22.03 | Posted in , ,

1. Pendahuluan

Dewasa ini, tema pluralisme multietnik hampir mendominasi pertemuan ilmiah bidang sosial budaya. Dengan demikian mengangkat kembali tema agama dan adat tidak layak lagi dicap sebagai menegakkan benang basah. Namun sebagai agama dan etnisitas, ia tetap saja dipandang sebelah mata, khususnya oleh yang beragama lain dan berpandangan modernisasi. Maka budaya Minangkabau (indigenous cultural heritage) dan agama sebagai kekayaan dan ciri khas masyarakat Sumatra Barat perlu dijelaskan betapa ia tetap aktual dalam perjalanan hidup manusia dan masyarakat modern. Ajaran Islam adalah pandangan dan jalan hidup (philosophy and way of live) yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta alam dan manusia yang lebih tahu tentang makhluk ciptaan-Nya itu sendiri. Di antara pandangan Islam terhadap manusia sebagai ajaran (teologis) adalah bahwa manusia merupakan makhluk fisik, ruhaniah, rasional, sosial, dan bertuhan kepada Allah. Pandangan secara teologis ini biasa saja berbeda, bahkan berlawanan dengan Islam secara sosiologis, seperti berbagai aliran eksekutif yang ditemukan dalam fenomena sosial dan sejarah Islam (Agus 2003).

Tetapi kalau dipelajari agama dan adat dari segi ajaran agama, dari segi ideal, das sollen, segi teologis, ia sebenarnya merupakan kebutuhan manusia dan penting untuk dapat mempertahankan manusia sebagai manusia dan masyarakat yang bermakna dan bermartabat. Tanpa ajaran Islam dan adat Minangkabau yang menekankan pentingnya berjamaah, berkeluarga, seiya setida, dan berpedoman kepada agama, manusia Minang bisa saja berubah menjadi ibarat pasir di tepi pantai, ibarat buih di atas air bah, seperti hewan, bahkan lebih hina daripadanya, tidak berubah menjadi malaikat.

Makalah ini melihat agama, khususnya Islam, dan budaya Minangkabau sebagai potensi konstruktif. Islam dari segi ajaran bertujuan untuk menciptakan “kerahmatan bagi segenap penghuni alam semesta” (Q.S. al-Anbiya`: 207). Di samping itu juga ia merupakan kebutuhan manusia.

2. Islam dan Budaya Minang Dalam Cita

Islam dalam makalah ini harus dibedakan antara Islam sebagai ajaran (Islam teologis) dan Islam sebagai realita sosial (Islam sosiologis). Pembicaraan Islam dalam cita adalah Islam sebagai ajaran dari Allah yang tidak terlalu dipengaruhi oleh penafsiran sepihak. Islam sosiologis adalah sebenarnya kondisi realita umat Islam yang biasa dan bisa saja berbeda seperti siang dan malam dengan ajaran Islam (Agus 2003).

Yang dimaksud dengan budaya Minangkabau dalam makalah ini adalah pandangan hidup, nilai-nilai filosofis, aturan dan tata kehidupan bermasyarakat. Ajaran tentang moral dan prinsip kehidupan diambil dan dikemukakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala alam dan kehidupan. Pandangan hidup seperti roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah; pakailah ilmu padi, makin berisi makin runduk; bersifatlah mampu menyesuaikan diri di mana pun berada, tiba di kandang kambing membebek, tiba di kandang kerbau menguek; musyawarah untuk mufakat seperti kayu bersilang dalam tungku untuk memasak sesuatu adalah contoh pandangan hidup dan sifat yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan masyarakat lebah, pembagian tersebut makin jelas. Ada yang berfungsi seperti ratu (agaknyo bundo kanduang); ada yang berfungsi sebagai pekerja, ada yang berfungsi sebagai tentara dan seterusnya. Pelajaran dari masyarakat lebah juga selalu memberi manfaat kepada manusia, tetapi jangan diganggu.

