Surau dan Madrasah di Minangkabau
Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.
Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.
Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.
Surau sebagai Basis Pendidikan Agama
Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini berkembang di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.
Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau-surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).
Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu Madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.
Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiringan dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.
Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.
Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.
Pesantren
Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).
Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.
Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.
Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.
Dikhotomi Madrasah dan Pesantren
Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.
Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.
Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah
Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).
Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.
© Irhash A. Shamad.
http://www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Sumatra Barat terkenal dengan gudangnya para Ulama sebut saja Syech Yasin Al Padani dan Buya Hamka keduanya sosok ulama yang sangat mumpuni yang berasal dari Minang. Ada satu tokoh Ulama juga yang berasal dari Minang yaitu Syech Sulaiman Arrasuli.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km. sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat, 1287 H./1871 M., wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H./1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan madzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Beliau dipanggil dengan sebutan “Inyiak Canduang”. Ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di kampung halamannya.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, yang lebih dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya. Sebelum meneruskan studinya ke Mekah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dll.Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Pattani. Guru-gurunya ketika di Mekah antara adalah, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa ulama Melayu yang bermukim di sana.
Perjuangan
Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukit Tinggi, Sumatera. Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia. Materi utama pendidikan di pesantren tersebut adalah pengajaran paham Ahlussunnah Waljamaah dan madzhab Syafi’i. Syeikh Sulaiman sangat konsisten menjalankan paham dan madzhab ini.
Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Baik dalam sistem pendidikan maupun perjuangannya, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, yakni Madzhab Syafi’i.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian. Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi‘i, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah madzhab Syafi‘i. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafi’i. Sedangkan para ulama Malaysia yang seangkatan dengan Sulaiman ar-Rasuli dan sama-sama belajar di Mekah adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M) dan Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M).
Dalam penentuan awal dan akhir puasa (Ramadhan), Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui metode rukyah (melihat langsung bulan sabit). Ini merupakan sebentuk penegasan beliau untuk mempertahankan corak keislaman yang berakar pada tradisi Nusantara. Dalam banyak hal Syeikh Sulaiman ar-Rasuli beserta seluruh ulama Tarbiyah Islamiyah mempertahankan ciri-ciri dan cita-cita keislaman tradisional menurut manhaj Ahlussunnah Waljamaah bersama-sama dengan para ulama Nahdhatul Ulama (NU) dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafi’i.
Menurut Hamka, Syeikh Sulaiman ar-rasuli merupakan seorang ulama yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan Umat Islam. Mendidik bangsanya menjadi lebih maju dan berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Hamka melansir dalam bukunya yang berjudul Ayahku Menulis, “Cuma Beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara (dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli). Bahwa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, ed.), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”
Karya-karya
Sebagai seorang ulama, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya, karya-karya ini banyak di pelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara lainnya.karya-karya tersebut antara lain adalah :
1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif
Dalam hal ini, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah ulama besar yang jarang tandingannya, kukuh dan kuat mempertahankan agama berorientasikan Sunni Syafi`i. Syeikh Sulaiman pulalah yang hingga kini dipercayai oleh masyarakat Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam adagium ”adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah”.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli juga merupakan ulama yang gigih mempertahankan tatanan kemasyarakatan Minangkabau untuk tetap mempertahankan tradisi kesalehan Nusantara. Setidak-tidaknya hal ini terlihat dari bagaimana Beliau memperjuangkan prinsip ”Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena musyawarah” serta ”Tungku tigo sajarangan” yang telah diyakini masyarakat Minang sebagai cara kebijakan paling berrurat akar dalam tradisi Nusantara serta sama seklai tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam.
Pengaruh
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya. Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama. Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafi‘i dan tarekat Naqsybandiyah.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli merupakan salah satu ulama besar asal Sumatera Barat yang gigih dalam membela Islam. Ia wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
Pada hari pengkebumian beliau, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Bendera Republik Indonesia dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut oleh Pemerintah dan rakyat Sumatera Barat, untuk menyatakan rasa turut berbelasungkawa dengan kepulangan al-’Alim al-’Allamah al-Fadhil Maulana Syaikh Sulaiman ar-Rasuli bin Angku Muhammad Rasul al-Minkabawi, kembali ke haribaan Allah SWT. Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat dan keredhaan kepadanya
Sumber : Syaifullah Amin
http://www.nu.or.id
Selengkapnya...
