Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat ini kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Diantaranya yang utama adalah Kapeh-Kapeh, Pamansiangan, Koto Tuo Cangking, Koto Tuo Empat Koto dan lain-lain (Sanusi Lathief, 1988). Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ini menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan. Perkembangan ini memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syathariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis baru keislaman. Sintesis baru itu sangat mungkin merupakan akibat pertemuan Syathariah dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, antara lain pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat yang disebut terakhir ini juga telah memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri .
Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syathariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tashauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995;288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tashauf ini tidak hanya berisikan ajaran tashauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (cf. Dobbin, 1992; 151-152).
Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Meskipun perkembangan Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Dari sisi konflik keagamaan yang terjadi itu, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan polemik pemikiran keagamaan yang tertuang dalam berbagai naskah keagamaan yang tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Islam di Minangkabau sebelum masuknya Aliran Tashauf
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa aliran tashauf dalam bentuk tarikat paling awal masuk ke Minangkabau adalah pada paruh pertama abad ke 17, yaitu tarikat Naqsyabandiyah kemudian menyusul tarikat Syatariyah pada paruh kedua abad ke 17. Tarikat yang disebut terakhir dibawa oleh Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pesisir barat Sumatera Barat, tepatnya pada tahun 1070 H./1659 M. Pada waktu ini, sebenarnya, Islam sudah dikenal secara umum di Minangkabau dan sudah menjadi anutan masyarakat, meski praktek pengamalan ajaran Islam tidak merata di seluruh nagari dan masih saja terdapat praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dari beberapa fakta yang ditemukan, diketahui bahwa setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir timur Sumatera. Salah seorang muballigh Islam yang berperan dalam proses konversi Islam tahap awal ini adalah Syekh Burhanuddin Kuntu. Diperkirakan dari wilayah timur inilah Islam pertama kali diperkenalkan ke wilayah pusat Minangkabau .
Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer yang dapat digunakan, selain dari beberapa sumber sekunder yang mengemukakan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di wilayah jalur perdagangan . Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan oleh mubaligh Minangkabau ke luar wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Midanao dan Sulu, Pilipina selatan , dan Syekh Ahmad yang mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 1467 . Baru pada awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal (Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro).
Persebaran Aliran Sufi di Minangkabau
Setidaknya ada tiga aliran tashauf yang berkembang di Minangkabau, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Diantara ketiga aliran ini maka aliran Syathariyah adalah yang paling mudah ditelusuri sejarahnya di Minangkabau. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa thariqat ini pertama kali dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman pada tahun 1659 setelah ia mempelajarinya dari Syekh Abdur Rauf Singkil, murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan banyak dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau untuk belajar, dan setelah menamatkan pelajaran, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk meneruskan pengajaran yang diberikan Syekh Burhanuddin. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling dikenal dalam pengembangan ajaran Syathariah di wilayah pedalaman Minangkabau ialah Tuanku Nan Tuo di Mansiang dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Mansiang.
Tarikat Naqsyabandiah, diperkirakan sudah lebih dulu masuk ke Minangkabau dibanding dengan Syathariyah, namun jaringan pengembangannya tidak banyak diberitakan. BJO Schrieke (1973) menyebut tentang Syekh Ismail Simabur sebagai syekh Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Menurutnya, Syekh Ismail menyebarkan tarikat ini kira-kira pertengahan abad ke 19. Schrieke juga menerangkan tentang beberapa nama ulama yang melanjutkan penyebaran tarikat ini, diantaranya Syekh Jalaluddin Faqih Shagir, Cangking (w. 1870) dan Syekh Abdul Wahab Kumpulan (w.1915). Akan tetapi berbeda dengan Schrieke, Christine Dobbin (1992) mengemukakan bahwa tarikat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad 17 yang dibawa oleh seorang cendikiawan dari Pasai Sumatera timur laut, dan tinggal beberapa waktu di Agam dan 50 Kota .
Sependapat dengan Dobbin, Azyumardi Azra (1995) dengan merujuk Ph. S. Van Ronkel, juga mengemukakan bahwa yang membawa tarikat ini adalah Jamaluddin, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan ke Bayt Al-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, kemudian pulang ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17 M. dan aktif menyebarkan tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya ini . Selanjutnya disebutkan juga bahwa Jamaluddin adalah penulis teks fiqh Naqsyabandiyah yang berjudul Lubab Al-Hidayah yang didasarkan atas ajaran Ahmad Ibn ‘Alan Al-Shiddiqi Al-Naqsyabandi.
