pengaplikasian ini salah satunya dengan menjalankan suatu aturan dalam berkomunukasi dan berinteraksi yang sopan. Dengan menggunakan kata yang empat:

Satu, kata mendatar yaitu bahasa yang dipilih dan digunakan untuk berkomunikasi dengan seusia. Dua, kata mendaki, merupakan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang usianya lebih tinggi atau orang dihargai seperti kepada seorang guru. Tiga, kata menurun, penggunaan bahasa yang sopan dan penuh kasih sayang kepada seseorang yang usianya lebih kecil. Empat, kata melereng, digunakan dalam berkomunikasi antara orang yang saling menghargai. Seperti pilihan kata yang digunakan seorang mertua kepada menantunya.

Jika transformasi nilai-nilai ini berlaku dengan baik dalam masyarakat Minangkabau, diharap mampu teraplikasi dengan ideal. Tentunya tidak akan ada kesenjangan dan ketidakarifan dalam kehidupan masyarakat. Maka transformasi adat yang dilakukan oleh golongan tua (baca: guru) kepada generasi muda bisa dikatakan berhasil.

Sementara itu syarak menekankan kepada pengimplementasian hubungan yang bersifat vertikal habblumminallah. Syarak menata menusia dalam menjalankan agama. Sebagai bentuk suatu proses menuju jalan kebenaran yaitu jalan Allah. Kebenaran-kebenaran syarak ditarik dari kitabullah dan sunatullah. Pada proses pengaktualisasian nilai-nilai dari syarak pada dasarnya tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan suatu perubahan. Karena kebenaran dari syarak itu bersifat mutlak karena diturunkan lansung oleh Allah SWT.

Namun yang akan menjadi perhatian bagi masyarakat Minangkabau yaitu yang terkait dengan suatu aktifitas syarak yang sifatnya berjamaah. Seperi shalat berjamaah, penyelanggaraan jenazah dll. Tetapi syarak yang terkait dengan ritual keagaan yang bersifat pribadi, itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pribadi pula terhadap Ilahirobbi.

Di dalam melakukan proses transpormasi adat dan syarak di Minangkabau lebih banyak dilakukan di surau. Surau sebagai salah satu tempat yang menjadi pusat pendidikan di Minangkabau, memiliki suatu sistem yang tidak kaku. Sehingga di surau tidak hanya mempelajari agama (syarak) dan adat. Lebih dari itu, surau juga merupakan salah satu sarana tempat berkesenian. Para guru di surau tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun ia adalah seorang pendidik.

Generasi muda di bentuk menjadi generasi islami yang sopan dan tangguh. Keislamian seorang murid diperoleh melalui proses dari pemerolehan pengetahuan tentang agama yang kemudian mampu di jiwanya dan diimplementasikan dalam keseharian.

Terkait dengan kata dan makna “tangguh” di atas, lahir dari pemikiran bahwa sebagai generasi Minangkabau terutama laki-laki dituntut mampu menguasai seni tradisi silat. Pemilihan kata tangguh bukan hanya karena silat merupakan suatu seni bela diri yang bersifat pertarungan fisik. Namun pada silat menyimpan suatu kearifan roh kelektif. Karena silat tidak hanya terkait tentang pergulatan realitas fisikli. Sebagai roh kolektif, silat merupakan seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, perlindungan diri. Ia sebagai sarana dalam berhubungan dengan orang lain. Silat sangat menjunjung tinggi falsafah sosiokultural dan kolektif dalam bersopan santun.

Generasi muda (baca: murid) tidak hanya dilatih untuk mampu bersilat secara fisikli. Namun ia juga dibekali dengan dua silat lainnya yaitu bersilat lidah dan bersilat batin. Pada dasarnya katiga silat ini merupakan satu kesatuan yang utuh, ia merupakan lingkaran setan yang seharusnya tidak terputus. Dengan penguasaan dari ketiga silat inilah yang akan melahirkan adanya silaturrahmi dan saling menghargai di tengah masyarakat.

Dengan berfungsinya surau sebagai salah satu sarana transpormasi syarak dan seni di Minangkabau tradisional telah melahirkan generasi islami, berbudi dan tangguh. Hal ini tentunya merupakan suatu bentuk dari keberhasilan proses transpormasi pendidikan di Minangkabau tradisional. Keberhasilan yang ideal itu ternyata telah tertinggalkan jauh. Adanya perubahan-perubahan yang bersifat adopsi dan adaptif telah memudarkan pemahaman masyarakat terhadap adat, syarak dan seninya sendiri. Kondisi ini telah menggiring masyarakat untuk menghindar dari jati dirinya sendiri.

Memahami kondisi seperti ini, arifnya tentu tidak menyalahkan apa siapa. Karena di tengah masyarakat kita telah mengenal dengan adigium: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah, nan aia ka hilia juo. Sakali balega gadang, sakali aturan batuka, nan adaik baitu juo.” Maksudnya adalah bahwa kita tidak boleh menutup mata atas akan terjadinya perubahan-perubahan dalam menjalankan kehidupan.

Karena banyaknya pengaruh-pengaruh dari luar. Namun betapapun besarnya pengaruh itu dan betapapun besarnya akibat yang ditimbulkan pengaruh itu. Seperti adanya perubahan dalam menjalankan suatu sistem. Namun jati diri Minangkabau tidak akan pernah pudar apalagi hilang.

Kondisi inilah sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau saat ini. Di mana adanya pergeseran-pergeseran pemahaman dari nilai-nilai kebudayaan yang berdampak kepada pergeseran aktualisasi kebudayaan. Tetapi adat Miangkabau yang ideal tidak akan pernah berubah “nan adaik Baitu juo”. Jadi, bagaimanapun kondisi keberbudayaannya masyarakat Minangkabau saat ini itu merupakan kesenjangan masyarakat dalam mengaplikasikan hidup berbudaya. Bukan karena adanya perubahan di dalam adat. Tetapi perubahan dalam menjalankannya.

Sebagai manusia yang berfikir, masyarakat Minangkabau tentu tidak akan bisa menghindar dari segala bentuk perubahan, karena manusia dan kebudayaan itu bersifat dinamis. Ketidak mampuan manyaring budaya (filterisasi kultural) yang ditawarkan oleh budaya luar lah yang menimbulkan degradasi dan kepudaran implementasi adat, syarak dan seni di Minangkabau.

Satu wacana yang sangat positif tentunya atas kegencaran masyarakat Minangkabau dalam mempertanyakan, mendiskusikan dalam seminar-seminar, mengkritik, bahkan mencaci (barangkali) dari keeksistensian budaya Minangkabau saat ini. Semua bentuk ekspresi dari gejolak-gejolak ini merupakan suatu bentuk adanya perhatian dan kepedulian atas kehidupan budaya Minangkabau tersebut dari masyarakatnya saat ini. Semakin banyak masyarakat yang memperhatikan keeksistensian budaya ini berati semakin adanya kegamangan masyarakat atas ketertimbunan budaya Minangkabau (syarak, adar, seni) atas moral modernisme yang negatif.

Dengan meminjam bahasanya Musa Ismail saya mencoba mengangkat batang tarandam dengan “memartabatkan” budaya Minangkabau. Kata dan makna “memertabatkan” bukan berarti selama ini budaya Minangkabau itu tidak bermartabat. Yang namanya konsep budaya Miangkabau akan tetap seperti apa adanya. Namun yang menjadi pemikiran di sini adalah sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini tidak lagi mengeksistensikan diri sepenuhnya dalam kancah budaya. Sehingga melahirkan suatu budaya baru yang merupakan hasil dari kolaborasi budaya yang tendensius dengan budaya modern.

Pada dasarnya kolaborasi ini kemudian melahirkan budaya kontemporer akan menjadi perfek bila masyarakat Minangkabau mampu memilih nilai-nilai yang positif tanpa menyingkirkan ” memarjinalkan” budaya sendiri. Dahan boleh berganti, asal akar tetap menghujam bumi. Maka itulah yang di sebut dengan jati diri.

Sumber : http://www.minangforum.com


Selengkapnya...

��
22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


Selengkapnya...