Di Minangkabau pemahaman dan pelajaran yang diambil dari gejala alam dan kehidupan makhluk ini dikenal dengan alam takambang jadi guru. Alam takambang jadi guru adalah suatu metode untuk mengembangkan aturan bermasyarakat yang sejalan dengan hukum alam dan kehidupan. Untuk memahami gejala alam itu digunakan semua potensi yang dimiliki manusia, yaitu pengamatan pancaindera, pemikiran otak, rasa dan hati nurani. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki ini dikenal dengan raso jo pareso. Dengan demikian masyarakat Minang tidak terjebak kepada kecenderungan memberdayakan hanya pada salah satu potensi tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang adatnya dicetuskan oleh Dt. Ketumanggungan dan Dt. Perpatih nan Sabatang tidak menolak kedatangan agama-agama besar dunia. Sebelum Islam datang, Hindu dan Budha pernah berkembang dan menjadi pandangan hidup dan budaya masyarakat. Diterimanya agama Hindu dan Budha karena prinsip sumber daya yang dimiliki dan akan diberdayakan tidak demikian kontradiktis dengan sumber daya manusia menurut adat Minangkabau. Raso jo pareso adalah daya spiritual. Sopan santun dan perilaku baik terhadap orang lain juga sama-sama mendapat perhatian dari adat Minangkabau dan agama Hindu Budha.

Dengan kedatangan agama Islam, orang juga dapat menerimanya walaupun tradisi dan kepercayaan animisme dan adat-adat yang tidak baik tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, berjudi, dan meminum minuman keras tetap berlangsung. Sebenarnya perilaku menyabung ayam, judi dan minuman keras, menurut hemat penulis, tidaklah termasuk adat Minangkabau. Itu hanya perilaku menyimpang dari masyarakat (deviant). Akal sehat, hati nurani, raso jo pareso, dan alam takambang mengajarkan perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Proses Islamisasi tidak berjalan mulus. Namun Islam sebagai indetitas etnis semakin kuat, apalagi setelah perang Paderi. Adat basandi syara` syara` basandi kitabullah ( ABSSBK) telah menjadi identitas etnis suku Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau tidak merombak semua nilai, pandangan dan prinsip hidup masyarakat. Pandangan dan nilai luhur kehidupan tetap dipelihara. Perilaku menyimpang memang ditentang. Islam memperkukuh prinsip alam takambang jadi guru. Kecendrungan dalam gejala alam (yang dalam dunia ilmiah dinamakan teori) dan hukum alam dan kehidupan manusia, oleh Islam dinamakan sunnatullah atau ayat-ayat Allah.

Kepercayaan animisme dan dinamisme ditukar dengan kepercayaan kepada makhluk gaib seperti jin dan iblis, tetapi semuanya itu tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat bagi yang punya keimanan yang kuat kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Tanggung jawab Mamak dan Kemenakan diperkuat dengan tanggung jawab ayah kepada anak. Matriarkhat Minangkabau diperkuat dan diperdalam dengan patriarkhat yang dibawa oleh dari Islam sehingga kekerabatan dalam praktek menjurus kepada bilateral. Maka, Islam sebagaimana juga ideologi dan budaya pendatang lainnya, mula-mula dicurigai dan dimusuhi, kemudian ditolerir, dan akhirnya diterima dan disepakati untuk diintegrasikan dengan adat sehingga sampai kepada adagium ABSSBK.
Adat dan budaya yang mementingkan alam takambang jadi guru serta sopan santun sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (tahu kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng) pada hakekatnya adalah pandangan pentingnya memperdayakan pancaindera, akal, dan perasaan serta hati nurani dalam memahami alam dan kehidupan.