Dari dua sumber terakhir, diperkirakan bahwa tokoh pembawa tarikat Naqsyabandiyah adalah Jamaluddin, meskipun Dobbin tidak secara eksplisit mengemukakan nama itu, bahkan menduga bahwa tokoh ini berasal dari Aceh. Berdasarkan kedua sumber ini dapat disimpulkan bahwa Tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang dengan baik di wilayah pedalaman Minangkabau sebelum ajaran tarikat Syathariyah masuk ke wilayah ini. Hingga akhir abad ke-18 tarikat Naqsyabandiyah memperoleh tempat yang subur di wilayah pedalaman Minangkabau, karena beberapa ajarannya yang dapat diterapkan oleh masyarakat awam, apalagi guru-guru tarikat yang membaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Dobbin menjelaskan bahwa banyak guru-guru tarikat ini yang menjalani kehidupan sebagai petani biasa . Suatu perbedaan yang sangat besar dengan tradisi guru-guru Syatariyah di wilayah pesisir. Pusat-pusat tarikat Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18 di wilayah pedalaman terletak di desa-desa pertanian yang subur, seperti Taram di Lima Puluh Kota, Cangking di Agam, dan Talawi di Tanah Datar
Sedangkan tarikat Samaniyyah tidak didapatkan data yang lebih pasti tentang kedatangannya di Sumatera Barat, namun dari beberapa keterangan dari masyarakat Pasaman, tarikat ini dibawa oleh Syekh Muhammad Said Padang Bubus yang sebelumnya belajar tarikat ini di Sumatera utara. Kemudian diketahui bahwa pada akhir abad ke 19 di desa Kumango Batu Sangkar berdiri suatu perguruan tarikat Samaniyyah yang dipimpin oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidy (w.1931). Ia mempelajari tarikat ini dari Syekh Muhammad Amin Ridhwan, murid Syekh Muhammad Samman Al-Qadiry di Madinah. Diantara murid-murid tarikat ini di Minangkabau adalah : Syekh Muda Abdul Qadim Balubus 50 Kota dan Syekh Ahmad Barulak, Tanah Datar .
Sufisme dan Aktifitas Sosial dan Ekonomi
Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat (nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota.
Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan, seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi . Kesaksian Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin (selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst” Dalam naskah HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawi yang terjadi diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat kebanyakan.
Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat pada akhir abad ke 18 di wilayah pedalaman, agaknya telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya permintaan komoditi kopi, sementara tidak diiringi dengan adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalin kerjasama perdagangan. Kondisi seperti ini lebih diperparah lagi oleh munculnya berbagai bentuk kejahatan di kalangan masyarakat, seperti perampasan barang dagangan. Pasar-pasar yang sudah aktif untuk kegiatan transaksi perdagangan, sering diwarnai dengan kegiatan judi, sabung ayam, dan bahkan tidak terkecuali penjualan candu dan tuak. Di samping itu berbagai sengketa dagang juga tidak terelakkan. Banyak para pedagang mengalami kesulitan apabila bersengketa dengan pedagang dari desa tetangga, terutama menyangkut hutang piutang. Para penghulu di desa-desa pasar biasanya menyelesaikan persengketaan berdasarkan hukum adat. Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat sering tidak menyelasaikan masalah, karena kurang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa dan karena ketentuan adat yang sangat terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda-beda. Dalam kaitan ini, posisi surau adalah sangat strategis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.
Dalam keadaan masyarakat seperti ini, keberadaan surau, terutama di wilayah pedalaman, semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat, terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan harta kekayaan. Meluasnya masalah yang ditemui oleh masyarakat dalam hal perdagangan, mengimplikasikan perlunya pengaturan yang lebih rasional dalam hal sistem perdagangan yang dijalankan, sementara itu, surau dianggap lebih dapat memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-kaidah agama yang jelas dan rasional.
Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau ini pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini, sehingga dapat berdampingan dengan adat masyarakat setempat.