��
22.03 | Posted in , ,

1. Pendahuluan

Dewasa ini, tema pluralisme multietnik hampir mendominasi pertemuan ilmiah bidang sosial budaya. Dengan demikian mengangkat kembali tema agama dan adat tidak layak lagi dicap sebagai menegakkan benang basah. Namun sebagai agama dan etnisitas, ia tetap saja dipandang sebelah mata, khususnya oleh yang beragama lain dan berpandangan modernisasi. Maka budaya Minangkabau (indigenous cultural heritage) dan agama sebagai kekayaan dan ciri khas masyarakat Sumatra Barat perlu dijelaskan betapa ia tetap aktual dalam perjalanan hidup manusia dan masyarakat modern. Ajaran Islam adalah pandangan dan jalan hidup (philosophy and way of live) yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta alam dan manusia yang lebih tahu tentang makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Di antara pandangan Islam terhadap manusia sebagai ajaran (teologis) adalah bahwa manusia merupakan makhluk fisik, ruhaniah, rasional, sosial, dan bertuhan kepada Allah. Pandangan secara teologis ini biasa saja berbeda, bahkan berlawanan dengan Islam secara sosiologis, seperti berbagai aliran eksekutif yang ditemukan dalam fenomena sosial dan sejarah Islam (Agus 2003).

Tetapi kalau dipelajari agama dan adat dari segi ajaran agama, dari segi ideal, das sollen, segi teologis, ia sebenarnya merupakan kebutuhan manusia dan penting untuk dapat mempertahankan manusia sebagai manusia dan masyarakat yang bermakna dan bermartabat. Tanpa ajaran Islam dan adat Minangkabau yang menekankan pentingnya berjamaah, berkeluarga, seiya setida, dan berpedoman kepada agama, manusia Minang bisa saja berubah menjadi ibarat pasir di tepi pantai, ibarat buih di atas air bah, seperti hewan, bahkan lebih hina daripadanya, tidak berubah menjadi malaikat.

Makalah ini melihat agama, khususnya Islam, dan budaya Minangkabau sebagai potensi konstruktif. Islam dari segi ajaran bertujuan untuk menciptakan “kerahmatan bagi segenap penghuni alam semesta” (Q.S. al-Anbiya`: 207). Di samping itu juga ia merupakan kebutuhan manusia.

2. Islam dan Budaya Minang Dalam Cita

Islam dalam makalah ini harus dibedakan antara Islam sebagai ajaran (Islam teologis) dan Islam sebagai realita sosial (Islam sosiologis). Pembicaraan Islam dalam cita adalah Islam sebagai ajaran dari Allah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh penafsiran sepihak. Islam sosiologis adalah sebenarnya kondisi realita umat Islam yang biasa dan bisa saja berbeda seperti siang dan malam dengan ajaran Islam (Agus 2003).

Yang dimaksud dengan budaya Minangkabau dalam makalah ini adalah pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan bermasyarakat. Ajaran tentang moral dan prinsip kehidupan diambil dan dikemukakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala alam dan kehidupan. Pandangan hidup seperti roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah; pakailah ilmu padi, makin berisi makin runduk; bersifatlah mampu menyesuaikan diri di mana pun berada, tiba di kandang kambing membebek, tiba di kandang kerbau menguek; musyawarah untuk mufakat seperti kayu bersilang dalam tungku untuk memasak sesuatu adalah contoh pandangan hidup dan sifat yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan masyarakat lebah, pembagian tersebut makin jelas. Ada yang berfungsi seperti ratu (agaknyo bundo kanduang); ada yang berfungsi sebagai pekerja, ada yang berfungsi sebagai tentara dan seterusnya. Pelajaran dari masyarakat lebah juga selalu memberi manfaat kepada manusia, tetapi jangan diganggu.

Di Minangkabau pemahaman dan pelajaran yang diambil dari gejala alam dan kehidupan makhluk ini dikenal dengan alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru adalah suatu metode untuk mengembangkan aturan bermasyarakat yang sejalan dengan hukum alam dan kehidupan. Untuk memahami gejala alam itu digunakan semua potensi yang dimiliki manusia, yaitu pengamatan pancaindera, pemikiran otak, rasa dan hati nurani. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki ini dikenal dengan raso jo pareso. Dengan demikian masyarakat Minang tidak terjebak kepada kecenderungan memberdayakan hanya pada salah satu potensi tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang adatnya dicetuskan oleh Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan Sabatang tidak menolak kedatangan agama-agama besar dunia. Sebelum Islam datang, Hindu dan Budha pernah berkembang dan menjadi pandangan hidup dan budaya masyarakat. Diterimanya agama Hindu dan Budha karena prinsip sumber daya yang dimiliki dan akan diberdayakan tidak demikian kontradiktis dengan sumber daya manusia menurut adat Minangkabau. Raso jo pareso adalah daya spiritual. Sopan santun dan perilaku baik terhadap orang lain juga sama-sama mendapat perhatian dari adat Minangkabau dan agama Hindu Budha.

Dengan kedatangan agama Islam, orang juga dapat menerimanya walaupun tradisi dan kepercayaan animisme dan adat-adat yang tidak baik tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, berjudi, dan meminum minuman keras tetap berlangsung. Sebenarnya perilaku menyabung ayam, judi dan minuman keras, menurut hemat penulis, tidaklah termasuk adat Minangkabau. Itu hanya perilaku menyimpang dari masyarakat (deviant). Akal sehat, hati nurani, raso jo pareso, dan alam takambang mengajarkan perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Proses Islamisasi tidak berjalan mulus. Namun Islam sebagai indetitas etnis semakin kuat, apalagi setelah perang Paderi. Adat basandi syara` syara` basandi kitabullah ( ABSSBK) telah menjadi identitas etnis suku Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau tidak merombak semua nilai, pandangan dan prinsip hidup masyarakat. Pandangan dan nilai luhur kehidupan tetap dipelihara. Perilaku menyimpang memang ditentang. Islam memperkukuh prinsip alam takambang jadi guru. Kecendrungan dalam gejala alam (yang dalam dunia ilmiah dinamakan teori) dan hukum alam dan kehidupan manusia, oleh Islam dinamakan sunnatullah atau ayat-ayat Allah.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ditukar dengan kepercayaan kepada makhluk gaib seperti jin dan iblis, tetapi semuanya itu tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat bagi yang punya keimanan yang kuat kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tanggung jawab Mamak dan Kemenakan diperkuat dengan tanggung jawab ayah kepada anak. Matriarkhat Minangkabau diperkuat dan diperdalam dengan patriarkhat yang dibawa oleh dari Islam sehingga kekerabatan dalam praktek menjurus kepada bilateral. Maka, Islam sebagaimana juga ideologi dan budaya pendatang lainnya, mula-mula dicurigai dan dimusuhi, kemudian ditolerir, dan akhirnya diterima dan disepakati untuk diintegrasikan dengan adat sehingga sampai kepada adagium ABSSBK.
Adat dan budaya yang mementingkan alam takambang jadi guru serta sopan santun sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (tahu kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng) pada hakekatnya adalah pandangan pentingnya memperdayakan pancaindera, akal, dan perasaan serta hati nurani dalam memahami alam dan kehidupan.

Pemberdayaan potensi-potensi manusia ini diperkokoh oleh Islam. Islam menyuruh menggunakan mata, telinga dan mata hati (qulub) serta menyuruh menggunakan pedoman yang berupa agama dan petunjuk Allah untuk umat manusia. Petunjuk Allah yang dinamakan agama itu mementingkan keyakinan (iman, aqidah), perilaku nyata sehari-hari (syari`ah), perasaan ruhaniah (tasauf), dan pemahaman otak tentang segala yang dihadapi. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan terpadu (tauhid) yang diajarkan oleh Islam agama Allah ini (Agus 1993). Pedoman dan pendekatan wahyu penting diperhatikan supaya sumber daya manusia jangan tergelincir kepada yang membinasakan manusia dan alam lingkungannya.

Pandangan materialisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan nihilisme dilahirkan oleh otak manusia yang tidak mau lagi memperhatikan petunjuk wahyu dan agama, bahkan daya yang dimiliki manusia sendiri, yaitu hati nurani dan perasaan luhur. ABSSBK merupkan political will yang kalau diterapkan akan punya daya fleksibilitas dan dinamis serta prinsip-prinsip yang akan menjamin eksitensi manusia tetap sebagai manusia, yaitu makhluk yang bermoral dan regelius. Pengitegrasian ini penting diperdayakan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern dan arus globalisasi.

3. Agama dan Masyarakat Minang dan Realita

Dewasa ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial adalah
keyakinan-keyakinan yang dianut secara fanatik (Agus, 2003: 68-72). Agama dan etnisitas, termasuk Islam dan budaya Minang, secara sosiologis, dianut secara fanatik. Kefanatikan itu akan terlihat dari indikasi kalau ada yang menyinggung sesuatu yang difanatiki itu, pemiliknya akan melakukan tindakan anarkis. Agama ada yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan anarkis dan teror. Oleh karena itu, agama atau sesuatu yang di”agama”kan mengandung potensi konstruktif dan juga destruktif. Karena hanya potensi, tenaga atau semangat, maka terserah kepada masyarakat pengemban kedua potensi itu, apakah akan dipergunakan kepada yang konstruktif atau destruktif. Teori dan teknologi atom misalnya dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat pula untuk dijadikan bom yang telah menghancurkan. Ke arah yang mana akan digunakan potensi itu tergantung kepada manusia yang memilikinya, dan dalam hal agama dan etnisitas, tergantung kepada kelompok pengemban keyakinan tersebut dan juga perlakuan kelompok lain penganut “agama” yang bersangkutan.