Pemberdayaan potensi-potensi manusia ini diperkokoh oleh Islam. Islam menyuruh menggunakan mata, telinga dan mata hati (qulub) serta menyuruh menggunakan pedoman yang berupa agama dan petunjuk Allah untuk umat manusia. Petunjuk Allah yang dinamakan agama itu mementingkan keyakinan (iman, aqidah), perilaku nyata sehari-hari (syari`ah), perasaan ruhaniah (tasauf), dan pemahaman otak tentang segala yang dihadapi. Inilah yang dinamakan dengan pendekatan terpadu (tauhid) yang diajarkan oleh Islam agama Allah ini (Agus 1993). Pedoman dan pendekatan wahyu penting diperhatikan supaya sumber daya manusia jangan tergelincir kepada yang membinasakan manusia dan alam lingkungannya.

Pandangan materialisme, sekularisme, individualisme, hedonisme dan nihilisme dilahirkan oleh otak manusia yang tidak mau lagi memperhatikan petunjuk wahyu dan agama, bahkan daya yang dimiliki manusia sendiri, yaitu hati nurani dan perasaan luhur. ABSSBK merupkan political will yang kalau diterapkan akan punya daya fleksibilitas dan dinamis serta prinsip-prinsip yang akan menjamin eksitensi manusia tetap sebagai manusia, yaitu makhluk yang bermoral dan regelius. Pengitegrasian ini penting diperdayakan untuk menghadapi tantangan kehidupan modern dan arus globalisasi.

3. Agama dan Masyarakat Minang dan Realita

Dewasa ini kita dapat mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial adalah
keyakinan-keyakinan yang dianut secara fanatik (Agus, 2003: 68-72). Agama dan etnisitas, termasuk Islam dan budaya Minang, secara sosiologis, dianut secara fanatik. Kefanatikan itu akan terlihat dari indikasi kalau ada yang menyinggung sesuatu yang difanatiki itu, pemiliknya akan melakukan tindakan anarkis. Agama ada yang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan anarkis dan teror. Oleh karena itu, agama atau sesuatu yang di”agama”kan mengandung potensi konstruktif dan juga destruktif. Karena hanya potensi, tenaga atau semangat, maka terserah kepada masyarakat pengemban kedua potensi itu, apakah akan dipergunakan kepada yang konstruktif atau destruktif. Teori dan teknologi atom misalnya dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat pula untuk dijadikan bom yang telah menghancurkan. Ke arah yang mana akan digunakan potensi itu tergantung kepada manusia yang memilikinya, dan dalam hal agama dan etnisitas, tergantung kepada kelompok pengemban keyakinan tersebut dan juga perlakuan kelompok lain penganut “agama” yang bersangkutan.

Kalau kelompok lain memperbuat sesuatu yang menyinggung kehormatan penganut agama dan etnis tertentu, tentu potensi konstruktif itu akan segera berubah menjadi potensi “destruktif “. Di samping itu baik agama Islam maupun budaya Minang, kalau dilihat sebagai fenomena sosial (das sein) dewasa ini memang tidak layak dibawa ke tengah. Mengangkatnya dalam forum nasional, apalagi dalam forum internasional, ibarat menegakkan benang basah. Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatra Barat, sudah lebih rendah kualitas sumber daya manusianya dari bangsa Vietnam sekalipun. Korupsi makin membudaya di Indonesia, termasuk di Sumatra Barat. Trust dan sumber daya sosial sebagai prasyarat bagi kebangkitan bangsa dan suku bangsa (Fukuyama, 1995) tidak dimiliki lagi.

4. Tantangan Modernisme Global

Walaupun seminar dan pertemuan ilmiah dewasa ini punya tema dikaitkan dengan multikultural, namun modernisme masih tetap mendominasi dunia. Dengan kemajuan teknologi informasi, kekuasaan ekonomi dan politik, modernisme terlebih dahulu harus disadari bahwa modernisasi berbeda dengan modern. Bangsa Indonesia, termasuk orang Minang harus menjadi bangsa dan suku bangsa yang modern, tetapi tidak boleh terjerumus ke dalam modernisme. Bangsa yang modern menghasilkan dan memanfaatkan temuan teknologi modern untuk kesejahteraan hidup bangsa. Bangsa Indonesia dan orang Minang harus menggunakan jasa pesawat terbang, mobil, satelit, internet dan kemudahan lain dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kesejahteraan dan rahmatan lil`alamin.