Pendahuluan
Gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 diwarnai dengan konflik keagamaan antara tarikat Syathariyah dan tarikat Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi Belanda. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk belajar langsung ke pusat agama Islam (Makkah). Mereka menetap di sana dan mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan agama. Ini merupakan fase kedua kontak intelektual antara ulama Minangkabau dengan Timur Tengah yang telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Perkembangan pemikiran keislaman di Minangkabau pada peralihan abad ke-19 dan ke-20 selalu dikaitkan dengan peran seorang tokoh Minangkabau yang dikenal dengan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Ia berangkat ke Mekkah pada parohan abad ke-19 dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Ia mendalami ilmu-ilmu pengetahuan keislaman di Mekkah dan berkat ketekunannya, akhirnya ia mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, ia mendapat legitimasi untuk membuka majlis pengajian Islam dalam mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak ulama Indonesia yang belajar di majlis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan di Minangkabau, bahkan di Nusantara. Kemunculan mereka telah membawa implikasi pada peningkatan wacana keislaman di Minangkabau, sekaligus menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.
Dinamika Pengajian Islam di Minangkabau abad ke-19
Meredanya perang Paderi yang ditandai dengan jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda tidaklah berarti bahwa telah selesainya berbagai konflik yang terjadi di Minangkabau. Ketidak puasan kalangan agama terhadap golongan aristokrasi adat dengan berbagai norma adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama kembali mengemuka. Demikian juga konflik pemikiran antara penganut Syatariyah dan Naqsyabandiah masih saja menyisakan potensi-potensi pertikaian pendapat di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini.
Dalam kondisi ketegangan pemikiran seperti ini beberapa orang Minangkabau melakukan perjalanan intelektual ke Tanah Arab ; --ke Makkah, Madinah dan lainnya—untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin keilmuan agama Islam seperti Fiqh, ilmu alat, tashauf, ilmu Hisab/Falaq dan lain-lain. Salah seorang diantara pelajar Minangkabau itu adalah Ahmad Khatib seorang putra Ampek Angkek yang kemudian dikenal sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan pemikiran Islam di Minangkabau pada priode selanjutnya. Dinamika perjalanan intelektual paruh kedua abad ke 19 ini ternyata kemudian memunculkan konflik baru di kalangan ulama Minangkabau yaitu antara penganut tarikat Naqsyabandi dengan kalangan pembaharu yang berawal dari pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy sendiri. Sementara itu “pertarungan” antara tarikat Syatariyah dan Naqsyabandiyah terlihat melemah setelah munculnya konflik baru ini.
Keberangkatan Ahmad Khatib pada dasarnya lebih dimotivasi oleh ekspresi ketidak puasan terhadap realitas sosial dan keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ia melakukan “aksi penentangan” terhadap realitas sosial itu dengan jalan meninggalkan kampung halamannya sebagai “protes” terhadap sistem adat yang tidak sesuai dengan Islam. Ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan keagamaan. Inilah titik berangkat dari sebuah perjalanan intelektual kedua setelah “Trio Haji” tokoh gerakan Paderi awal abad ke-19. Perjalanan ini kemudian membawa perubahan-perubahan yang signifikan terhadap gejolak pemikiran keagamaan di wilayah ini pada waktu-waktu selanjutnya.
Ahmad Khatib, (yang kemudian dikenal dengan : Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy), masih ada hubungan keluarga dengan tokoh-tokoh pembaharu awal abad ke 19 di wilayah ini. Ia dilahirkan pada tahun 1860. Menurut Hamka (Ayahku, h. 34-35), ia adalah putera Abdullah Chatib Nagari dengan Limbak Urai. Limbak Urai adalah anak kedua dari hasil perkawinan Tuanku Nan Rancak dengan Zainab puteri bekas regen Agam. Tuanku Nan Rancak sendiri adalah salah seorang ulama terkemuka di zaman Paderi. Sedangkan kakak dari Limbak Urai yang bernama Gandam Urai adalah istri dari Fakih Muhammad putera Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir murid Tuanku Nan Tuo Koto Tuo.