Kalau kelompok lain memperbuat sesuatu yang menyinggung kehormatan penganut agama dan etnis tertentu, tentu potensi konstruktif itu akan segera berubah menjadi potensi “destruktif “. Di samping itu baik agama Islam maupun budaya Minang, kalau dilihat sebagai fenomena sosial (das sein) dewasa ini memang tidak layak dibawa ke tengah. Mengangkatnya dalam forum nasional, apalagi dalam forum internasional, ibarat menegakkan benang basah. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatra Barat, sudah lebih rendah kualitas sumber daya manusianya dari bangsa Vietnam sekalipun. Korupsi makin membudaya di Indonesia, termasuk di Sumatra Barat. Trust dan sumber daya sosial sebagai prasyarat bagi kebangkitan bangsa dan suku bangsa (Fukuyama, 1995) tidak dimiliki lagi.

4. Tantangan Modernisme Global

Walaupun seminar dan pertemuan ilmiah dewasa ini punya tema dikaitkan dengan multikultural, namun modernisme masih tetap mendominasi dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi, kekuasaan ekonomi dan politik, modernisme terlebih dahulu harus disadari bahwa modernisasi berbeda dengan modern. Bangsa Indonesia, termasuk orang Minang harus menjadi bangsa dan suku bangsa yang modern, tetapi tidak boleh terjerumus ke dalam modernisme. Bangsa yang modern menghasilkan dan memanfaatkan temuan teknologi modern untuk kesejahteraan hidup bangsa. Bangsa Indonesia dan orang Minang harus menggunakan jasa pesawat terbang, mobil, satelit, internet dan kemudahan lain dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kesejahteraan dan rahmatan lil`alamin.

Kecenderungan memperhatikan hanya satu aspek kehidupan pernah digagas oleh para pemikir, seperti pandangan hidup rasionalisme, empirisme, materialisme, spiritualisme, individualisme, dan sosialisme. Dominasi salah satu aliran filsafat tentang daya apa yang harus diutamakan dalam memahami sesuatu di Barat mengakibatkan daya yang berasal dari luar manusia, seperti wahyu dan ajaran Tuhan, tidak dipercayai. Ajaran yang berasal dan wahyu yang berkembang di tengah masyarakat dianggap sebagai hanya dakwaan pembawa dan alat untuk memperkokoh legitimasi.

Pandangan yang hanya menggunakan sumber daya manusia dan menolak segala yang berasal dari luar diri manusia berkembang di Barat dengan semangat Renaissans mulai abad ke-14 sampai dewasa ini menjadi ideologi sekuler. Sekularisme yang juga diperkuat dengan materialisme dan rasionalisme berkembang di seantaro dunia sampai dewasa ini. Di kalangan masyarakat Minangkabau pandangan hidup sekuler tidak dapat diterima secara prinsip. Barat menolak memberdayakan potensi hati nurani yang cenderung mengakui keberadaan manusia dan manusia butuh kepada bimbingan, petunjuk, dorongan semangat dan kasih sayang-Nya.

Hati nurani dikenal juga dengan potensi ruh yang menurut surat as-Sajdah ayat 7-9, adalah bagian dari ruh Allah yang mampu ditiupkan-Nya kepada janin setelah fisik janin terbentuk. Karena itu mata hati mampu melihat Tuhan dan kebesaran-Nya. Tetapi Barat dengan semangat renaissansnya menolak ajaran yang bersumber dari luar diri manusia tersebut. Jadilah manusia sebagai konseptor, aktor dan tujuan kehidupan sekaligus. Renaissans adalah antroposentrisme.

Sekularisme dengan materialismenya telah mengakibatkan berbagai krisis sosial dan lingkungan. Kegersangan nilai-nilai spiritual telah menjangkit masyarakat sekuler. Berkembangnya berbagai aliran acultisme, bahkan yang tidak lagi rasional seperti The San Temples dan the People Temples di masyarakat yang dianggap termaju di dunia, seperti Amerika, adalah konsekwensi logis dari masyarakat yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dalam menatap hidup yang makin kompleks ini. Gejala bunuh diri sebagai kekecewaan dan kehilangan pegangan yang sangat mendalam dalam kehidupan ini adalah fenomena sosial masyarakat maju yang sekuler itu. Runtuhnya institusi keluarga juga konsekwensi logis dari individualisme dan emansipasi yang kebablasan. Krisis ekologi dan pencemaran lingkungan adalah resiko yang harus diterima dari materialisme yang sudah lepas dari kendali agama.

Sedangkan modernisme adalah paham yang ingin berprinsip bahwa agama dan nilai-niali budaya lain tidak layak lagi dipakai untuk pembangunan sosial. Manusia harus bangkit dengan kemampuan otak dan otot (fisik, materinya) dengan meninggalkan segala campur tangan lain, seperti agama, tradisi dan doktrin-doktrin lainnya dalam mengelola masyarakat. Untuk itu sekulerisme, positivisme ilmiah, ekonomi pasar bebas, demokrasi kuantitatif, liberalisme, materialisme, individualisme dan hedonisme adalah perangkat penting untuk mendukung prinsip modernisme. Sebagai ideologi modemisme, ia diperjuangkan untuk diterima di dunia dengan berbagai macam negara dan budayanya. Oleh karena itu, modernisme dikritik oleh posmodernisme sebagai ideologi yang bersifat imperialis dan kolonialis. Dengan daya otak dan materi yang kuat sehingga menjadi negara adidaya, modernisme yang dimotori oleh Amerika telah menjadi beringas dan mengabaikan tatakrama kehidupan bersama dalam dunia internasional. Kebringasan Amerika akhir-akhir ini di lrak dan Afganistan, dan hegemoni budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuannya di negara-negara lain adalah bukti-bukti yang menguatkan tesis yang dikemukakan oleh Huntington (1996).

Dalam era globalisasi seperti dewasa ini terlihat dominasi budaya modernisme yang dimotori oleh Amerika dengan perangkat pasar bebas, demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), positivisme ilmiah, sekularisme dan liberalisme moralnya. HAM berpandangan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dalam menikmati hak-hak asasinya berdasarkan perbedaan agama, suku, suku bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Sedangkan agama dan adat dinilai membatasi banyak kebebasan manusia. Ini berarti bahwa arus modernisme yang bersifat kolonialisme itu tidak pluralis. Pluralisme sejalan dengan posmodernisme. Dengan lembaga internasional dan penguasaan teknologi dan komunikasi, modernisme masih dominan walau pun dalam pertemuan ilmiah dan wacana pemikiran pluralisme atau posmodernisme telah menjadi tema seminar dewasa ini.

Pemikiran modernisme makin mencemaskan perkawinan antar agama dan etnisitas. Perkawinan tersebut digembar-gemborkan akan memperjauh dan HAM, demokratisasi dan inklusifisme dan akan mempersubur gerakan “teroris” yang diperhalus dengan istilah fundamentalisme, ekslusifisme atau primordialisme. Pengalaman bangsa Indonesia yang terpecah-pecah setelah reformasi, sukuisme dan agama bangkit kembali dan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan, seperti kasus Ambon, Poso, dan Kalimantan Tengah.

Postmodernisme memperjuangkan diberinya kesempatan kepada setiap budaya, ideologi, dan agama suatu masyarakat untuk mengembangkan sistem politik, ekonomi, budaya dan bahkan pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan aspirasi politik, ideologi, budaya dan agama masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986). Maka postmodernisme mendukung multi kultural, sementara modernisme bersifat kolonial yang dilancarkan secara halus sehingga meminjam ungkapan Malik bin Nabi (1969: 206-208), bangsa terkebelakang itu pula sekarang yang bermental layak untuk dijajah, yang minta-minta untuk dijajah (al-qabiliyah li al-isti`mar), seperti selalu mengharapkan kucuran dana hutang setiap tahun.

Islam dan budaya Minang jelas menentang paham sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme. Umat dan suku bangsa yang memegang suatu norma moral, sistem hukum, tata kehidupan bersama, seperti tidak boleh murtad, pamer aurat, free-sex dituduh sebagai bangsa yang tidak menghormati hal-hak asasi manusia. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan individu, sedangkan komunits tidak diberi hak untuk menentukan aturan untuk mereka sendiri. Tetapi kehidupan manusia memang unik. Di tengah-tengah deru modernisme, individualisme, sekularisme dan bahkan materialisme itu, timbul pula kerinduan kembali kepada identitas kelompok, kepada spiritualisme dan agama.