Tingkat kemakmuran masyarakat akibat kegiatan perdagangan telah pula menarik jumlah lebih banyak murid-murid untuk mendalami pengetahuan agama di surau-surau yang ada. Untuk mengimbangi keadaan ini, beberapa suraupun melibatkan diri dengan kegiatan perdagangan dan bahkan tidak jarang suatu surau ikut menghasilkan komoditi pertanian yang mereka usahakan dengan murid-muridnya di sekitar surau itu. Pada akhir abad ke 18 surau-surau di Agam dan Lima Puluh Kota telah mengambil keuntungan dari perubahan perdagangan ini. Murid-murid surau diwajibkan memperkenalkan pembaharuan norma-norma kehidupan yang berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat, terutama yang menyangkut dengan masalah perdagangan. Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh...dst” .
Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat dalam kehidupan sebagai muslim yang baik . Ia mengirim murid-muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai pelindung para pedagang
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18, agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian-- memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini.
Namun demikian sebelum kita sampai pada kesimpulan itu, agaknya perlu dilihat faktor-faktor apa yang telah membentuk kondisi dialektis dan dinamis seperti itu, apakah dapat dihubungkan dengan ajaran tashauf yang berkembang secara umum di wilayah ini ?, ataukah merupakan sebuah keadaan yang dibentuk oleh faktor-faktor eksternal yang mencirikan lingkungan lokalitas di mana ajaran itu dikembangkan hingga melahirkan diamika yang spesifik?. Hal ini akan menjadi bahasan pada sub berikutnya.
Dinamika Sufisme di Pedalaman : Ke Arah Pembaharuan Awal
Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya digunakan dalam tulisan ini. Untuk melihat perkembangan secara lebih jelas, agaknya perlu diketahui siapa sebenarnya Tuanku Nan Tuo, demikian juga latar belakang pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.
Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo pernah belajar dengan salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan yang bernama Tuanku Nan Tuo di Mansiang. Kedalaman ilmu yang dimilikinya di berbagai bidang ilmu juga didapatkan dari beberapa Tuanku di luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Ia dikenal dengan kealiman dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh beberapa penulis , akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh Burhanudin Ulakan . Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo semuanya….” .
Dengan demikian diketahui bahwa di antara guru-guru Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek, sebagaimana disebutkan itu, hanya satu orang yang mempunyai pertalian dengan pengembangan tarikat Syathariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo di Mansiang, selebihnya adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at. Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah dari Tuanku Nan Tuo di Mansiang, namun ia tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang mengajarkan tarikat. Tentang ilmu hakikat yang juga dikuasainya sebagaimana diceritakan oleh muridnya Jalaluddin di dalam naskah HSJ, hanya dapat memastikan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah seorang penganut sufisme dan tidak didapatkan satupun keterangan tentang pengembangan tarikat Syathariyyah di surau Tuanku Nan Tuo dan di kalangan murid-muridnya.
Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18, setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek. Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri. Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara eksplisit , namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking Ampek Angkek . Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah kiblat dan sebagainya .
Selain itu, ajaran inti kedua aliran tarikat itu sama-sama didasarkan pada wajibul wujud (kewajiban ‘Ada’), dan hanya berbeda dalam memandang yang ‘Ada’ itu. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian menyebabkan aliran-aliran tarikat mengembangkan cara masing-masing dalam pencapaian (muraqabah) terhadap ‘Ada’ itu, yang antara lain dengan cara melakukan latihan rohani dengan berzikir hingga mencapai tingkat fana’. Untuk mencapai taraf ini, kedua aliran melakukan cara (tarikat) dan penerapan yang berbeda. Aliran tarikat Syathariyyah yang dikembangkan di Ulakan memandang bahwa seluruh isi alam ini pada hakekatnya tidaklah ada, yang pasti ada hanyalah Allah Ta’ala. Ini disebut dengan wihdatul wujud (kesatuan Ada). Upaya pencapaian seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada yang Ada itu dengan melakukan zikir sambil memejamkan mata dan menentukan jumlah sebutan nama Allah dengan buah tasbih . Sementara itu dalam pandangan Naqsyabandiyah eksistensi alam ini adalah kesaksian atas adanya Allah Ta’ala atau disebut dengan wihdatus syuhud (kesatuan kesaksian) . Penganut tarikat ini diajarkan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melakukan suluk (bersunyi diri) selama beberapa hari yang diisi dengan latihan-latihan rohani dan zikir qalbi (berzikir dalam hati).
Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau, dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat diperbaiki oleh kalangan ulama .
Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa kasus, sulit mengidentifkasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di wilayahnya. Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat . Aktifitas Tuanku Nan Tuo, salah seorang ulama yang sangat dikenal di wilayah Agam pada dekade ini misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia juga seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu . Bahkan sangat mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Tuanku Nan Tuo tidak pernah disebut dengan gelar Syekh . Ia lebih dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo, juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet , ia memperoleh cukup kekayaan dari aktifitas perdagangan itu. Hampir semua ulama di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti perdagangan, pertanian dan sebagainya.
Dari fakta yang dikemukakan itu, agaknya menjadi jelas, bahwa pengembangan tarikat Syathariyyah di wilayah pedalaman mendapat “pengalaman baru” dibanding perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang berbeda dengan ajaran tarikat Syathariyah. Berdasarkan kronologis masuknya aliran tarikat, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka di wilayah ini sangat mungkin aliran tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang lebih dahulu dan penyebarannya sudah merata, terutama di Agam dan Lima Puluh Kota. Tidak mustahil, bahwa pertemuan Syathariyah dengan Naqsyabadiyahlah yang melahirkan suatu sintesis baru dalam lapangan sufisme, sehingga implementasi ajaran sufisme itu lebih responsif terhadap persoalan masyarakat di pedalaman ini. Oleh karenanya, beberapa sumber sering dibingungkan apakah Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek . Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu, agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri .
Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri, tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar dari prototipe gerakan sufisme sendiri.
Kesimpulan :
a. Perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah.
b. Latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau.
© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar “Multaqa Tsaqafy”, Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam (FPI), University Kebangsaan Malaysia (UKM). Bangi, Malaysia 25 Oktober 2007.
Sumber : http://www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Tidak ada bukti tertulis sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan pelaku peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti. Namun masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih populer disebut sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau (selanjutnya ditulis Minang). Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah disingkat dengan ABS-SBK (adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.). Namun karena berbagai versi juga ada yang menyatakan konsensus pertama antara kaum adat dan ulama berbunyi “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama Islam, Islam bersendi adat).
Ketiadapastian peristiwa itu dan hampir tidak adanya tulisan Belanda mengundang munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat di Minang. Bahkan perhatian mereka tentang hubungan antara variabel adat dan agama dewasa ini juga berkembang untuk kasus-kasus di luar dan dalam masyarakat Minang. Misalnya karya Hamka (terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya Ratno Lukito (1998) tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah karya C. Snouck Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tahun 1991.
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses dialogis antara kedua kaum itu. Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. Periode kemunculan ABSSBK itu ialah antara permulaan masuknya Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda hingga pasca perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan menggunakan pendekatan konflik.
Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik masyarakat Minang. Konsep tersebut relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya, sehingga falsafah itu berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang. Falsafah itu hampir sama dengan falsafah di daerah lain seperti di Aceh yang diekspresikan dengan “hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut” (hukum adat dan Islam tidak dapat dipisahkan, seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal “adat dibikin di mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid).
Sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian itu terjadi di puncak Bukit Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah, berdasarkan foklor berasal dari kata “Merapatkan Alam” yaitu merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo.. Asumsi lain tentang nama itu ialah rapat untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan ulama atau antar ulama yang berbeda mazhab dan tariqat.
Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah fakto atau pakta (puncak untuk membuat perjanjian). Asumsi lain ialah berasal dari kata patongahan (pertengahan) antara kedudukan Tuanku Lintau di Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung di Pagarruyung.
Daerah tersebut strategis karena terletak di daerah perbukitan yaitu antara Kecamatan Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Kaum Paderi maupun pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) menggunakan wilayah itu sebagai pertahanan gerilya. Daerah tersebut relatif dekat dengan Luhak nan Tigo sehingga mudah memantau musuh jika bergerak dari Nagari Sungayang, Tanjung, Andalas, dan Marabukit untuk menuju Bukit Marapalam. Belanda sendiri pada masa perang Paderi sulit membobol pertahanan kaum Paderi, sehingga Belanda harus mengerahkan sekitar 150 tentara untuk menaklukannya dan merebut daerah tersebut. Daerah itu juga strategis untuk persediaan logistik, karena Lintau dikenal sebagai penghasil beras di Minang. Selain itu daerah tersebut termasuk kekuasaan Tuanku Lintau yang berkedudukan di Tepi Selo Lintau.