Kecenderungan memperhatikan hanya satu aspek kehidupan pernah digagas oleh para pemikir, seperti pandangan hidup rasionalisme, empirisme, materialisme, spiritualisme, individualisme, dan sosialisme. Dominasi salah satu aliran filsafat tentang daya apa yang harus diutamakan dalam memahami sesuatu di Barat mengakibatkan daya yang berasal dari luar manusia, seperti wahyu dan ajaran Tuhan, tidak dipercayai. Ajaran yang berasal dan wahyu yang berkembang di tengah masyarakat dianggap sebagai hanya dakwaan pembawa dan alat untuk memperkokoh legitimasi.

Pandangan yang hanya menggunakan sumber daya manusia dan menolak segala yang berasal dari luar diri manusia berkembang di Barat dengan semangat Renaissans mulai abad ke-14 sampai dewasa ini menjadi ideologi sekuler. Sekularisme yang juga diperkuat dengan materialisme dan rasionalisme berkembang di seantaro dunia sampai dewasa ini. Di kalangan masyarakat Minangkabau pandangan hidup sekuler tidak dapat diterima secara prinsip. Barat menolak memberdayakan potensi hati nurani yang cenderung mengakui keberadaan manusia dan manusia butuh kepada bimbingan, petunjuk, dorongan semangat dan kasih sayang-Nya.

Hati nurani dikenal juga dengan potensi ruh yang menurut surat as-Sajdah ayat 7-9, adalah bagian dari ruh Allah yang mampu ditiupkan-Nya kepada janin setelah fisik janin terbentuk. Karena itu mata hati mampu melihat Tuhan dan kebesaran-Nya. Tetapi Barat dengan semangat renaissansnya menolak ajaran yang bersumber dari luar diri manusia tersebut. Jadilah manusia sebagai konseptor, aktor dan tujuan kehidupan sekaligus. Renaissans adalah antroposentrisme.

Sekularisme dengan materialismenya telah mengakibatkan berbagai krisis sosial dan lingkungan. Kegersangan nilai-nilai spiritual telah menjangkit masyarakat sekuler. Berkembangnya berbagai aliran acultisme, bahkan yang tidak lagi rasional seperti The San Temples dan the People Temples di masyarakat yang dianggap termaju di dunia, seperti Amerika, adalah konsekwensi logis dari masyarakat yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dalam menatap hidup yang makin kompleks ini. Gejala bunuh diri sebagai kekecewaan dan kehilangan pegangan yang sangat mendalam dalam kehidupan ini adalah fenomena sosial masyarakat maju yang sekuler itu. Runtuhnya institusi keluarga juga konsekwensi logis dari individualisme dan emansipasi yang kebablasan. Krisis ekologi dan pencemaran lingkungan adalah resiko yang harus diterima dari materialisme yang sudah lepas dari kendali agama.

Sedangkan modernisme adalah paham yang ingin berprinsip bahwa agama dan nilai-niali budaya lain tidak layak lagi dipakai untuk pembangunan sosial. Manusia harus bangkit dengan kemampuan otak dan otot (fisik, materinya) dengan meninggalkan segala campur tangan lain, seperti agama, tradisi dan doktrin-doktrin lainnya dalam mengelola masyarakat. Untuk itu sekulerisme, positivisme ilmiah, ekonomi pasar bebas, demokrasi kuantitatif, liberalisme, materialisme, individualisme dan hedonisme adalah perangkat penting untuk mendukung prinsip modernisme. Sebagai ideologi modemisme, ia diperjuangkan untuk diterima di dunia dengan berbagai macam negara dan budayanya. Oleh karena itu, modernisme dikritik oleh posmodernisme sebagai ideologi yang bersifat imperialis dan kolonialis. Dengan daya otak dan materi yang kuat sehingga menjadi negara adidaya, modernisme yang dimotori oleh Amerika telah menjadi beringas dan mengabaikan tatakrama kehidupan bersama dalam dunia internasional. Kebringasan Amerika akhir-akhir ini di lrak dan Afganistan, dan hegemoni budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuannya di negara-negara lain adalah bukti-bukti yang menguatkan tesis yang dikemukakan oleh Huntington (1996).