Naissbit dan Aburdene mengungkap hal ini sebagai salah satu dan megatrends (Naissbit dan Aburdene 1990). Indonesia setealah 32 tahun berada dalam rezim “asas tunggal” dan sentralisasi berubah menjadi dijangkit demam promordialisme. Etnik, kelompok, agama, daerah kembali bersuara lantang, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan kelompok lain. Di skala intemasional dan Barat sendiri, pandangan modernisme yang mendesak segala yang dianggap primordialisme juga mendapat tantangan serius. Posmodernisme kembali menghidupkan segala macam primordialisme. Kelompok, etnik, ideologi, agama, ras, jenis, kelamin harus mendapatkan hak untuk menghayati kehidupan dengan cara pandang dan keyakinan mereka masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

5. Islam dan Budaya Minang untuk Menghadapi Tantangan Modernisme

Ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen dan lainnya, tidak terlepas dari interprestasi yang ditonjolkan pada suatu periode tertentu oleh pemukanya. Ajaran Calvin, misalnya dinilai oleh Weber sebagai penggerak berkembangnya etos kerja yang menumbuhkan kapitalisme (Weber, 1958), berbeda dengan ajaran Katolik Roma zaman tengah yang dinilai sebagai penyebab keterbelakangan dunia Barat. Demikian juga perkembangan Islam di zaman klasik yang melahirkan sejumlah ilmuwan dan filusuf tentu tidak terlepas dari teologi yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi inklusif, bersedia menerima kebenaran dan manapun datangnya (al-Badawi, 1965). Kemunduran Islam sesudahnya mulai abad ke 13 M/8 H juga tidak terlepas dari interprestasi ajaran agama yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi fataistis, budaya sufistik, dan ketertutupan, taklid, atau ekslusif (lihat Hourani, 1962 dan Amin, 1971).

Untuk meningkatkan kualitas kerja dan profesionalisme, dakwah, studi danpendidikan agama perlu ditekankan pada teologi yang dalam ajaran Islam dinamakan dengan ihsan. Perlu diungkapkan menjadi aqidah, iman, keyakinan atau teologi, yaitu bahwa bekerja dengan kualitas baik, teliti, bagus, berdaya guna lebih luas harus dimasyarakatkan sehingga menjadi aqidah, teologi atau komitmen setiap pribadi Muslim. Kemudian keyakinan keagamaan kepada makhluk gaib, akhirat dan lain-lainnya perlu dikembangkan dengan paradigma untuk meningkatkan kualitas amal dan karya di dunia ini, untuk mewujudkan rahmatan lil`alamin.

Pengertian dan konsep amal yang masih banyak dianggap sebagai kegiatan ritual dan sedekah amal harus ditingkatkan dalam pengertian segenap aktivitas sosio-kultural yang positif dan lainnya (pahalanya) terletak pada tinggi rendahnya kualitas kerja yang tergantung padanya kekuatan umat, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya. Kemudian
kedudukannya berubah menjadi kewajiban pribadi (fardhu `ain) bagi yang telah memilih salah satunya sebagai profesi dan bidang tugasnya.

Konsep-konsep tersebut adalah contoh-contoh yang memerlukan penggarapan baik oleh masyarakat, seperti melalui media massa, gerakan dakwah, maupun melalui political will, seperti beasiswa untuk studi teologi, alokasi dana pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang memadai untuk tujuan tersebut.

Efek lain dari kemajuan teknologi dan pesatnya kegiatan ekonomi dan produksi adalah bahwa manusia merasa dirinya hanya bagian atau bahkan pelayan dari mesin-mesin. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan antara satu sama lain semakin tipis karena telah diperenteng oleh alat komunikasi canggih. Manusia merasa kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang kreatif, punya harga diri, berarti, dan makin tidak merasakan hubungan sosial yang ikhlas. Manusia modern hidup teralienasi, mengidap anomali atau anomi.

Keberingasan massa, terorisme, kriminalitas, menjadi pecandu obat bius dan ekstasi, menjamurnya kelompok meditasi dan ajaran “agama” yang aneh-aneh (cults), adalah konsekwensi dari manusia yang telah kehilangan jatidiri dan nilai-nilai spiritual. Karena kegersangan spiritual ini Naisbitt dan Abuderne (1990: 270-297) meramalkan bahwa abad 21 juga merupakan abad kebangkitan agama, atau lebih tepat dikatakan dengan kebangkitan kelompok spiritual.

Maka agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat era globalsasi dan industry untuk dapat memberikan siraman dan melestarikan hubungan sosial. Roger Garaudy (1985), dari perjalanan hidup dan pemahamannya terhadap pemikiran di Eropa sebagai seorang yang pernah aktif dalam partai Komunis Prancis dan guru besar filsafat, berkesimpulan bahwa permasalahan manusia modern adalah putusnya hubungan dengan yang transendental dan hubungan sosial dan Islamlah yang mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Kemudian ciri lain dari masyarakat dunia dewasa ini adalah bahwa mereka mengkonsumsi sajian media komunikasi yang bermacam ragam. Dengan media cetak dan elektronik modern berbagai nilai, pendapat, gagasan, perilaku dan gaya hidup, disuguhkan dari segenap penjuru dunia tanpa batas. Dampak kemajuan media komunikasi ini jelas berpengaruh terhadap keyakinan dan ajaran agama yang selama ini atau seharusnya diyakini. Kemajuan media cetak dan elektronik ini mengakibatkan tumbunya relativisme nilai budaya dan agama.

Tidak adanya nilai dan hal-hal yang dipercayai dalam kehidupan seseorang menjadikan hidup dalam kebingungan, goncang, tidak ada pegangan, dan gelisah. Kalau gejala ini telah menimpa sebagian besar anggota masyarakat,masyarakat tersebut sudah rapuh, goyah atau keropos. Gejala banyak anggota masyarakat yang mengikuti berbagai macam aliran kebatinan, meditasi, pengobatan alternatif, berbagai cults, baik di Timur ataupun Barat seperti yang telah disinggung di atas menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya luhur.

Oleh karena salah satu ciri beragama adalah bahwa nilai dan ajarannya dipercayai sebagai mutlak benar, maka memupuk keyakinan beragama setelah diadakan penafsiran yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam pendekatan dakwah dan pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelamatkan manusia yang sudah kehilangan pegangan hidup akibat telah digoncang oleh suguhan media kommikasi modern yang kontradiktif.

Masalah yang menjangkiti masyarakat modern yang rasional ini adalah mengidap stres. Stres menjangkiti kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, di masyarakat, dan di rumah tangga. Kegagalan dalam mencapai banyak hal juga mengakibatkan stres. Konflik antar individu dan antar kelompok juga mengakibatkan stres. Stres juga menurunkan kondisi kesehatan fisik.
Tetapi dengan iman kepada takdir Allah terhadap segala yang telah dialami membantu untuk tidak terlalu stres menghadapi hambatan, konflik dan kegagalan. Dengan iman kepada takdir yang diajarkan Islam, kita juga tidak terlalu cemas menghadapi masa depan dan siap mental menghadapi segala macam resiko.

6. Kesimpulan

Kehidupan yang didominasi modernisme menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Manusia membutuhkan materi, kepuasan spiritual, perhatian, ketenangan, penjelasan rasional, keyakinan dan kepastian hidup, kiat menghadapi persoalan dan kegagalan, hubungan sosial yang baik dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. Tidak terisinya salah satu dan hubungan tersebut akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan. Pandangan modernisme tentang kehidupan cenderung mementingkan salah satu atau beberapa saja dan kebutuhan tersebut dan mengabaikan yang lain. Maka sumber permasalahan adalah bahwa manusia modern tidak memiliki suatu keyakinan dan pandangan hidup yang dapat mengisi kebutuhan tersebut. Maka agama yang belum terlalu direduksi oleh pandangan manusia, serta budaya yang biasa dianggap tradisional, seperti budaya Minang, tetap diperlukan dalam kehidupan modern karena masih punya dimensi-dimensi yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

© Bustanuddin Agus
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
http://blogminangkabau.wordpress.com



Selengkapnya...

23.00 | Posted in , ,

Surau dan Madrasah di Minangkabau

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama

Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren

Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren

Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah

Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc

Selengkapnya...