Beberapa versi di sini berdasarkan laporan penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam (1991). Versi pertama tentang peristiwa kemunculan piagam sumpah satie itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minang. Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara tersirat ia memperkirakan masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”.
Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam.
Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Dalam makalah “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, Azwar menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam Minang oleh Paderi.
Alam Minang terdiri dari rantau dan luhak nan tigo. Rantau Minang mencakup wilayah di luar Luhak nan tigo itu, yaitu rantau timur (Kampar, Siak, Rokan, Asahan, Indragiri, Jambi dan Batang Hari) dan rantau barat di Pantai Barat Sumatera (Natal, Sibolga, Barus, Singkel, Trumon, Tapak Tuan, Meulaboh, Tiku, Pariaman, Indrapura, Muko Muko, Majuto dan Bangkahulu). Luhak nan tigo yaitu Luhak Agam (sekeliling Bukittinggi), Luhak Tanah Datar (selingkar Batu Sangkar) dan Luhak Lima Puluh Kota (sekitar Payakumbuh). Secara geografis ketiga luhak itu relatif berdekatan, terutama antara Luhak Tanah Datar dengan Luhak Lima Puluh Kota.
Sejarah perkembangan Islam di Minang adalah sejarah perkembangan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab.
Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Masuknya Islam pada masa itu menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing. Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.
Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak. Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah oleh putera mahkota pertama Majapahit keturunan Kertanegara dan Dara Petak dari Minang, yaitu Adityawarman.
Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang. Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat Malaka.
Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Sementara Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha dan Dinastinya berlanjut sampai tahun 1581 M. Kekuasaannya hanya terbatas di sekitar kerajaannya. Bahkan Mochtar Naim dalam karyanya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984) mengatakan bahwa raja hampir tidak memiliki kekuasaan apa-apa di Minang. Ia hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan. Terutama setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda yang disebut rajo kaciak (raja kecil) dan (atau) penghulu di rantau. Raja (kingship) berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate), disebut juga Rajo Tigo Selo yang bersemayam di Pagarruyung di Luhak Tanah Datar. Mereka adalah Rajo Alam (sebagai primus inter pares dari ketiga kuasa itu), namun yang lainnya yaitu Rajo Adat dan Rajo Ibadat sesungguhnya berkedudukan dan mempunyai daerah masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus.
Kekuasaan tiga serangkai itu diperkuat oleh dewan menteri yang disebut Basa Ampek Balai. Sistem tersebut dicontoh dari Kerajaan Majapahit yang pernah dipimpin hanya oleh Patih Gdjah Mada sendiri. Mereka adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso dan Indomo dari Sumanik. Kuasa mereka diperkuat pula oleh Tuan Gadang dari Batipuh untuk urusan pertahanan. Sebelum kerajaan Pagaruyung diruntuhkan Belanda, dalam tahun 1821 Sultan Begagar Alamsyah telah mempermaklumkan kepada seluruh rakyat di Minangkabau untuk angkat senjata, perang melawan penjajah Sejak itu perang Paderi telah berubah bentuk menjadi perang Minangkabau. Sesungguhnya kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama sudah terlaksana, sebagai realisasi dari piagam Bukik Marapalam dan Kesepakatan Tandikat.
Jauh sebelum perang Paderi, pernah tercatat tahun 1411 M raja Pagarruyung keempat Dewang Pandan Sutowono (Raja-raja Pagarruyung yaitu Adityawarman, Anggawarman_anaknya, Dewang Duato Doewano_keponakan pertama, Dewang Pandan Sutowono_keponakan kedua) dan permaisurinya sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau dikenal juga Syekh Ibrahi (Maulana Malik Ibrahim).
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat. Sebagaimana yang disebutkan L.C. Westenenk dalam karangannya Opstellen over Minangkabau bahwa masa adaik mananti, syarak mandaki telah ada upacara ritual pada dua buah batu di Pincuran Tujuh di Batang Sinamar, Kumanih. “Batu Palimauan” tempat Rajo Ibadat disucikan dengan limau (jeruk) sebelum mengucapkan kalimat Syahadat dan “Batu Pa-Islaman” tempat Syekh Ibrahi melakukan khitanan kepada mereka. Namun kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala itu.
Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli Pono. Ia berguru kepada Syekh Abdurrauf di Aceh. Ia berdakwah ke Minang dengan membuka sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek Padangpanjang yang ramai dikunjungi oleh murid dari Luhak nan Tigo. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat. Istana Pagarruyung juga menjadi sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang.