Dalam era globalisasi seperti dewasa ini terlihat dominasi budaya modernisme yang dimotori oleh Amerika dengan perangkat pasar bebas, demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), positivisme ilmiah, sekularisme dan liberalisme moralnya. HAM berpandangan bahwa manusia tidak boleh dibedakan dalam menikmati hak-hak asasinya berdasarkan perbedaan agama, suku, suku bangsa, jenis kelamin dan warna kulit. Sedangkan agama dan adat dinilai membatasi banyak kebebasan manusia. Ini berarti bahwa arus modernisme yang bersifat kolonialisme itu tidak pluralis. Pluralisme sejalan dengan posmodernisme. Dengan lembaga internasional dan penguasaan teknologi dan komunikasi, modernisme masih dominan walau pun dalam pertemuan ilmiah dan wacana pemikiran pluralisme atau posmodernisme telah menjadi tema seminar dewasa ini.

Pemikiran modernisme makin mencemaskan perkawinan antar agama dan etnisitas. Perkawinan tersebut digembar-gemborkan akan memperjauh dan HAM, demokratisasi dan inklusifisme dan akan mempersubur gerakan “teroris” yang diperhalus dengan istilah fundamentalisme, ekslusifisme atau primordialisme. Pengalaman bangsa Indonesia yang terpecah-pecah setelah reformasi, sukuisme dan agama bangkit kembali dan menimbulkan konflik berdarah yang berkepanjangan, seperti kasus Ambon, Poso, dan Kalimantan Tengah.

Postmodernisme memperjuangkan diberinya kesempatan kepada setiap budaya, ideologi, dan agama suatu masyarakat untuk mengembangkan sistem politik, ekonomi, budaya dan bahkan pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan aspirasi politik, ideologi, budaya dan agama masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986). Maka postmodernisme mendukung multi kultural, sementara modernisme bersifat kolonial yang dilancarkan secara halus sehingga meminjam ungkapan Malik bin Nabi (1969: 206-208), bangsa terkebelakang itu pula sekarang yang bermental layak untuk dijajah, yang minta-minta untuk dijajah (al-qabiliyah li al-isti`mar), seperti selalu mengharapkan kucuran dana hutang setiap tahun.

Islam dan budaya Minang jelas menentang paham sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme, dan liberalisme. Umat dan suku bangsa yang memegang suatu norma moral, sistem hukum, tata kehidupan bersama, seperti tidak boleh murtad, pamer aurat, free-sex dituduh sebagai bangsa yang tidak menghormati hal-hak asasi manusia. Hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan individu, sedangkan komunits tidak diberi hak untuk menentukan aturan untuk mereka sendiri. Tetapi kehidupan manusia memang unik. Di tengah-tengah deru modernisme, individualisme, sekularisme dan bahkan materialisme itu, timbul pula kerinduan kembali kepada identitas kelompok, kepada spiritualisme dan agama.

Naissbit dan Aburdene mengungkap hal ini sebagai salah satu dan megatrends (Naissbit dan Aburdene 1990). Indonesia setealah 32 tahun berada dalam rezim “asas tunggal” dan sentralisasi berubah menjadi dijangkit demam promordialisme. Etnik, kelompok, agama, daerah kembali bersuara lantang, bahkan mengakibatkan konflik berkepanjangan dengan kelompok lain. Di skala intemasional dan Barat sendiri, pandangan modernisme yang mendesak segala yang dianggap primordialisme juga mendapat tantangan serius. Posmodernisme kembali menghidupkan segala macam primordialisme. Kelompok, etnik, ideologi, agama, ras, jenis, kelamin harus mendapatkan hak untuk menghayati kehidupan dengan cara pandang dan keyakinan mereka masing-masing (Seidman & Wagner 1992; Lenz & Shell 1986).