Perjalanan intelektual Ahmad Khatib selama di Makkah telah menempatkan dirinya sebagai salah seorang pemuka mazhab Syafi’i yang disegani, bahkan dia mampu menduduki posisi Imam besar Masjidil Haram atas kepercayaan Syarif Al-Haramain, suatu jabatan yang belum pernah diduduki oleh ulama di luar Arab. Disamping itu ia juga diberi hak untuk membuka majelis pengajian di Masjidil Haram sendiri. Sebagai guru besar mazhab Syafi’i, majelis pengajiannya banyak didatangi oleh murid-murid dari berbagai kawasan Islam di luar Arab, terutama dari Asia Tenggara. Beberapa ulama terkemuka telah terlahir dari majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib ini dan beberapa diantara mereka telah menjadi mufti di beberapa kerajaan di Sumatera Utara dan semenanjung Malaya, bahkan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sendiri juga pernah belajar ilmu hisab di majelis pengajiannya (Hamka, Ayahku, h. 232).
Pelajar-pelajar yang datang dari Minangkabau pada umumnya mendapat gem-blengan Syekh Ahmad Khatib, dan setelah pulang ke Minangkabau, mereka menjadi ulama-ulama yang disegani pula serta membuka majelis pengajian pada surau-surau di kampung masing-masing. Di antaranya adalah : Syekh H. Muhammad Thaib Umar yang kemudian membuka surau di Sungayang, Syekh Muhammad Jamil Jambek membuka surau di Bukittinggi, Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh Abdullah Ahmad dengan surau Jembatan Besi Padang Panjang. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang membuka surau di Candung, Syekh Ibrahim Musa dengan surau Parabek, Syekh Muhammad Jamil dengan surau Jaho Padang Panjang dan banyak lagi yang lainnya. Ulama-ulama awal abad ke-20 pada umumnya mendapat sentuhan pengajaran dari Ahmad Khatib, meskipun di kalangan mereka kemudian terjadi pembelahan pandangan, terutama menyangkut masalah-masalah tarekat, ijtihad serta masalah keagamaan lainnya. Pembelahan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda.
Ahmad Khatib bukanlah orang Minangkabau pertama yang belajar ke Mekkah pada dekade ini. Beberapa waktu sebelumnya telah lebih dahulu Syekh Abdullah Halaban. Ia berangkat ke Mekkah pada tahun 1865. Syekh Abdullah Halaban bermukim di Makkah selama l.k. 5 tahun untuk mendalami berbagai kitab dalam mazhab Syafi’i. Pada tahun 1870 kembali ke kampung halamannya di Halaban Kabupaten Lima puluh Koto dan mengajarkan ilmunya kepada murid-murid yang berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Bahkan diantara murid Syekh Ahmad Khatib seperti Syekh Sulaiman Ar Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Jaho telah lebih dahulu mendapatkan pengetahuan agama dari Syekh Abdullah Halaban sebelum berangkat ke Mekkah untuk berguru pada Syekh Ahmad Khatib. Beberapa diantara murid-murid yang belajar dengan Ahmad Khatib, bahkan sebelumnya telah memilki basis surau dan telah memiliki murid-murid di daerahnya. Namun demikian, perjalanan ke tanah Arab dan bermukim sambil belajar untuk beberapa tahun di sana, --pada waktu itu--, lebih memberikan legalitas tersendiri.