��
11.40 | Posted in , ,

Falsafah adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai, alam takambang jadi guru (adat bersendi syariat, syariat bersendi Al-quran, syariat berkata adat memakai, alam terbentang menjadi guru). Lebih lanjut Hamka (1985: 138) menjelaskan; 1. "Syarak mangato adat memakai". Kata-kata syarak diambil dari Al-quran sunah dan fiqih, akhirnya dipakai dalam adat. 2. "Syarak bertelanjang-adat bersamping." maknanya syarak terang dan tegas, sedangkan adat diatur berdasarkan prosedur yang benar berdasarkan membaca yang tersurat, tersirat dan tersuruk, selanjutnya juga mempertimbangkan sesuatu itu dengan seksama dan bijaksana. 3. "Adat yang kawi, syarak yang lazim." Artinya adat tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan . "Kawi" berasal dari bahasa Arab "qawyyun" berarti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau diwajibkan. Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya berdosa kalau ditinggalkan. Lazim artinya berpahala atau dikerjakan. "Zim" dikenakan sanksi siapa yang tidak mengerjakannya.

Dengan "adat yang kawi syarak nan lazim" inilah Minangkabau ditegakkan dengan aman dan tertib. Masuknya syariat dalam tatanan adat, membuktikan terjadinya formasi sosial dalam kultur masyarakat Minangkabau. Formasi sosial ini menjadi acuan kongkrit dalam masyarakat Minangkabau untuk menstrukturisasi struktur sosial. Konstribusi Islam dalam hal ini adalah, mencairkan kebekuan format adat dalam otoritas kekuasaan raja. Syariat mengkonstruksi ulang adat kearah yang lebih fleksibel, sehingga adat dapat mengalami perluasan-perluasan dalam menghadapi perubahan masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan zaman tersebut, dalam masyarakat Minangkabau dikenal stratifikasi adat, mulai dari yang bersifat absolut sampai pada adat yang longgar dan dapat dirobah sesuai dengan konteks zaman, asalkan perubahan itu tidak bertentangan dengan yang absolut.

Stratifikasi adat ini disebut dengan adat nan ampek (adat yang empat) yaitu: Adat nan sabana adat Adat yang diadatkan Adat yang teradat Adat istiadat Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) yakni adat yang paling tinggi dan bersifat umum. Adat ini merupakan nilai dasar yang berbentuk hukum alam yang tidak dapat dirubah dan dipungkiri. Sedangkan adat yang diadatkan, adat yang teradat dan adat istiadat dapat berubah sesuai dengan kesepakatan penghulu dan adat salingka nagari (adat selingkar nagari) sekaligus dapat dipengaruhi oleh berbagai budaya yang datang dari luar asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini terdeskripsikan bahwa Islam dalam tatanan adat Minangkabau bukan mengunci kekakuan, tetapi memberikan dinamisasi yang luas. Hal ini sebagai implikasi dari pada konstribusi tradisi Islam dalam formasi sosial masyarakat.

Menurut Gellner (dalam Azra,1999: 20) tradisi Islam dapat dimodernisasi; cara operasinya bukan dengan inovasi atau konsensi kepada pihak-pihak luar, tetapi sebagai kelanjutan atau penyelesaian atas sebuah dialog lama dalam Islam, antara ortodok dengan penyimpangan; pertarungan lama antara pengetahuan dan kebodohan; antara tata tertib politik dengan anarki, antara peradaban dengan barbaraisme, antara kota dan desa, antara hukum Tuhan dengan adat istiadat manusia. Falsafah ini merupakan transformasi kebudayaan yang dibawa oleh semangat religious revolution. Menurut Reid (1993) religious revolution mentransformasi peradaban kebudayaan dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam.

Dalam transformasi ini tidak hanya merubah dari format lama ke format baru, tetapi juga memberikan desain-desain dan patron-patron yang menengahi peradaban dengan berbagai pengejawantahan. Walaupun adat dan syarak bersumber dari dua sumber budaya yang berbeda tetapi kedua-duanya secara fundamental memiliki kesamaan dan kesejalanan cara pandang. Adat di satu sisi adalah ajaran kehidupan yang bersifat filosofikal kultural dan menawarkan kearifan-kearifan budaya (cultural wisdom) dengan berguru pada alam yang bersifat kauniyah (kontekstual) dengan referensinya alam takambang jadi guru. Sementara syarak adalah norma dan paradigma agama yang berorientasi transendental dan mengacu pada kitab suci Alquran dan Hadis, yang bersifat qauliyah (absolut). Falsafah adat memberikan konstribusi terhadap psikologis dimana adat mengacu kepada ajaran budi dan kearifan budaya, sementara Islam memberi isi kepada hal yang bersifat metafisikal dan supranatural (Naim, 2000:3).

Falsafah adat yang berlandaskan syariat ini, sekaligus membentuk mode of religious masyarakat Minangkabau yang Islami. Maka secara praktis menunjukan bahwa tidak ada masyarakat Minangkabau non Islam. Berdasarkan hal ini pula Hamka (1967:22) menyimpulkan, sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau.
Penegasan falsafah dalam budaya Minangkabau merupakan haluan yang memiliki kekuatan hukum ilahiah. Deskriptif ilahiah ini mewarnai terminologi-termonilogi dan simbolisasi dalam satu kesatuan budaya. Setidaknya, bentuk kepemimpinan Minangkabau yang dibangun oleh tiga kekuatan yang disebut dengan tunggu tigo sajarangan ( pemerintah, ulama dan pemuka masyarakat), sebagai fakta dan realita objektif dari simbolisasi serta konsekuensi terminologi ke Islaman yang masuk ke dalam falsafah, sehingga terwujud dimensional new cultur yang berupa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah kemudian menjadi falsafah yang mengkatrol tindakan, perbuatan dan mengakumulasi kultur Minangkabau dalam satu kesatuan yang memiliki kearifan budaya yang dilindungi oleh kekuatan internal metafisikal dan supranatural.

© Silfia Hanani, M. Si
www.cimbuak.net
Penulis adalah : Mahasiswa Ph.D Universiti kebangsaan Malaysia (UKM)dan penulis buku surau asset local yang tercecer.


Selengkapnya...

17.21 | Posted in , ,

Masyarakat Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatannya yang matrilineal, karena merupakan satu-satunya suku bangsa yang memakai sistem ini di tengah-tengah suku bangsa nusantara yang umumnya berdasarkan patrilineal. Sistem matrilineal ini, selain merupakan dasar penghitungan garis keturunan dalam keluarga, juga sangat berkaitan dengan berbagai sistem sosial lainnya, seperti perkawinan yang bersifat exogami dan matrilokal, suku yang terbentuk menurut garis perempuan, juga kekuasaan didalam suku dipegang oleh saudara laki-laki dari ibu (disebut : mamak), demikianpun hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakan (anak saudara perempuan).

Unit terkecil dari struktur sosial di Minangkabau adalah satuan genealogis (keluarga) yang disebut “samande” (seibu) yang kemudian dalam perkembangannya menjadi suku (matriclan). Kesatuan genealogis samande menempati satu rumah gadang (rumah besar/rumah induk), yang biasanya juga tinggal beberapa satuan genealogis samande atau saudara perempuan lainnya. Kesatuan yang lebih besar ini disebut dengan “saparuik”, artinya berasal dari satu ibu. Setiap paruik dipimpin oleh seorang mamak (saudara laki-laki ibu yang tertua) yang disebut dengan “Mamak Kapalo Warih” (Kapalo Paruik). Satu rumah gadang biasanya diisi oleh tiga generasi, yaitu nenek (generasi pertama) , ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (sebagai generasi kedua), dan anak-anak (sebagai generasi ketiga, yang dalam kesatuan ini berstatus sebagai kemenakan). Berkembangnya anggota saparuik dapat saja memecah menjadi saparuik-saparuik lainnya dan mendirikan satu rumah gadang pula untuk ditempati. Satuan saparuik yang telah berkembang inilah yang membentuk suku (kaum) sebagai unit utama dari struktur sosial dalam nagari-nagari di Minangkabau.

Suku dipimpin oleh seorang Penghulu Suku dengan menyandang gelar pusaka yang turun temurun pada suku itu. Satu garis keturunan (lineage) dalam suku yang telah berkembang, dapat pula memecah menjadi beberapa suku yang baru dan masing-masing dipimpin oleh Penghulu Suku. Suku sebagai satuan genealogis biasanya menempati suatu daerah pemukiman yang sama. Oleh karenanya suku, disamping sebagai kesatuan genealogis, dapat pula berarti satu kesatuan teriotorial dan politis.

