22.18 | Posted in , ,

Surau, dangau, lapau, dan rantau, melekat dalam aspek kehidupan (way of life) orang Minangkabau sejak dulu. Ada surau yang dibangun suatu kaum-suku (clan). ini dinamakan surau kaum. Ada pula yang dibangun masyarakat umum. Surau kaum untuk mengaji anggota kaum itu dan untuk shalat berjamaah. Berarti tiap suku punya guru mengaji yang piawai, sekalian jadi imam shalat. Beliau sewaktu-waktu memberi ceramah rohani. Di samping itu, dipergunakan untuk berkumpul-kumpul kaum yang bersangkutan dalam rangka memelihara silaturahmi keluarga besar. Ketika itu ada saja topik pembicaraan masalah intern atau ekstern. Bila membicarakan soal jodoh perkawinan, biasanya dilangsungkan di rumah keluarga yang akan punya hajat.

Surau yang dibangun masyarakat, fungsinya sama dengan mushala, dipergunakan untuk shalat berjamaah dan wirid pengajian mingguan. Dihadiri bukan oleh satu kaum saja, tapi siapa pun dalam satu kampung, tidak pilih suku. Ada pula fungsi surau untuk "pelarian" bila seorang laki-laki banganyi atau mangucie (pisah ranjang) akibat bersengketa dengan isteri tersebab masalah yang tidak bisa diatasi. Namun belum menjatuhkan talak-cerai, yakni tindakan halal tapi dimurkai Allah. Berpikir 1.000 kali lebih dulu sebelum menjatuhkan talak.

Bisa saja pisah ranjang itu seminggu atau dua minggu, malah mungkin sebulan atau berbulan-bulan. Untuk makan suami yang pisah ranjang tadi, pergi ke rumah orangtuanya, atau makan di warung. Bahkan ada juga yang memasak sendiri pada satu pojok surau yang tidak mengganggu orang shalat. Kaum laki-laki di Minang umumnya pandai memasak nasi sekalian dengan lauk-pauk. Pada suatu waktu, pihak keluarga isteri membujuk agar mau rujuk. Kalau dia mengangguk, berarti mau seranjang kembali dengan suaminya. Lantas diutus seseorang kepada sang suami untuk rukun lagi.
Bila okey, maka pelaksanaannya diselenggarakan doa selamat secara sederhana bersama keluarga kedua pihak.

Kedua macam surau tadi biasanya punya medan untuk belajar pencak silat. Belajar seni bela diri ini diberikan seorang pendekar dan dilakukan usai Shalat Isya, sekitar pukul 20.00 WIB malam selama kurang lebih dua jam. Yang sudah berkeluarga pulang ke rumah mereka masing-masing, sedang yang bujangan tidur di surau. Lazim, bila seorang anak laki-laki sudah berusia 10 tahun, tidur di surau. bersama kawan-kawannya. Janggal jika mereka masih tidur di rumah orangtua. Dia akan diejek teman sebaya sebagai masih menyusu pada ibunya. Apalagi bila di rumah orang tuanya
terdapat suami-isteri kakaknya.

Dangau

Dangau semacam bangunan darurat di tengah-tengah ladang. Biasanya berdinding tadie (gedek) dengan atap rumbia.Semula berfungsi hanya untuk tempat menginap sambil menjaga ladang. Tapi kemudian beberapa bujangan nimprung di sini. Dangau dijadikan ajang bergurau, mengota-ota (ngobarol). Saling bertukar informasi mengenai pertanian. Atau memperkatakan orang (bergunjing) mengenai apa saja. Namun ada juga
ilustrasi kesenian puput saluang.

Dengan seorang penyanyi yang menampilkan pantun beriba-iba, menangisi nasib kok tidak juga dilamar orang. Dangau pun sepertinya tempat transit dari bujangan ke rumahtangga.(kawin). Di tengah-tengah sawah terdapat juga dangau tapi dalam ukuran kecil, tempat berteduh bila tidak tahan panas waktu menggarap sawah, ataupun untuk berteduh bila turun hujan. Tempat makan waktu istirahat. Di saat padi sudah berbuah, dangau dijadikan pos untuk menghalau burung.

Lapau

Hampir tiap kampung punya banyak lapau (warung). Lebih-lebih di kawasan kelompok rumah yang ramai penghuni. Lapau bagi mereka sekaligus ajang tempat bergurau. Tidak hanya menjual makan ringan dan kebutuhan sehari-hari, tapi juga tersedia kopi, ketan, pisang goreng, lontong, dan sebagainya. Tiap lapau punya meja yang sekaligus digunakan untuk main domino. Tersedia pula palanta, yakni bangku panjang yang bisa diduduki 4-5 orang bagi mereka yang menonton main domino.