Adalah menjadi suatu konvensi yang tidak tertulis di kalangan ulama Minangkabau pada waktu ini, di mana seorang ulama dianggap belum lengkap keulamaannya bila masih ada ulama (guru) yang lebih ‘alim yang belum dikunjunginya untuk belajar. Semakin banyak guru yang didatangi maka semakin banyak pula spesifikasi yang dimiliki oleh ulama tersebut, karena guru-guru itu pada umumnya memiliki spesifikasi keahlian yang berbeda-beda, atau paling tidak berbeda dari segi kedalaman ilmu yang diberikannya. Sampai pada waktu ini, belajar ke pusat Islam (Makkah, Madinah atau wilayah Timur Tengah lainnya) menjadi ukuran tersendiri, --setidaknya menurut pandangan masyarakat-- apakah ulama itu sudah berhak memiliki murid dan surau sendiri atau tidak. Bahkan masyarakat tidak ragu-ragu untuk menyumbangkan dana, mewakafkan tanah dan sebagian dari harta benda mereka untuk membangun surau bagi tokoh mereka yang baru pulang belajar agama di Timur Tengah.
Banyaknya majelis majelis pengajian baik di Makkah, Madinah atau wilayah Arab lainnya telah memberi peluang bagi pelajar-pelajar yang datang dari berbagai penjuru dunia Islam untuk mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam. Beberapa diantara pelajar Minangkabau yang seangkatan dengan Ahmad Khatib, telah pula memperdalam pengetahuan keagamaannya pada majelis-majelis lainnya itu. Diantaranya adalah Syekh Thaher Djalaluddin dari Ampek Angkek, Syekh Khatib Muhammad Ali yang berasal dari Muara Labuh dan Syekh Muhammad Sa’ad dari Munka, Kabupaten Lima Puluh Koto.
Syekh Thaher Djalaluddin, anak Faqih Muhammad bin Syekh Djalaluddin Faqih Shagir, lahir di Ampek Angkek pada tahun 1869. Ia menyusul Ahmad Khatib belajar di Mekkah pada tahun 1880. Kemudian pada tahun 1895 belajar ke Mesir selama l.k. 3 tahun. Ia berkenalan dengan Sayyid Rasyid Ridha dan berlangganan dengan majalah Al-Manar. Di Mesir inilah dia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang telah berhembus di Mesir pada waktu itu. Perkenalannya dengan Al-Manar ini memberikan inspirasi kepadanya untuk mendirikan majalah “Al-Imam” di Singapura pada peralihan abad ke-19 dan 20; majalah yang pada awal abad ke-20 sangat berpengaruh terhadap perkem-bangan pemikiran di Nusantara dan di Minangkabau sendiri. Karir keulamaan Thaher Djalaluddin yang juga ahli ilmu Falak ini lebih berkembang di Singapura dan semenanjung Melayu. Ia sendiri diangkat oleh Sultan Perak menjadi mufti di kerajaan itu untuk beberapa waktu setelah Al-Imam tidak diterbitkan lagi. Namun sikap independensinya yang kental akhirnya mendorongnya untuk meletakkan jabatan itu dan untuk kemudian mendirikan Sekolah Agama Islam di Johor.
Syekh Khatib Muhammad Ali (1863) putra Muara Labuh, berangkat ke tanah Arab pada usia 21 tahun (1884) telah pula mengambil kesempatan memperdalam ilmu pengetahuannya dari majlis-majlis pengajian yang ada di sini. Ia belajar kepada guru-guru besar yang mengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Madinah, diantaranya kepada Syekh Utsman Fauzi Al-Khalidy Jabal Qubais, Syekh Sa’udasy Makkah, Syekh Ahmad Ridwan Madinah dan juga kepada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawy sendiri. Syekh Khatib Muhammad Ali pulang ke kampung halamannya setelah memperoleh kelulusan dalam ilmu keagamaan, ia juga sekaligus mendapatkan ijazah dalam bidang lainnya seperti tarikat Naqsyabandi dari Syekh Jabal Qubais serta ijazah ilmu Qiraah as-Sab’ah dari Syekh Maulana Sa’udasy.