Nagari merupakan kesatuan territorial-genealogis yang otonom dan terlepas dari campur tangan kerajaan dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Nagari-nagari yang terdapat di wilayah luhak yang tiga lebih merupakan "republik-republik" konfederasi kerajaan Pagarruyung. Masing-masing nagari dipimpin oleh Penghulu Nagari. Antara satu nagari dengan nagari lainnya juga tidak memiliki hubungan struktural apapun. Meskipun nagari-nagari itu mengakui kekuasaan raja Pagarruyung, namun secara politis, raja hampir-hampir tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas nagari-nagari di luhak nan tigo (wilayah inti) itu, Sementara luhak itu sendiri juga bukanlah merupakan unit politik supra nagari, akan tetapi lebih menunjukkan pengertian genealogis semata. Masyarakat nagari-nagari di satu luhak secara mitologis meyakini bahwa mereka sama-sama berasal dari satu nenek moyang (Mochtar Naim,1979: 17). Sedangkan wilayah yang disebut rantau, kekuasaannya dipegang oleh raja-raja kecil (raja-raja muda) yang merupakan pelimpahan kekuasaan raja Pagarruyung. Perbedaan kekuasaan luhak dan rantau ini digambarkan dalam pepatah : Luhak bapangulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja/memiliki raja).
Harmoni kehidupan masyarakat nagari-nagari di Minangkabau diatur oleh peraturan-peraturan dan undang-undang adat yang diwarisi secara turun temurun. Peraturan-peraturan dan undang-undang adat yang menjadi norma-norma kehidupan masyarakat itu lebih banyak dipelihara dalam maxims seperti pepatah dan petitih serta mamang adat (lihat David Berry 1995:50-51). Pepatah normatif di kalangan masyarakat Minangkabau sangat berperan sebagai konsensus untuk mengintegrasikan masyarakat dalam suatu tatanan yang harmoni. Ia menjadi semacam peraturan tidak tertulis yang diberlakukan oleh pemuka-pemuka adat (penghulu) di setiap nagari.

Agama dan Adat

Kulminasi dari proses konversi Islam dan adat Minangkabau yang merupakan hasil dari integrasi kalangan adat dan agama pasca perang Paderi, terwujud ketika mereka bersepakat menjadikan Islam sebagai landasan adat mereka. Kesepakatan ini diwujudkan dalam sebuah diktum yang berbunyi :“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah“ (ABS,SBK) yang dipadankan dengan ungkapan “Syara’ Mangato, Adat Mamakai" (SMAM) . Dengan diktum itu masyarakat Minangkabau telah menempatkan agama sebagai pemberi patokan ideal yang harus diwujudkan dalam realitas oleh tata prilaku dan pengaturan sosial yang disebut adat itu (Taufik Abdullah,2000:6). ABS,SBK-AMSM itu pulalah kemudian menjadi dasar pengaturan pola tatanan dan prilaku sosial serta struktur kepemimpinan tradisional (kepemimpinan adat) di Minangkabau.

ABS,SBK-SMAM sebagai landasan falsafah kehidupan masyarakat Minangkabau pada dasarnya merupakan perpaduan dua dasar epistemologis dalam mendekati kebenaran, yaitu epistemologi positivistik dan epistemologi relasional (Endri Martius, 2000: 1). Epistemologi positivistik telah dikembangkan oleh para peneroka (peletak dasar) adat Minangkabau melalui “falsafah alam”. Alam, dalam pandangan orang Minangkabau adalah segala-galanya, selain berfungsi sebagai sebagai penopang kehidupan, alam dengan berbagai fenomenanya mereka jadikan sebagai dasar berfikir (materialistik). Pepatah “Alam Takambang Jadi Guru” (Alam terkembang jadi guru) dijadikan ajaran untuk mengetahui dan memahami realitas kehidupan yang dikonstruksikan dari pengetahuan empirik, dan akal budi dijadikan instrumen untuk mencari kebenaran .

Masuknya agama Islam ke Minangkabau telah melengkapi pendekatan itu dengan epistemologi relasional yang mempertautkan kenyataan empiristik (profan) dengan kenyataan akhirat (adikodrati) dengan mempergunakan paradigma al-Qur`an (Kitabullah). Menurut pandangan Islam kebenaran yang hakiki terletak pada kenyataan yang non empirik namun tanpa mengabaikan kenyataan empiris lainnya. Hukum alam, dalam Islam, dianggap absah sebagai dasar pendekatan kebenaran, akan tetapi di atasnya masih ada causa prima yang lebih menentukan. Kebenaran mutlak yang melekat pada kekuatan causa prima itu akan dapat dijangkau tidak hanya dengan pendekatan empiris-positivis, namun juga dengan pendekatan metafisis, karena secara empiris, banyak fenomena alam yang tidak dapat dijangkau dengan akal manusia.
Penerimaan syara’ (hukum Islam) sebagai landasan tertinggi dari norma sosial di Minangkabau adalah bahagian dari proses akulturasi dalam dinamika sejarah Minangkabau. Proses ini, meskipun dalam beberapa periode mengalami pasang surut, bahkan cendrung menimbulkan konflik, namun hal itu dapat dilihat sebagai proses seleksi dan penyesuaian (ajustment) serta penyesuaian kembali (reajustment) yang mengarah ke integrasi dan akhirnya menjadi identitas yang diakui sebagai milik bersama masyarakat Minang-kabau (Syafnir Abunain,1991:11). Bahkan Alfian mengemukakan bahwa adat dan falsafah Minangkabau menempatkan konflik sebagai sarana untuk memperoleh dan mempertahankan integrasi masyarakat, selanjutnya (Alfian, 1986: 155-156).

Pertemuan antara adat dan agama Islam di Minangkabau, yang akhirnya menjadi dasar falsafah kehidupan masyarakatnya, telah menjadi bahasan yang amat menarik di kalangan sejarawan dan sosiolog. Oleh karena konflik yang timbul dari pertemuan itu justru lebih banyak mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri, seperti yang diakui oleh Van Ronkel :“betapa antitesa antara adat dan Islam, antara adat kebiasaan setempat dengan agama dunia, dapat menghasilkan sintesa yang kemudian menjadi dasar bagi watak Minangkabau” (Taufik Abdullah, 1987: 104).

Gambaran tentang bagaimana bentuk "pertemuan" agama Islam dengan adat Minangkabau seperti yang telah digambarkan, kiranya dapat mendasari pemahaman kita terhadap posisi agama Islam dalam tradisi kultural masyarakat di daerah ini sebagai kerangka kultural yang diperlukan untuk melihat persoalan kepemimpinan di Sumatera Barat dalam kontek pembahasan ini. Dari sisi konflik yang timbul antara adat dan Islam --yang mungkin beberapa dekade tertentu cendrung menguat--, dapat dipahami sebagai sebuah keniscayaan sejarah semata, sebuah proses menuju integrasi sosial, seperti dikemukakan oleh Taufik Abdullah: “Di Minangkabau, konsep tentang konflik tidak sekedar diakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosial itu sendiri. Konflik dilihat secara dialektis, sebagai unsur hakiki untuk tercapainya integrasi masyarakat” (Taufik Abdullah, 1987: 104). Kesimpulan ini kiranya cukup pula menjadi kerangka bahasan untuk melihat bagaimana dinamika berfikir yang wujud dalam prilaku sosial dan elit kepemimpinan di daerah ini pada masa-masa ketika berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam konteks kehidupan sosial, politik maupun kultural.

Kepemimpinan Tradisional dan Struktur Kekuasaan

Salah satu kendala dalam menelusuri sejarah kerajaan Minangkabau, terutama masa pra Islam, ialah terbatasnya sumber-sumber tertulis. Ini disebabkan oleh karena Masyarakat di wilayah ini tidak terbiasa melakukan pencatatan-pencatatan tertulis. Penulisan Tambo sebagai yang banyak dijumpai sekarang, justru lebih banyak dilakukan pada masa setelah Islam memperkenalkan budaya menulis . Gambaran tentang bagaimana kaitan antara kepemimpinan tradisional dengan struktur kekuasaan kerajaan Pagarruyung dalam perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau setelah abad ke 16 sampai kedatangan bangsa Eropa ke wilayah ini, para penulis lebih banyak hanya mendasari penulisan mereka kepada tambo-tambo yang, meskipun bukan merupakan pecatatan sejarah, setidaknya dapat memperlihatkan bagaimana gambaran masyarakat Minangkabau pada saat Tambo itu ditulis.

M.D. Mansur, penulis Sejarah Minangkabau mengemukakan bahwa sejarah masyarakat ini baru mulai terang dengan munculnya sosok seorang Raja yang bergelar Sulthan Alif yang menduduki tahta kerajaan Pagarruyung (sekitar tahun 1560). Pada waktu ini, menurutnya, kerajaan Pagarruyung tidak lagi beragama Budha akan tetapi telah memeluk agama Islam (Mansoer,1970:63). Sebutan Sulthan yang mengawali gelar raja-raja Pagarruyung setelah Sulthan Alif menunjukkan bagaimana Islam telah mewarnai struktur kekuasaan di Minangkabau.