Masa itu sempat terjadi perbedaan pendapat antara penghulu sendiri, dan di antara yang tidak setuju itu kemudian menentang ulama. Namun kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang. Kesepakatan itu bertujuan untuk saling mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan Penghulu seperti panungkek, manti dan dubalang.
Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin sebagai penggagas piagam sumpah satie tersebut dengan dua muridnya (salah satu muridnya Idris Majolelo) bersama penghulu Ulakan menemui Yang Dipertan Agung Pagarruyung. Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai melakukan upacara pemotongan kerbau. Mereka memakan dagingnya, dikacau (menebarkan) darahnya, ditanam tanduknya, dilacak pinang dan ditapung batu, ‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang sumpah jo satie, siapa yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan kutuk Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat.
Semenjak itu muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak mandaki, adaik manurun; syarak lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati, adaik babuhue sintak; syarak balindueng, adaik bapaneh; syarak mangato, adaik mamakai; syarak batilanjang, adaik basisampieng (___).
Semenjak Aceh di bawah Sultanat Tajul Alam Shafiathuddin Syah menguasai Pantai Barat Sumatera dari tahun 1641-1675 M, Sultan nan Salapan dari Pagarruyung diperintahkan turun ke Aceh, Bantam, Palembang, Jambi, Indragiri, Siak, Rokan, Sungai Pagu, Indrapura, dan Pariaman untuk menjadi raja dan berdakwah. Mereka juga yang menyampaikan buek parbuatan (piagam sumpah satie Bukik Marapalam) kepada masyarakat di alam Minang. Kepergian Sultan nan Salapan dilepas oleh rajo-rajo (raja-raja), manti-manti, Basa Ampek Balai, penghulu-penghulu, tuanku-tuanku dan para hulubalang yang diundang dari Luhak nan Tigo. Mereka yang diundang sekaligus ditugaskan menyebarkan piagam sumpah satie itu. Ketika itu Pagarruyung telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo nan Sati yang dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung yang pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Versi kedua yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal gerakan/perang Paderi. Gerakan Paderi yang diilhami oleh kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci, Arab Timur. Paham Wahabi berkembang sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak mengembalikan kemurnian Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu orang dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh. Daerah pertahanan yang strategis bagi kaum Paderi adalah puncak Bukit Marapalam. Namun mereka khawatir korban bertambah di kalangan masyarakat. Kaum Paderi menggagas perjanjian dengan kaum adat. Datuk Bandaro berinisiatif menemui Datuk Samik untuk menyetujuinya. Kesepakatan mereka dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan. Mereka berhasil mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu ABSSBK.
Versi ketiga yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal perang Paderi sekitar tahun 1803-1819. Kedua pihak yang berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan mendadak ke nagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar jalan bukit Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. Kaum adat melirik bangsa Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi perang Paderi. Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian itu yang lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat untuk berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. Tersebutlah Datuk Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang memprakarsai perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa Tuanku Lintau yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi keempat yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa vacum perang Paderi. Kaum Paderi menganggap kaum adat dan Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Strategi Belanda yaitu mengalihkan pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa, sementara Belanda pura-pura berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan kaum adat belum juga berdamai. Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi dengan kaum adat untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari kaum adat yaitu Datuk Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan ajaran Islam kepada mereka) adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reja semenjak perjanjian itu, namun pertentangan masih terasa antara para datuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Versi kelima yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam masa Perang Paderi II. Strategi perang Belanda berhasil, terbukti dengan kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya benteng pertahanan Paderi Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831. Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Semua Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah terlanjur diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan adat. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Kembali disebut-sebut Tuanku Lintau sebagai pemerakarsanya.
Versi keenam yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam pada akhir perang Paderi. Setelah kekalahan Paderi Belanda bisa menguasai Minang. Belanda mulai merubah tatanan sosial masyarakat. Mereka mengangkat Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi dan untuk urusan pemungutan pajak. Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan bagian wilayah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran masyarakat Minang terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka orang kafir, sehingga ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan nilai-nilai agama dalam masyarakat. Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat persatuan kaum adat dan ulama dengan mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.
Keenam versi tersebut terdapat kelemahan dan memperkuat keyakinan tentang peristiwa di Bukit Marapalam itu. Ketidakjelasan informasi tentang peristiwa Piagam sumpah satie Bukit Marapalam telah menggagalkan rencana Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun tugu Sumpah Satie Marapalam di daerah tersebut.