Sedangkan Syekh Muhammad Saad Munka lebih kurang seusia dengan Ahmad Khatib. Ia lahir di Munka, Kabupaten Limapuluh Koto pada tahun 1857. Setelah beberapa tahun belajar dengan berbagai guru di daerah Lima puluh Koto, kemudian pada tahun 1894 melanjutkan ke Makkah, Madinah, Yaman dan Mesir, menuntut berbagai ilmu pengetahuan agama dan ilmu Hisab (Yunus Yahya, 1976 ; 14). Setelah kembali dari Timur Tengah, Syekh Muhammad Saad membuka pengajian di surau yang dibangun oleh masyarakat Munka dan mengajar murid-murid yang datang dari berbagai daerah. Diantara muridnya adalah Syekh Yahya Al-Khalidi Magek, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syekh Makhdum Solok, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, Syekh Muhammad Thaher Rasyid Payakumbuh, dan lain-lain.
Apa yang dikemukakan adalah kisah perjalanan intelektual sebahagian dari tokoh ulama Minangkabau pada paruh kedua abad ke-19. Perjalanan ini memberikan gambaran bagaimana “gairah” intelektualitas masyarakat Minangkabau dalam mengupayakan pencerahan dalam kehidupan sosial dan keagamaan, sebagai konsekuensi dari kesadaran akan realitas sosial yang terjadi di wilayah ini.
Diferensiasi Pemahaman dan Pemikiran Keagamaan
Apa yang dikemukakan sebagai “perjalanan intelektual” Islam pada penggal kedua abad ke 19 terdahulu adalah salah satu episode kesejarahan penting dari rangkaian pengalaman Minangkabau, terutama dalam lapangan keagamaan. Sementara tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu adalah mereka yang kemudian memainkan peran penting terhadap perkembangan sejarah agama Islam pada paruh pertama abad kedua puluh. Pemikiran keagamaan mereka yang terpublikasi lewat polemik keagamaan yang segar telah memberikan kontribusi bagi ‘hidup’nya dinamika lembaga-lembaga keislaman di wilayah ini.
Paling tidak ada tiga kelompok yang dapat ditunjukkan dalam menandai munculnya diferensiasi pemahaman dan pemikiran keagamaan dari tokoh-tokoh ulama yang disebutkan itu, yaitu : pertama : mereka yang dibesarkan dan dididik pada sistem pendidikan surau Minangkabau abad ke-19. Kedua, mereka yang mendapat pendidikan keagamaan di Makkah dan Madinah, dan ketiga, mereka yang mendapat pengalaman intelektual di Mesir.
Kelompok pertama adalah para ulama yang mewarisi tradisi pendidikan tradisional surau yang telah berlangsung sejak awal abad ini. Pada umumnya mereka adalah penganut tarikat Naqsyabandiah, karena tarikat ini berkembang dengan pesat pada waktu ini, terutama di wilayah pedalaman. Ulama-ulama ini aktif mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keagamaan sekaligus menyebarkan pengajaran tarikat dan secara konsisten telah mewarisi tradisi pengajaran guru-guru mereka. Generasi ulama awal abad ke 19 ini banyak diketahui dari riwayat pendidikan ulama-ulama yang kita sebut terdahulu, karena hampir semua ulama-ulama itu berguru kepada mereka, namun riwayat pendidikan mereka sukar untuk ditelusuri karena langkanya sumber untuk itu.
Sementara itu, kelompok kedua adalah ulama-ulama yang terlahir dari tangan guru-guru yang disebutkan belakangan. Beberapa diantara ulama ini, kemudian melanjutkan pendidikan mereka di Makkah, Madinah dan wilayah lain di jazirah Arab. Berbagai bidang pengetahuan agama telah mereka serap di beberapa majelis pengajian yang berkembang di wilayah itu, termasuk majelis pengajian Syekh Ahmad Khatib di Masjidil Haram. Kelompok kedua ini, sebelum melanjutkan pelajarannya, pada umumnya adalah penganut Naqsyabandiah. Diantara mereka berangkat ke tanah Arab untuk lebih mendalami pelajaran agama Islam dalam mazhab Syafii, seperti ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan ilmu-ilmu alat seperti Nahu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain, dan sebagiannya mempelajari ilmu Falak, bahkan ada diantaranya yang sekaligus juga memper-dalam pengajian tarikat Naqsyabandiah di Majelis pengajian tarikat ini di Madinah.
Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama-ulama yang mendapatkan pengaruh dari pembaharuan Islam di Mesir. Ulama-ulama ini pada awalnya belajar di Makkah, kemudian melanjutkan ke Mesir, karena tertarik dengan gelombang pembaharuan yang sedang berhembus di wilayah ini. Pemikiran-pemikiran keagamaan, terutama berkaitan dengan ide Pan Islamisme dan ide tentang kebangkitan Islam untuk terbebas dari kejumudan berfikir, menjadi tema sentral gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Ini telah mendorong keinginan sebagian ulama murid Ahmad Khatib untuk belajar ke Mesir.
Munculnya tiga kelompok ulama dengan latar belakang pendidikan dengan corak pemahaman yang berbeda itu pada gilirannya menjadi cikal bakal mun-culnya pertikaian pandangan diantara mereka. Pertikaian ini di satu sisi berkisar antara yang mempertahankan status quo penganutan terhadap tarikat Naqsyabandi dan yang menolak, namun di sisi yang lain pula muncul pemahaman tentang perlunya melakukan berbagai perubahan paradigma kepenganutan terhadap satu mazhab. Dikemukakan juga bahwa sikap taqlid terhadap mazhab telah menjadi penyebab mandegnya kerangka pikir umat Islam dalam memberikan konsepsi terhadap Islam itu sendiri. Pemikiran yang disebut terakhir inilah yang telah berkembang di Mesir terutama dari pembaharu-pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha.
Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiah dilancarkan oleh Syekh Ahmad Khatib. Tarikat yang pada waktu itu banyak dianut oleh ulama-ulama setempat termasuk murid Ahmad Khatib yang sudah pulang ke Minangkabau, yang oleh Ahmad Khatib sendiri dikatakan sebagai telah diselipi oleh amalan-amalan bid’ah. Serangan ini dikemukakan melalui tiga buah bukunya : Izhar zoeghal al-kadhibin fi tasybihihim bi’lcadiqin, al-Ajat al-baijjinat li’lmuncifin fi izalah choenafat ba’d al-moeta’accibin, dan al-Saif al-battaar fi mahq kalimat ba’d ahl al-ightirar. Ketiga buku ini dihimpun dalam satu bundel dan diterbitkan di Mesir pada tahun 1326 H (1908 M) (cf. Schrieke; 31). Motivasi pertama penulisan buku tersebut oleh Ahmad Khatib adalah karena pertanyaan yang diajukan oleh muridnya Syekh Abdullah Ahmad sewaktu dia belajar di Makkah yaitu tentang hukum melakukan rabithah sebagai yang menjadi amalan tarikat Naqsyabandiah, apakah rabithah itu dibolehkan dalam syara’ atau tidak. Ahmad Khatib dengan jelas mengemukakan bahwa rabithah atau amalan zikir dengan menggunakan mediasi guru adalah bid’ah dan sama sekali tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Buku Ahmad Khatib ini mendapat respon yang begitu luas dari kalangan ulama Minangkabau, karena hujatan ini dirasakan bagaikan badai yang muncul di tengah semilir angin yang berhembus di seputaran Merapi dan Singgalang. Tak pelak beberapa ulama tokoh tarikat Naqsyabandi di wilayah ini merasa perlu melakukan counter atas serangan tersebut. Adalah Syekh Muhammad Sa’ad Munka seorang guru Naqsyabadiah yang piawai dalam menulis, kemudian melakukan pembelaan atas ajaran tarikat Naqsyabandiah. Demikian juga Syekh Khatib Muhammad Ali dan Syekh Sulaiman Ar-Rasoely.