Apa yang akan penulis kemukakan pada bahagian ini ialah tentang sistem kepemimpinan yang secara tradisional berlaku di setiap nagari yang terdapat di wilayah pusat kerajaaan itu sendiri. Kepemimpinan mana dalam tradisi budaya Minangkabau merupakan refleksi dari pola umum kebudayaan Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilineal. Dalam tradisi budaya masyarakat di daerah ini, antara kepemimpinan sosial dan kepemimpinan politik, sukar sekali dipisahkan. Dengan demikian, sesuai dengan konteks bahasan, maka gambaran tentang struktur kepemimpinan tradisional itu akan lebih tertuju pada bentuk kepemimpinan dalam sistem kekuasaan yang berlaku di Minangkabau se-menjak abad ke 16, oleh karena, beberapa aspek dari ciri kepemimpinan itu kelihatannya masih tetap eksis --atau setidaknya tidak banyak mengalami perubahan pada masa sesudahnya--, dalam struktur sosial masyarakat di daerah ini, meskipun berbagai bentuk struktur pemerintahan telah diberlakukan di atasnya, baik oleh pemerintahan kolonial Belanda, Jepang dan pemerintahan Republik Indonesia.

Kerajaan Pagaruyung

Dalam hirarki kerajaan, struktur paling atas adalah Raja yang membawahi Dewan Menteri. Konsep Raja di Minangkabau pada waktu ini dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Tahta) artinya adanya tiga raja yang berkuasa dalam bidangnya masing-masing. Ketiga raja ini antara lain: Raja Adat sebagai pemegang kekuasaan di bidang adat, Raja Ibadat pemegang kekuasaan di bidang agama, dan Raja Alam sebagai pemegang kekuasaan terakhir dari kedua raja yang disebutkan terdahulu (Taufik Abdullah,dalam : Claire Holt (ed.),1972: 198). Sedangkan pada tingkat menteri disebut dengan Basa Ampek Balai yang terdiri dari : Bandaro Titah di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri, Tuan Kadi di Padang Ganting yang membidangi urusan keagamaan, Indomo di Saruaso dalam urusan keuangan, dan Makhudum di Sumanik yang mengurusi soal pertahanan dan daerah rantau (Mansoer, 1970:64-65 ; Parlindungan, 1964:523-25).
Perlu dikemukakan di sini bahwa antara kerajaan Pagarruyung dengan nagari-nagari yang terdapat di wilayah luhak tidak ada hubungan struktural apapun dalam penyelenggaraan pemerintahannya,. Bahkan setiap nagari --kecuali di wilayah rantau-- tidak memiliki keterikatan apa-apa dengan pusat kerajaan di Pagarruyung (Hardowardojo 1966:61; Naim, 1986, 45). Masing-masing nagari itu memiliki otonomi penuh atas nagari mereka. Kerajaan hanya sebagai simbol pemersatu dengan keterikatan moral dan hubungan kultural semata. Jadi, nagari, sebagai sistem kekuasaan tradi-sional yang terdapat dalam kesatuan kultural Minangkabau, di sini, dianggap relevan ketika kita hendak membicarakan tentang pola kepemimpinan pada sistem pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau.

Kepemimpinan Mamak dan Penghulu

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa komunitas Minangkabau terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat genealogis, namun secara politis kesatuan-kesatuan ini membentuk organisasi pemerintahan yang bersifat teritorial dengan struktur kepemimpinan yang didasarkan atas kesatuan genealogis itu. Kepemimpinan inilah yang disebut dengan Mamak dan Penghulu. Kepemimpinan Mamak yang berada pada struktur terbawah secara otomatis melekat pada individu saudara laki-laki tertua dari ibu. Sedangkan pada kesatuan yang lebih tinggi seperti suku dan nagari, disebut dengan Penghulu. Pepatah adat meng-ungkapkan : "Kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka Mufakat, Mufakat barajo ka nan Bana. Bana badiri sandirinyo" (kemenakan dipimpin oleh mamak, mamak dipimpin oleh penghulu, penghulu dipimpin oleh mufakat, mufakat dipimpin oleh kebenaran, kebenaran adalah berdiri sendiri).

Menurut Mochtar Naim, "kalau kita mencari apa atau siapa yang memimpin di Minangkabau, maka yang memimpin itu bukanlah orang tetapi adalah ide atau ideologi. Kepemimpinan tertinggi dipegang oleh “kebenaran” (Nan Bana). Kebenaran (al-Haq) itu adalah "ide" yang bersifat transedental dan immanen, karenanya tidak dapat dipertentangkan dengan akal dan akal sehat (Naim, 1986: 46-47). Untuk mendapatkan kebenaran itu digunakan lembaga mufakat. Kekuasaan dari mufakat tidak hanya didasarkan pada legitimasi dari penghulu dan pejabat-pejabat adat yang ikut serta dalam proses itu, tetapi juga pada pembawaannya yang suci. Fungsi dasar dari mufakat itu adalah realisasi pendapat yang abstrak dari Yang Benar (Nan Bana) yang adalah merupakan "raja sesungguhnya" dalam nagari (Taufik Abdullah, dalam : Claire Holt (ed.), 1972:191).

Kepemimpinan Mamak atau Penghulu, adalah representasi dari kekuasaan rakyat, karena sesungguhnya kebenaran itu ada pada rakyat. Dengan demikian dalam sistem demokrasi yang berlaku di Minangkabau yang berkuasa adalah rakyat (Naim, 1986: 46-47). Dalam tradisi kepemimpinan seperti ini tidak dikenal konsep paternalisme, karena pemimpin tidak menempatkan dirinya pada posisi patron bagi clientnya. Ninik Mamak dan Penghulu sebagai pemimpin, dia hanya "didahulukan selangkah, ditinggikan seranting". Dia besar karena dibesarkan oleh anak kemenakan, bukan besar dengan sendirinya. Karena itu pemimpin tidak dapat jalan sendiri dalam mengambil keputusan, dia tidak boleh mengabaikan pendapat serta pemikiran dari orang yang dipimpinnya. Keputusan itu dilegalisasi oleh lembaga mufakat untuk mendapatkan kata sepakat (seiya sekata) : "Tuah Sakato, Cilako Basilang" (Tuah sekata, Celaka Bersilang). Mufakat dalam konsepsi Minangkabau adalah : Bulek nan buliah digolekkan, picak nan buliah dilayangkan (Bulat yang boleh digulirkan, pipih yang boleh di layangkan). Bulat berarti konsensus penuh, sedangkan pipih berarti suara mayoritas, tapi seizin yang tidak sependapat (Naim, 1986: 46-47). Prinsip ini berlaku dalam setiap tingkat kepemimpinan dalam nagari-nagari di Minangkabau mulai dari mamak, sebagai pemimpin keluarga (saparuik), penghulu suku, dan penghulu pucuk, sebagai perwakilan yang duduk dalam Kerapatan Adat Nagari.

Sistem kepemimpinan Mamak dan Penghulu ini sudah berlangsung berabad-abad di dalam nagari-nagari yang terdapat di "luhak yang tiga" (wilayah inti Minangkabau), namun pada akhir abad ke 19, peranan kepemimpinan ini pada tingkat keluarga mulai merosot, terutama sejak Belanda membuka pusat-pusat perdagangan di wilayah ini.

Kemerosotan peran mamak dalam keluarga sebagaimana yang telah digambarkan itu, tidak banyak mempengaruhi fungsi dari sistem kepemimpinan di atasnya pada tingkat nagari, perubahan hanya terlihat pada status kepemimpinan nagari yang ditempatkan oleh Belanda secara administratif di bawah koordinasi lembaga yang sengaja dibentuk untuk kepentingan pemerintahan. Namun secara internal Belanda tidak terlalu banyak campur tangan.

Kepemimpinan Nagari

Pada bahagian terdahulu telah dikemukakan bahwa dari unit terkecil struktur sosial genealogis (samande), berkembang menjadi saparuik kemudian menjadi suku. Suku (matriclan) inilah yang menjadi prasyarat terbentuknya sebuah nagari sebagai dijelaskan oleh pepatah : "Nagari bakaampek suku, dalam suku babuah paruik" . Selain itu, kemandirian suatu nagari ditentukan pula oleh terpenuhinya beberapa persyaratan yang ditentukan seperti : balai (balairung adat), musajik (tempat ibadat), tapian (tempat pemandian), labuah (jalan raya), dan galanggang (gelanggang tempat bermain) (cf.Taufik Abdullah dalam : Holt, Claire,1972:187 ; Nasroen 1971: 136). Untuk menjaga kelangsungan jaminan ekonomi anak nagari, setiap kesatuan sosial nagari dilengkapi dengan hak properti atas tanah secara bertingkat, yaitu antara lain: ditingkat nagari disebut dengan hak ulayat nagari dan di tingkat suku/kaum disebut dengan hak ulayat suku/kaum. Hak ulayat ini merupakan kekayaan kolektif masing-masing tingkat yang dijaga menurut ketentuan adat (Herman Sihombing, dalam : Naim, Mochtar (ed.),1968:79) .