5. Islam dan Budaya Minang untuk Menghadapi Tantangan Modernisme

Ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen dan lainnya, tidak terlepas dari interprestasi yang ditonjolkan pada suatu periode tertentu oleh pemukanya. Ajaran Calvin, misalnya dinilai oleh Weber sebagai penggerak berkembangnya etos kerja yang menumbuhkan kapitalisme (Weber, 1958), berbeda dengan ajaran Katolik Roma zaman tengah yang dinilai sebagai penyebab keterbelakangan dunia Barat. Demikian juga perkembangan Islam di zaman klasik yang melahirkan sejumlah ilmuwan dan filusuf tentu tidak terlepas dari teologi yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi inklusif, bersedia menerima kebenaran dan manapun datangnya (al-Badawi, 1965). Kemunduran Islam sesudahnya mulai abad ke 13 M/8 H juga tidak terlepas dari interprestasi ajaran agama yang ditonjolkan ketika itu, seperti teologi fataistis, budaya sufistik, dan ketertutupan, taklid, atau ekslusif (lihat Hourani, 1962 dan Amin, 1971).

Untuk meningkatkan kualitas kerja dan profesionalisme, dakwah, studi danpendidikan agama perlu ditekankan pada teologi yang dalam ajaran Islam dinamakan dengan ihsan. Perlu diungkapkan menjadi aqidah, iman, keyakinan atau teologi, yaitu bahwa bekerja dengan kualitas baik, teliti, bagus, berdaya guna lebih luas harus dimasyarakatkan sehingga menjadi aqidah, teologi atau komitmen setiap pribadi Muslim. Kemudian keyakinan keagamaan kepada makhluk gaib, akhirat dan lain-lainnya perlu dikembangkan dengan paradigma untuk meningkatkan kualitas amal dan karya di dunia ini, untuk mewujudkan rahmatan lil`alamin.

Pengertian dan konsep amal yang masih banyak dianggap sebagai kegiatan ritual dan sedekah amal harus ditingkatkan dalam pengertian segenap aktivitas sosio-kultural yang positif dan lainnya (pahalanya) terletak pada tinggi rendahnya kualitas kerja yang tergantung padanya kekuatan umat, seperti hukum, politik, ekonomi, teknologi dan seterusnya. Kemudian
kedudukannya berubah menjadi kewajiban pribadi (fardhu `ain) bagi yang telah memilih salah satunya sebagai profesi dan bidang tugasnya.

Konsep-konsep tersebut adalah contoh-contoh yang memerlukan penggarapan baik oleh masyarakat, seperti melalui media massa, gerakan dakwah, maupun melalui political will, seperti beasiswa untuk studi teologi, alokasi dana pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang memadai untuk tujuan tersebut.

Efek lain dari kemajuan teknologi dan pesatnya kegiatan ekonomi dan produksi adalah bahwa manusia merasa dirinya hanya bagian atau bahkan pelayan dari mesin-mesin. Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan antara satu sama lain semakin tipis karena telah diperenteng oleh alat komunikasi canggih. Manusia merasa kehilangan jatidirinya sebagai makhluk yang kreatif, punya harga diri, berarti, dan makin tidak merasakan hubungan sosial yang ikhlas. Manusia modern hidup teralienasi, mengidap anomali atau anomi.

Keberingasan massa, terorisme, kriminalitas, menjadi pecandu obat bius dan ekstasi, menjamurnya kelompok meditasi dan ajaran “agama” yang aneh-aneh (cults), adalah konsekwensi dari manusia yang telah kehilangan jatidiri dan nilai-nilai spiritual. Karena kegersangan spiritual ini Naisbitt dan Abuderne (1990: 270-297) meramalkan bahwa abad 21 juga merupakan abad kebangkitan agama, atau lebih tepat dikatakan dengan kebangkitan kelompok spiritual.