Dua buku ditulis oleh Syekh Muhammad Sa’ad Munka, yaitu : Risalah Irgham oenoef almoefanitin fi inkarihim rabitah alwacilin dan Risalah Tanbih al ‘awaam ‘ala Thariqat ba’d al anaam sebagai bantahan terhadap serangan Ahmad Chatib terhadap Naqsyabandiah. Kedua buku ini diterbitkan di Padang pada tahun 1910. Syekh Khatib Muhammad Ali juga menerbitkan terjemahan dari karya Sajjid Moehammad bin Mahdi al-Koerdi yang berjudul : Risalah Naqsyabandijjah fi Asas ictilah al naqsyabandijjah min aldhikr alchafij wa’irabithah wa’lmoeqarabah wadf’ali’tirad bi dhalika. Karangan yang berisikan apologi terhadap Naqsyabandi ini diterbitkan di Padang 1326 H, dan disusul pula dengan saduran atas karya ‘Abd al-Ghani bin Isma’il al-Naboeloesi yang berjudul : Miftah al-Ma’ijjah. Semua buku ini berusaha untuk melakukan pembelaan terhadap tarikat Naqsyabandi atas tuduhan bid’ah yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Khatib.
Tokoh-tokoh ulama Naqsyabandi secara gencar dalam tulisan mereka membuk-tikan bahwa amalan-amalan yang terdapat dalam tarekat Naqsyabandiah adalah berasal dari al-Qur'an dan Sunnah. Syekh Khatib Muhammad Ali mengemu-kakan bahwa orang pertama yang meletakkan dasar tarekat Naqsyabandiah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq yang didapatkannya dari Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri memperolehnya dari malaikat Jibril langsung dari Allah SWT. Ada dua bentuk rabithah dalam praktek ritual Naqsyabandi, yaitu : rabithah ¬guru dan rabithah kubur. Menurut Syekh Khatib Muhammad Ali, rabithah guru merupakan wasilah atau perantara untuk sampai kepada Allah dan bukan berarti menyembah guru. Membungkukkan kepala kepada guru juga bukan kultus yang sama dengan perlakuan kepada Allah, tetapi merupakan wujud penghormatan dan dilakukan dengan tidak melebihi batas ruku’ dan sujud. Penghormatan terhadap guru semata-mata karena Allah. Sedangkan rabithah kubur hanyalah menjadi sarana untuk mengingat bahwa setiap makhluk hidup pasti akan mati dan dengan demikian hatinya akan selalu ingat kepada Allah SWT. Secara umum, dalam berbagai kitab yang disebutkan terdahulu pada dasarnya bertujuan untuk membela tarekat Naqsyabandiah dan memberi penjelasan bahwa tidak ada sama sekali tujuan negatif yang terselip dalam ajaran-ajaran tarekat Naqsyabandiah yang dapat menggelincirkan ummat dalam kesesatan. Apapun yang diamalkan dalam tarekat Naqsyabandiah, adalah bersumber kepada al¬-Qur'an dan Hadits Rasulullah.
Dikhotomi Kaum Tua dan Kaum Muda
Serangan terhadap tarikat Naqsyabandiyah kedua muncul dari kalangan ulama yang mendapat pengaruh gejolak pemikiran yang berkembang di Mesir. Sasarannya tidak hanya tarikat Naqsyabandiah dan tarikat-tarikat lainnya, akan tetapi lebih luas lagi, yaitu semua paham keagamaan yang dianggap konvensional dan masih taqlid kepada salah satu mazhab. Pemikiran baru ini berawal dari munculnya majalah “Al-Imam” yang diterbitkan di Singapura oleh salah seorang ulama Minangkabau yang baru kembali dari Mesir, yaitu Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah ini pada penerbitan pertama tahun 1906 memuat artikel-artikel dengan pemahaman baru bidang keagamaan yang oleh sebagian besar ulama-ulama Minangkabau pada waktu itu terasa asing dan sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diperpegangi.
Majalah “Al-Imam” ini pada dasarnya, merupakan perpanjangan tangan dari majalah “Al-Manar” Mesir yang diterbitkan oleh Sayid Rasyid Ridha dan pendahulunya majalah “Urwatul Wutsqa” yang diterbitkan di Paris oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Kedua majalah ini memuat berbagai artikel yang berkaitan dengan penyadaran umat Islam untuk bangkit dari kejumudan berfikir yang disebabkan oleh sikap taqlid terhadap hasil ijtihad para Imam Mazhab. Bahkan dalam majalah Al-Manar dimuat penafsiran-penafsiran baru Al-Quran oleh Muhammad ‘Abduh yang kemudian dikenal dengan Tafsir Al-Manar.