ADAT BASANDI SYARAK
Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang memanfaatkan alam sebagai sumber ajarannya. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam. Ini diungkapkan dalam filsafat orang Minangkabau alam takambang jadi guru.
Ketika agama Islam masuk, adat di Minangkabau secara hakikinya tidak bertentangan dengan ajaran syarak dalam agama Islam, karena alam yang telah dijadikan pedoman hidup masyarakat Minangkabau adalah ciptaan Allah semata. Itulah sebabnya ketika Islam masuk langsung diterima oleh orang Minangkabau. Maka, kalaupun dalam sejarah, timbulnya Perang Paderi tidak semata karena disebabkan pertentangan kaum adat dan kaum agama (Islam), akan tetapi karena pemurnian ajaran syarak di dalam pelaksanaan adat semata, sebagai akibat dari amar makruf nahi munkar. Akan tetapi pemerintahan kolonial Belanda, memakai peristiwa ini sebagai alat politik adu domba.
Namun pada tahun 1811 penguasa adat di Minangkabau, yakni Sultan Begagarsyah mempermaklumkan perang bahu membahu antara seluruh masyarakat anak nagari di Minangkabau, melawan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum adat dan kaum agama menyatukan pendapat dalam pertemuan pangulu tigo luhak beserta para ulamanya. Pertemuan ini melahirkan Piagam Bukik Marapalam yang menegaskan bahwa antara adat dan Islam tidak bertentangan. “Adat bapaneh, syarak balinduang”, “Syarak mangato, adat mamakai”. Adat bapaneh, syarak balinduang maksudnya adat bagaikan tubuh, agama sebagai jiwa. Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan. Syarak mangato, adat mamakai maksudnya syarak memberikan hukum dan syariat, adat mengamalkan apa yang difatwakan agama. Kesimpulan piagam ini lazim disebut adat jo syarak sanda-manyanda, kemudian lebih dikenal lagi dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Sumber : Buya Maso’ed Abidin
http://palantaminang.wordpress.com
Selengkapnya...
Secara historis, Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-12 M, ada yang menyebutnya abad ke-14 M. Almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah.
Naiknya kerajaan Islam Pasai di Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau. Perkembangan Islam di Aceh, khususnya paham tasawuf melalui 'Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau sejak masa awal. Pengaruh al-Sinkili dalam pengembangan Islam ke Minangkabau diteruskan oleh Burhan al-Din. Syekh Burhan al-Din Ulakan memainkan peran sebagai pengembang Islam melalui tarekat Syathariyah di Minangkabau. Sehingga surau Ulakan cukup termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau.
Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.
Adat Minangkabau
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.
Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah "Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”
Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi - tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;
Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- 'a/am), Dia selalu memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ 'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan Kamil ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen, Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. Azyumardi Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.
Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka kemudian mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai'd Bonjol.
Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai'at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai'at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.
Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.
Sumber : www.sufinews.com
Selengkapnya...
Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi. Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini, Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.
Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang --oleh beberapa penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering dijadikan titik tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.
Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.
Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.
Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur, karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran agama Islam di daerah ini pada tahap awal.
Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).
Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing--, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” seba-gai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam sambil menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.
Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.
Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah furu’iyyah lainnya. Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.
Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir--, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu ini.
© Irhash A. Shamad
www.irhashshamad.co.cc
Selengkapnya...
Alas Wacana
Minang Madany akan memediasi berbagai pemikiran tentang geliat Islam di Minangkabau sepanjang sejarah.
About Me
Labels
- Biografi (1)
- Budaya (6)
- Dinamika Intelektual (4)
- Falsafah Adat (2)
- Institusi Sosial (1)
- Inyiak Candung (1)
- Kepemimpinan (2)
- Masjid/Surau (1)
- Naqsyabandiah (1)
- Pembaharuan Islam (3)
- Pemikiran Islam (2)
- Perang Belasting (1)
- Perang Manggopoh (1)
- Sejarah Budaya (4)
- Sejarah Masjid (1)
- Sejarah Pendidikan (3)
- Sejarah Sosial (2)
- Sejarah Tarikat (1)
- Sistem Sosial (2)
- Sufisme (3)
- Surau (2)
- Syathariyyah (1)
- Tokoh/Ulama (2)
- Transformasi Nilai (1)
- Ulama (1)