Pengunjung datang pagi, kendati di rumah sang istri bisa menyediakan kopi tanpa merogoh dompet. Apakah gerangan yang menyebabkan mereka suka minum kopi di lapau? Pagi itu mereka berada di lapau paling-paling satu jam. Kemudian pergi ke sawah- ladangnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB pagi. Kalau dia petani, baru mengayunkan cangkul pukul 08.30 WIB. Kalau dia tukang, baru mempergunakan kapak katam atau gergajinya juga pukul 08.30 WIB.

Sebelumnya diasah dulu agar tajam. Sekitar pukul 10.00 WIB mereka sudah minta kopi lagi bersama makanan ringan lainnya. Berarti istirahat selama setengah jam. Pukul 12.00 WIB mereka makan siang sembari menunaikan Shalat Zuhur. Makan, istirahat dan shalat tersebut, bahkan sampai pukul 13.30 WIB. Terpakai waktu tidak kerja selama satu setengah jam. Pukul 16.30 WIB sore mereka sudah bersiap-siap untuk pulang.

Jadi waktu yang efektif kerja seorang petani desa atau tukang umumnya cuma sekitar empat jam sehari .Usai mandi dan Ahalat Ashar, mereka mengantar pulang ke rumah alat-alat yang mereka gunakan bekerja. Lalu mandi dan menukar pakaian. Sesaat kemudian mereka pergi ke lapau Lagi-lagi untuk minum kopi. Nah, di sini fungsi lapau menjadi information centre. Mereka sesamanya mengobrol soal macam-macam. Dari
kehidupan sosial sampai berbicara "politik tinggi", dalam dan luar negeri. Mempergunjingkan para pejabat, soal sepak bola, cerita dalam sinetron yang mereka tonton dilayar televisi.

Jika dia petani sawah atau ladang memperkatakan pengalaman hasil produksi panennya. Mengkaji bila menggunakan pupuk organik dibanding pupuk buatan. Mereka menganalisa turun naiknya harga. Orang awak memang terkenal dengan "budaya tutur" bisa maota (ngobrol) berjam-jam sampai larut malam. Tentu ini tidak seluruh petani bekerja empat jam. Sebagian ada yang bekerja delapan jam sehari, tapi agak selektif.

Rantau

Merantau meninggalksn kampung halaman sudah lama membudaya. Ada yang dinamakan "rantau burung pipit", yakni terbang membawa sarang. Bagi yang mampu berinvestasi, mereka bangun restorannya dengan arsitektur Minang,bagonjong. Mereka pakai sound system dengan lagu-lagu Minang baik yang tradisional, maupun irama modern. Restoran Padang menyebar seantero nusantara, bahkan di mancanegara.

Ada rantau hanyut. Mereka tidak pulang-pulang kampung lagi setelah beranak-pinak. Ini dinamakan rantau cino. Mereka tidak mengetahui siapa kerabatnya di kampung, tidak tahu apa suku dan siapa ninikmamaknya. Bahkan tidak tahu dengan sudut-sudut kampungnya.Tidak mau tahu dengan hak tanah ulayat yang seharusnya diwarisi sebagai harta pusaka. Tidak menghargai nilainya dibanding kekayaan yang diperoleh di rantau. Mereka yang melarat, malu pulang kampung., takut diejek, dicemoohkan. Mereka tidak peduli lagi dengan pepatah: Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, namun tetap cinta dengan negeri leluhur.

Nun di pelosok terpencil di Kalimantan, ada keluarga yang sudah punya sawah ladang.di sana. Entah apa sebabnya mereka lebih kerasan, pada hal di kampung banyak lahan warisannya terlantar. Ada pula yang sering pulang, setidaknya pada hari raya Idul Fitri, melagakkan kesuksesan di rantau, sehingga teman-temannya terbius untuk meninggalkan kampung, ikut merantau.

Yang dulu jadi pedagang kaki lima, lama-kelamaan punya toko atau jadi pengusaha besar. Success story!Banyak di antara mereka, begitu tamat SMA misalnya, sudah enggan
memegang pacul bertani. Biar jadi pedagang kaki lima di rantau, berhujan-berpanas di pinggir jalan. Keluarga Minang yang berada di rantau diperkirakan lebih banyak dibanding yang menghuni kampung halaman. ***

© Marthias Pandoe
Wartawan Senior

http://www.padangekspres.co.id


��

Comments

0 responses to "Surau dan Lapau"