Pemikiran pembaharuan ini telah pula mengilhami beberapa ulama Minangkabau yang belajar dengan Syekh Ahmad Khatib, yaitu Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Muhammad Thaib Umar. Keempat orang ini adalah murid Syekh Ahmad Khatib, dan (kecuali Syekh Muhammad Thaib Umar) juga belajar dengan Syekh Thaher Jalaluddin. Oleh karenanya pemikiran-pemikiran keagamaan yang disebarkan Al-Imam, maupun Al-Manar dan Al-‘Urwatul Wutsqa” menjadi rujukan bagi ulama-ulama ini dalam melancarkan misi pembaharuan keagamaan di wilayah Minangkabau (Hamka, Ayahku, 1967 ; 80-dan 92). Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan Kaum Muda ; istilah yang dipertentangkan dengan Kaum Tua sebagai kelompok status quo yang bertahan dengan pemahaman tradisional keagamaan hasil ijtihad imam Mazhab yang diterima dari guru-guru mereka, termasuk dari Syekh Ahmad Khatib sendiri.
Pertentangan kedua kubu ini berkembang menjadi polemik-polemik dan perdebatan-perdebatan terbuka. Hal ini berakibat pada terjadinya polarisasi kehidupan beragama dalam masyarakat Minangkabau, termasuk kalangan ulama-ulama sendiri. Surau-surau Minangkabau pun tak terhindarkan pula dari pengaruh pembelahan ini. Karena surau-surau sebagai pusat aktifitas masing-masing berusaha secara gencar menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka melalui berbagai kesempatan dan berbagai media. Keadaan ini diasumsikan sebagai implikasi positif dari perkembangan Islam awal abad ke-20 ini dan sekaligus merupakan fase kedua revolusi intelektual yang terjadi di Minangkabau setelah gerakan Paderi (cf. Mestika Zed,2002). Intensitas pem-bahasan soal-soal keislaman dan kemasyarakatan menjadi lebih meningkat dari waktu-waktu sebelumnya, surau-surau sebagai wadah pendidikan dan pengajian Islam pada waktu ini semakin memperlihatkan aktifitasnya dalam berbagai lapangan.
Dari sentra surau lahir berbagai gagasan transformasi keilmuan seperti perubahan metode pengajaran, penerbitan buku-buku, surat kabar, tabloid, dan bahkan dari sinilah pula munculnya gagasan mendirikan lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan yang berorientasi pada pengukuhan proses transformasi itu sendiri, --meski pada skala tertentu-- juga untuk tujuan apologetis dari masing-masing kubu yang disebutkan. Namun semua itu, pada gilirannya, sangat diperlukan dalam rangka pencerdasan bangsa untuk meredusir proses “pembaratan” yang sudah berlangsung melalui aksi politik etis Belanda sejak pertengahan abad ke-19.
© Irhash A. Shamad / www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Alas Wacana
Minang Madany akan memediasi berbagai pemikiran tentang geliat Islam di Minangkabau sepanjang sejarah.
About Me
Labels
- Biografi (1)
- Budaya (6)
- Dinamika Intelektual (4)
- Falsafah Adat (2)
- Institusi Sosial (1)
- Inyiak Candung (1)
- Kepemimpinan (2)
- Masjid/Surau (1)
- Naqsyabandiah (1)
- Pembaharuan Islam (3)
- Pemikiran Islam (2)
- Perang Belasting (1)
- Perang Manggopoh (1)
- Sejarah Budaya (4)
- Sejarah Masjid (1)
- Sejarah Pendidikan (3)
- Sejarah Sosial (2)
- Sejarah Tarikat (1)
- Sistem Sosial (2)
- Sufisme (3)
- Surau (2)
- Syathariyyah (1)
- Tokoh/Ulama (2)
- Transformasi Nilai (1)
- Ulama (1)