Maka agama tetap dibutuhkan oleh masyarakat era globalsasi dan industry untuk dapat memberikan siraman dan melestarikan hubungan sosial. Roger Garaudy (1985), dari perjalanan hidup dan pemahamannya terhadap pemikiran di Eropa sebagai seorang yang pernah aktif dalam partai Komunis Prancis dan guru besar filsafat, berkesimpulan bahwa permasalahan manusia modern adalah putusnya hubungan dengan yang transendental dan hubungan sosial dan Islamlah yang mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Kemudian ciri lain dari masyarakat dunia dewasa ini adalah bahwa mereka mengkonsumsi sajian media komunikasi yang bermacam ragam. Dengan media cetak dan elektronik modern berbagai nilai, pendapat, gagasan, perilaku dan gaya hidup, disuguhkan dari segenap penjuru dunia tanpa batas. Dampak kemajuan media komunikasi ini jelas berpengaruh terhadap keyakinan dan ajaran agama yang selama ini atau seharusnya diyakini. Kemajuan media cetak dan elektronik ini mengakibatkan tumbunya relativisme nilai budaya dan agama.

Tidak adanya nilai dan hal-hal yang dipercayai dalam kehidupan seseorang menjadikan hidup dalam kebingungan, goncang, tidak ada pegangan, dan gelisah. Kalau gejala ini telah menimpa sebagian besar anggota masyarakat,masyarakat tersebut sudah rapuh, goyah atau keropos. Gejala banyak anggota masyarakat yang mengikuti berbagai macam aliran kebatinan, meditasi, pengobatan alternatif, berbagai cults, baik di Timur ataupun Barat seperti yang telah disinggung di atas menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya luhur.

Oleh karena salah satu ciri beragama adalah bahwa nilai dan ajarannya dipercayai sebagai mutlak benar, maka memupuk keyakinan beragama setelah diadakan penafsiran yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagai macam pendekatan dakwah dan pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelamatkan manusia yang sudah kehilangan pegangan hidup akibat telah digoncang oleh suguhan media kommikasi modern yang kontradiktif.

Masalah yang menjangkiti masyarakat modern yang rasional ini adalah mengidap stres. Stres menjangkiti kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja, di masyarakat, dan di rumah tangga. Kegagalan dalam mencapai banyak hal juga mengakibatkan stres. Konflik antar individu dan antar kelompok juga mengakibatkan stres. Stres juga menurunkan kondisi kesehatan fisik.
Tetapi dengan iman kepada takdir Allah terhadap segala yang telah dialami membantu untuk tidak terlalu stres menghadapi hambatan, konflik dan kegagalan. Dengan iman kepada takdir yang diajarkan Islam, kita juga tidak terlalu cemas menghadapi masa depan dan siap mental menghadapi segala macam resiko.

6. Kesimpulan

Kehidupan yang didominasi modernisme menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Manusia membutuhkan materi, kepuasan spiritual, perhatian, ketenangan, penjelasan rasional, keyakinan dan kepastian hidup, kiat menghadapi persoalan dan kegagalan, hubungan sosial yang baik dengan sesama manusia, serta hubungan dengan Tuhan. Tidak terisinya salah satu dan hubungan tersebut akan mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan. Pandangan modernisme tentang kehidupan cenderung mementingkan salah satu atau beberapa saja dan kebutuhan tersebut dan mengabaikan yang lain. Maka sumber permasalahan adalah bahwa manusia modern tidak memiliki suatu keyakinan dan pandangan hidup yang dapat mengisi kebutuhan tersebut. Maka agama yang belum terlalu direduksi oleh pandangan manusia, serta budaya yang biasa dianggap tradisional, seperti budaya Minang, tetap diperlukan dalam kehidupan modern karena masih punya dimensi-dimensi yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

© Bustanuddin Agus
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
http://blogminangkabau.wordpress.com



Comments

0 responses to "Islam dan Budaya Minang"