Hirarki kepemimpinan sosial masyarakat suatu nagari di Minangkabau dibentuk berdasarkan aspek genealogis itu. Unit sosial genealogis terkecil kepemimpinannya melekat pada individu yang berada pada posisi mamak (yang tertua) atau yang disebut Tungganai, sedangkan pada unit diatasnya (saparuik) dipimpin oleh seorang Mamak Kepala Warih yang dipilih diantara mamak-mamak rumah (tungganai) yang ada berdasarkan pertimbangan kelayakan dan kepantasan (alur dan patut). Sedangkan Suku sebagai unit genealogis selanjutnya dipimpin oleh seorang Penghulu Suku yang juga dipilih diantara Mamak Kapalo Warih melalui musyawarah-mufakat berdasarkan pertimbangan yang sama. Nagari sebagai organisasi politik tertinggi, kepemimpinannya dipegang seorang penghulu yang dipilih secara primus interpares di antara penghulu-penghulu suku yang ada.

Nagari, selain sebagai kesatuan genealogis, juga merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum teritorial. Sebagai kesatuan territorial, nagari memiliki unit pelaksana administrasi yang disebut Kampuang. Kampuang (Kampung), biasanya adalah satu kelompok pemukiman yang dihuni oleh keluarga-keluarga dari berbagai suku. Namun adakalanya juga hanya terdiri dari satu suku. Yang terakhir ini biasanya disebut dengan koto. Setiap kampuang dalam nagari dipimpin oleh seorang Tuo Kampuang, yang adakalanya juga sekaligus sebagai penghulu pada sukunya . Unsur-unsur inilah yang duduk bersama dalam pemerintahan nagari dan secara bersama pula membicarakan serta memutuskan berbagai persoalan-persoalan anak nagari, terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Lembaga penghulu ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari.

Kerapatan Adat Nagari merupakan lembaga perwakilan anak nagari dalam sistem pemerintahan nagari. Segala keputusan-keputusan yang menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat diputuskan dalam kerapatan ini. Semenjak agama Islam menjadi bagian integral dari adat Minangkabau, maka unsur agama menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dalam urusan lembaga ini. Oleh karena itu pula, pemuka agama menjadi bahagian dari pemerintahan nagari. Bila dalam kerajaan Pagarruyung kekuasaan terbagi dalam bidang urusan agama dan adat di bawah koordinasi Raja Alam, maka di tingkat nagari terbagi dalam apa yang disebut dengan urang ampek jinih (orang yang empat jenis), yaitu : penghulu (pemimpin adat), manti (juru tulis adat), dubalang ("polisi"), dan malin (pegawai-pegawai agama) (Taufik Abdullah, dalam, Claire Holt, 1972: 198).

Kedudukan penghulu dalam pemerintahan nagari-nagari di Minangkabau ditentukan oleh sistem laras yang dianut. Di sini terdapat dua sistem kepemimpinan yang diwarisi dari nenek moyang mereka, yaitu : Laras Bodi Caniago dan Laras Koto Piliang. Kedua kelarasan ini pada awalnya adalah empat suku asal orang Minangkabau yaitu Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Suku-suku yang terdapat di Sumatera Barat saat ini adalah perkembangan dari keempat suku tersebut. Suku-suku yang berasal dari laras Bodi dan Caniago menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, demikian juga suku yang berasal dari Koto dan Piliang maka secara otomatis juga menganut kelarasan Koto Piliang.

Antara kedua kelarasan itu selain merupakan pemilahan suku menurut suku asal, juga lebih memperlihatkan perbedaan dalam sistem kepemimpinan yang diberlakukan. Sistem kepemimpinan laras Bodi Caniago menerapkan sistem kepemimpinan demokratis. Dalam nagari yang menganut sistem ini, kedudukan para penghulu suku adalah sama; "duduak samo randah, tagak samo tinggi" (duduk sama rendah, tegak sama tinggi).

Kepemimpinan nagari dipegang oleh seorang Penghulu yang dipilih diantara anggota lembaga penghulu, namun ia tidak memiliki hak istimewa. Sedangkan nagari yang menerapkan sistem kepemimpinan laras Koto Piliang adalah bersifat aristokratis dan menganut paham royalis, kedudukan penghulu suku itu memiliki hirarki yang bertingkat; "bajanjang naiak, batanggo turun" (berjenjang naik, bertangga turun). Kepemimpinan nagari dipegang oleh seorang Penghulu Pucuk yang dipilih menurut sistem keturunan langsung.
Pemilahan nagari-nagari ke dalam kelarasan yang dua itu hingga beberapa dasa warsa terakhir, tidaklah terlalu menonjol (Backmann & Backmann,1985:247,Naim,1979,:18,dan Asnawi,2000:6). Meskipun ada nagari yang disebutkan menganut salah satu sistem kelarasan, namun bukan berarti seluruh suku yang terdapat di dalamnya berasal kelarasan yang sama. Bahkan semenjak awal abad ini terdapat kecendrungan di banyak nagari-- yang berada di luhak yang tiga dan di wilayah rantau-- pemberlakuan sistem itu tidak terlalu mempersoalkan apakah Koto Piliang atau Bodi Caniago sebagai terungkap dalam pepatah : Koto Piliang inyo bukan, Bodi Caniago inyo antah (Koto Piliang dia bukan, Bodi Caniago dia entah). Menurut Mochtar Naim (1979), "Pengelompokan ke dalam Koto Piliang dan Bodi Caniago tidak lagi dirasakan pentingnya di masa sekarang ini, oleh karena beda keduanya yang tinggal cuma sedikit" (Naim 1979: 18)

Konsep “Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan”

Konsep "Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan" (Tali tiga sepilin, tungku tiga sejerangan) adalah sangat identik untuk menyebut persyaratan yang harus ada dalam sistem kepemimpinan sosial di nagari-nagari di Minangkabau. Konsepsi ini diimplementasikan sebagai keharusan adanya tiga kom-ponen otoritas kepemimpinan dalam menjaga keutuhan dan keharmonian masyarakat. Ketiga komponen itu adalah Adat, Agama, dan Ilmu Pengetahuan. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa dengan adanya tiga komponen itu dalam kepemimpinan sosial, akan dapat menjamin terciptanya suatu sistem pengaturan sosial yang efektif dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Tali yang berpilin (berjalin) tiga memiliki jalinan sempurna dan mempunyai kekuatan untuk digunakan menarik dan mengikat apa saja. Demikian juga dengan tiga buah tungku sebagai penyangga wadah untuk memasak akan menjadi kukuh, sehingga apapun yang akan dimasak di atasnya akan matang dengan sempurna, artinya segala urusan yang menyangkut dengan kesejahteraan anak nagari dapat diatur dengan sebaik-baiknya sesuai dengan sistem serta norma-norma kehidupan yang berlaku.

Meskipun otoritas di bidang adat ada pada ninik mamak dan penghulu, di bidang agama oleh alim ulama, dan otoritas ilmu pengetahuan berada pada kalangan cadiak pandai (intelektual), namun dalam pelaksanaan sistem kepemimpinan tradisional komposisi tiga sepilin dan tiga sejerangan itu merupakan konsep tunggal dari kombinasi tiga bentuk otoritas yang diakui dalam masyarakat. Masing-masing komponen itu bukan merupakan kelembagaan yang terpisah, akan tetapi, adanya tiga komponen itu selain menjadi keharusan pada satu sistem kepemimpinan formal tradisional, ia juga harus wujud dalam diri seorang pemimpin yang dipilih (Penghulu) (Asnawi, dalam : Zed, Mestika dkk. (ed.),1992 : 94). Dalam pemilihan yang dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat, pertimbangan kelayakan dan kepatutan (manuruik alue jo patuik) biasanya juga didasari atas kemampuan serta potensi yang dimiliki dalam bidang-bidang tersebut. Corak kepemimpinan seperti ini memperlihatkan bahwa, secara struktural fungsional, seorang pemimpin terlahir dari dan dalam sistem sosial mereka sendiri. Oleh karenanya, tugas pemimpin itu sudah barang tentu lebih mengacu pada tujuan menjaga kelestarian sistem itu sendiri.

© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc


Selengkapnya...